Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Manusia dalam mengarungi kehidupan pada dasarnya ingin sampai pada muara kesuksesan dan kebahagiaan. Keduanya ini, kesuksesan dan kebahagiaan adalah paket tujuan manusia ideal. Awal dari semuanya atau minimal keduanya, adalah hasil pengambilan keputusan. Sukses atau tidak, dan bahagia atau tidak, seringkali pemantik awalnya sangat tergantung dari jenis keputusan yang diambil/ditetapkan.
Pengambilan keputusan, tidak semudah dengan pengucapannya. Aksioma management “gagal merencanakan, sama saja merencanakan kegagalan” sesungguhnya di dalamnya terkandung apa yang dimaknai sebagai “keputusan”. Sehingga hal ini menjadi penanda bahwa betapa besar urgensi, singnifikansi dan implikasi dari suatu keputusan. Dan hal ini pun yang menegaskan sebaiknya jangan gegabah mengambil keputusan, apalagi jika pada saat prosesnya telah diiringi perasaan dilema.
Teringat (mudah-mudahan tidak salah) pada tahun 2004, saya dihadapkan pada dua pilihan. Dua pilihan yang saya maksud adalah terkait di mana saya harus bekerja. Setelah tamat di SMK Negeri 1 Bantaeng tahun 2003, saya tidak langsung (berniat) untuk kuliah karena saya harus menyadari situasi dan kondisi keluarga yang tidak sanggup memenuhi harapan tersebut. Meskipun seperti itu, satu hal yang patut (minimal) saya syukuri karena selain menjadi Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng, dari beberapa pekerjaan atau tempat kerja yang pernah saya geluti, pada dasarnya, saya tidak pernah melamar pekerjaan, tetapi sebaliknya “terkesan” saya yang dilamar/diajak untuk bekerja di tempat tersebut.
Kembali pada kondisi berhadapan pada dua pilihan di atas. Secara hampir bersamaan saya diajak untuk menjadi bagian pada suatu tempat kerja. Tidak apa-apa saya sebut saja dalam tulisan ini: Pertama, saya diajak oleh pemilik Baling-Baling Bantaeng untuk menjadi bagian sebagai karyawan dari kantornya yang memberikan layanan jasa arsitektur dan konstruksi bangunan, dan saya diharapkan sebagai salah satu operator. Dan kedua, pengurus Yayasan Pendidikan dan Keterampilan Bantaeng (YPKB) yang membuka kursus komputer, menjahit, dan bahasa Inggris, mengajak saya untuk menjadi instruktur (tenaga pengajar) komputer.
Saya diajak, karena beberapa di antara pengurus YPKB adalah guru-guru kami di SMK Negeri 1 Bantaeng, yang (alhamdulillah) mengetahui kemampuan saya dalam bidang IT (information technology) ini. Bahkan selama, saya berada di bangku kelas 3 SMK Negeri 1 Bantaeng, untuk mata pelajaran TIK, saya tidak lagi dalam posisi sebagai siswa khusus untuk mata pelajaran komputer, tetapi oleh guru komputer kami, terkesan menjadikan saya sebagai asistennya untuk membantu mengajar (sejenis asisten dosen di kampus). Dan bahkan, saya dilibatkan pula sebagai tenaga asisten guru/instruktur komputer di SMP Negeri 2 Bantaeng, jika pada saat di kelas sedang tidak ada mata pelajaran (gurunya berhalangan) atau ketika mata pelajaran tersebut adalah jadwal mengajar guru yang menjadikan saya asistennya. Guru-guru pun, terkadang mengizinkan untuk menjalankan peran asisten ini.
Atas dua tawaran tempat bekerja yang disebutkan di atas—meskipun untuk kantor Baling-Baling, saya telah mencoba mengabdi selama empat hari—pada saat itu, saya mengalami dilema. Harus memilih yang mana? Dua hari porsi waktu tersita hanya untuk memikirkan, pilihan atau keputusan tersebut jatuh di mana? Akhirnya saya teringat konsep “Thawaf Suara Hati” atau disebut pula “Berpikir Melingkar” dalam buku ESQ: Emotional Spiritual Quotient karya Ary Ginanjar Agustian. Karena sejak tahun 2002, saya telah mendalami buku spektakuler karya Ary Ginanjar tersebut.
Sebelum lanjut membahas terkait thawaf suara hati, saya pun ingin menegaskan bahwa jauh setelah tidak lagi bekerja pada tempat tersebut, karena sudah “tertutup”, dan saya pun berada dalam posisi pekerjaan lain, atau beberapa tahun terakhir pikiran saya sering dirasuki untuk: pertama, bekerja di perusahaan tertentu (karena banyak yang mendorong, bahwa kemampuan IT saya, sangat dibutuhkan beberapa perusahaan); dan kedua, pergi merantau untuk bekerja di Malaysia. Hal ini, sering merasuki jiwa, karena terkesan penghasilan yang ada, sebelum mendapatkan pekerjaan yang tepat, terkadang terasa belum mampu memenuhi semua kebutuhan keluarga. Dalam kondisi seperti ini pun, saya selalu kembali teringat dengan thawaf suara hati Ary Ginanjar. Dan hal itu saya amalkan/implementasikan dalam kehidupan.
Thawaf suara hati atau bisa pula disebut berpikir melingkar dari Ary Ginanjar, saya memahaminya dengan baik. Dan hal ini sangat bermanfaat untuk pengambilan keputusan atau perumusan hal prioritas dalam kehidupan. Berpikir melingar atau thawaf suara hati, bisa didefenisikan secara sederhana sebaga “mekanisme pengambilan keputusan atau perumusan hal prioritas dalam kehidupan, yang mengelaborasi, mengintegrasikan, dan menyinergikan antara kepentingan, suara hati, dan prinsip-prinsip yang ada.
Kepentingan bisa berbasis pada dua hal yaitu, kepentingan pribadi yang berada dalam wilayah egoisme, dan kepentingan sosial atau umum yang berada dalam dominasi kesadaran sosial. Untuk suara hati maupun prinsip basisnya pada 99 asmaul husna. Meskipun demikian prinsip pun bisa berbasis dari hasil derivasi dan/atau pemaknaan progresif dari rukun iman yang terdiri atas enam.
Thawaf suara hati atau berpikir melingkar, pada dasarnya lebih terasa pada berbasis pada 99 nama-nama Allah yang mulia (99 Asmaul Husna). Hanya saja yang perlu kita pahami, sebelum melakukan thawaf suara hati, terlebih dahulu harus mampu melepaskan atau membersihkan hati dari tujuh belenggu—yang dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, telah saya jelaskan dengan baik. Jadi terlebih dahulu, sebelum melakukan thawaf suara hati, membersihkan hati dari tujuh belenggu yaitu: pertama, prasangka negatif; kedua, prinsip hidup yang salah atau keliru; ketiga, pengalaman yang menyesatkan; keempat, kepentingan pribadi yang sangat mendominasi dibandingkan kepentingan umum; kelima, sudut pandang yang sempit, parsial, dangkal, dan sepihak; keenam, pembanding yang salah; dan ketujuh, literatur yang salah. Sekali lagi untuk pembahasan belenggu hati ini, bisa membaca tulisan-tulisan saya yang lainnya.
Jadi kita asumsikan saja, bahwa diri kita telah membersihkan atau menyucikan hati dari tujuh belenggu tersebut. Proses thawaf suara hati tidak bisa dilakukan jika tujuh belenggu hati tersebut sedang menutupi suara kebenaran.
Jadi untuk melakukan thawaf suara hati dalam upaya pengambilan keputusan satu di antara dua atau lebih pilihan yang tersedia maka kita harus berpatokan pada 99 asmaul husna. Dalam upaya menjadikan 99 asmaul husna sebagai landasan, maka jika diri kita tidak bisa menghafal keseluruhan 99 asmaul husna itu, sebaiknya disiapkan saja dihadapan kita nama-nama tersebut lengkap dengan makna atau merupakan percikan nilainya.
****
Untuk memudahkan hal tersebut, apa yang dimaksud dengan thawaf suara hati atau berpikir melingkar, maka saya contohkan saja upaya yang saya lakukan pada saat saya menghadapi dua pilihan pekerjaan di atas yang sama-sama baik, kerja di Baling-Baling atau YPKB (sebagai instruktur komputer).
Pertama, saya tautkan dengan nama Allah yang “Ar-Rahman”, maksudnya dari atau dorongan suara hati yang terbersit dari Ar–Rahman, yang mana lebih tinggi poinnya antara bekerja di Baling-Baling atau YPKB. Maka saat itu, berdasarkan perenungan saya, bahwa dimensi Ar-Rahman-Nya Allah jika saya bekerja di YPKB itu lebih tinggi poinnya daripada Baling-Baling, karena di YPKB berbagi ilmu kebanyak orang (dalam hal ini yang menjadi peserta kursus) itu bagian dari bentuk pengasih, menyelamatkan orang-orang dari buta pengetahuan teknologi.
Kedua, dari nama Allah yang “Al Muhaimin” (memelihara dan merawat), berdasarkan perenungan saya, lebih tinggi poinnya jika saya bekerja di YPKB karena di sana banyak orang akan berinteraksi, minimal dalam tiga bulan ada lagi orang-orang baru yang kursus. Sedangkan di Baling-Baling, apalagi kerja di dalam kantor, hanya sebagai operator interaksi dengan manusia lainnya pasti sangat rendah. Jadi suara hati untuk memelihara atau merawat persaudaraan, persahabatan, silaturahmi, termasuk merawati ilmu lebih tinggi poinnya, jika bekerja di YPKB.
Ketiga, dari nama Allah yang “Al-Kariim” akan memercik dalam hati untuk selalu ingin merasa mulia. Maka berdasarkan dua pekerjaan di atas, saya menilai lebih mulia mengajar orang, dibandingkan hanya menjadi operator. Keempat, nama Allah yang “Al Baa’its” yang akan memancarkan suara hati dari dalam diri manusia untuk ingin membangkitkan motivasi orang lain. Maka saya menimbang dari dua pekerjaan di atas, Baling-Baling atau YPKB, dari suara Al Baa’its, maka lebih tinggi poinnya di YPKB.
Kelima, dari nama Allah yang “Al Ghaniyy” suara ingin kaya, maka saya bertimbang bahwa kerja di Baling-Baling gajinya sudah ditetapkan dan juga tinggi, sedangkan di YPKB, gajinya bersifat relatif tidak menentu karena yang dihitung adalah jumlah mengajar yang dikonversi dengan satuan rupiah dalam per jamnya. Dari aspek gaji yang jelas, maka Baling-Baling memiliki poin yang lebih tinggi.
Singkatnya, saya melakukan pertimbanga-pertimbangan atas dorongan suara hati yang terbersit dari suara atas 99 asmaul husna. Setelah saya pertimbangkan satu persatu yang relevan dengan indikator yang terdapat dalam pilihan-pilihan tersebut, maka saya melakukan akumulasi poin, kemudian dijumlahkan secara keseluruhan. Akhirnya saya menjatuhkan pilihan untuk bekerja di YPKB sebagai instruktur komputer.
Sekadar informasi tambahan, Alumni YPKB, yang sempat saya ajar—bersama dua teman instruktur lainnya, yang diatur jadwal mengajarnya—selama yayasan tersebut berdiri, tidak kurang dari 700 orang dengan berbagai status dan profesi. Ada peserta yang merupakan para operator utusan berbagai instansi, para sekretaris desa se-Kabupaten Bantaeng, dari utusan kepolisian, utusan OKP, dan lain-lain yang bersifat umum. Saya menyebut utusan instansi karena yayasan ini, seringkali melakukan kerjasama dengan berbagai instansi, sehingga utusan instansi tersebut secara personal gratis kursus komputer, meskipun secara kelembagaan tidak sepenuhnya gratis.
Sama halnya, saya tidak pernah menjatuhkan pilihan untuk bekerja di perusahaan atau pergi merantau di Malaysia sebagai TKI, yang meskipun dari aspek finansial/gaji—sebagai dorongan percikan suara hati Yang Maha Memiliki—sangat tinggi untuk menjawab kegalauan dan kekurangan kebutuhan finansial keluarga, karena dorongan suara hati lainnya sebagai percikan dari nama-nama Allah yang lainnya jauh lebih besar.
Dalam bahasa mudanya, dorongan untuk terus merawat spirit berorganisasi, artinya pekerjaan yang tidak mengganggu semangat berorganisasi atau berkontribusi terutama dalam hal keilmuan. Atau semangat untuk ingin selalu hadir, ada waktu berbagi ilmu kepada generasi muda adalah dorongan yang paling besar daripada sekadar untuk mendapatkan gaji meskipun kebutuhan ini jauh lebih besar. Saya yakin dan sekaligus takut, jika bekerja di perusahaan, yang jam kerjanya sangat ketat, maka tidak ada lagi kesempatan untuk senantiasa berbagi ilmu dengan generasi muda, terutama melalui forum-forum perkaderan dan LDK OSIS, selain kajian-kajian lainnya. Apalagi yang lebih mengkhawatirkan jika saya ke Malaysia untuk menjadi TKI, saya tidak yakin bisa merawat spirit keilmuan atau literasi yang ada dalam diri. Akhirnya inilah semua yang mengalahkan dorongan ingin memiliki gaji yang lebih tinggi.
Sudah pasti hal di atas dikecualikan dalam konteks bekerja sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng, karena nilai atau dorongan suara hatinya sangat berimbang yang bersumber pada percikan 99 asmaul husna. Meskipun ada larangan menjadi pengurus organisasi atau ormas, tetapi sama sekali tidak ada larangan dan hambatan atau waktu yang sangat kecil, untuk tetapi bisa berbagi ilmu atau diajak menjadi narasumber di beberapa forum yang dilaksanakan oleh generasi muda.
Mudah-mudahan uraian sederhana di atas bisa untuk lebih mudah dipahami apa yang dimaksud dengan thawaf suara hati atau berpikir melingkar. Dan maknanya bukan hanya dalam bentuk seperti di atas untuk menentukan satu di antara banyak pilihan. Thawaf suara hati pun bisa dalam bentuk, jika sesuatu itu masih fleksibel, untuk mengambil jalan tengah atau titik temu di antara pilihan-pilihan yang tersedia.
Terkait hal kedua ini, ada hal menarik dari Ary Ginanjar. Meskipun dalam konteks tulisan ini, saya lebih menyederhanakan cerita inspiratifnya. Seseorang memiliki anak kecil yang sedang sekolah di TK. Dalam dirinya terbersit dorongan suara hati untuk tetap melindungi anaknya atau kepentingan keamanan anaknya, dibalik kesibukan dirinya bersama istrinya di kantor. Maka solusi yang diambil adalah membeli becak kemudian mencari orang tua (orang lain) yang tidak punya pekerjaan. Syarat yang diberikan ke orang tua tersebut, cukup mengantar dan menjemput anaknya yang masih TK dari rumah ke sekolah, kemudian becak itu diberikan hiasan bunga dan boneka yang disukai anaknya. Selebihnya, orang tua itu bisa mencari penumpang lain tanpa atau tidak perlu menyetor sejumlah uang kepada si pemilik becak. Dan setelah satu tahun pun becak tersebut menjadi milik orang tua tersebut. Hal ini membuat si orang tua (orang lain) sangat senang dan sebagai wujud rasa syukurnya, dia siap mengantar-jemput anak tersebut dengan tingkat perhatian dan pengamanan yang sangat maksimal.
Contoh cerita di atas yang menjatuhkan keputusan pada pilihan sikap dan tindakan seperti itu adalah hasil dari thawaf suara hati yang berbasis pada 99 asmaul husna. Semua sikap dan perilaku mencerminkan dorongan Allah Yang Maha Pelindung (dalam hal ini keamanan anaknya), Allah Yang Maha Pengasih (mengasihani orang tua yang pengangguran yang tidak punya modal untuk bekerja), dan Allah Yang Maha Indah (becak tersebut minta dihiasi).
Sampai pada poin atau contoh cerita anak TK, becak, dan orang tua di atas, saya yakin teman-teman pembaca semakin memahami apa yang dimaksud dengan thawaf suara hati atau berpikir melingkar dalam pengambilan sebuah keputusan.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023