Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

The Indonesian Dream: Dari Konsep Diri sampai Nalar Kebangsaan

×

The Indonesian Dream: Dari Konsep Diri sampai Nalar Kebangsaan

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO,- Setiap diri, idealnya memiliki dream baik secara personal maupun secara kolektif. Bagi manusia, dream secara metaforis diandaikan sebagai alat pelampung agar tidak tenggelam dalam samudera kehidupan. Dream dalam konsepsi Quantum Learning sebagaimana yang saya pahami dari Bobbi DePorter & Mike Hernacki, bisa berfungsi sebagai salah satu pemantik aktivasi suasana hati yang berkontribusi untuk membangkitkan atau membangunkan kedahsyatan fungsi otak.

John M. Echols dan Hassan Shadily dalam karyanya, Kamus Inggris Indonesia (2005), menerjemahkan dream sebagai “impian” atau “mimpi”. Untuk tulisan ini, The Indonesian Dream, saya memilih dan menerjemahkannya sebagai “impian Indonesia”. Saya pernah mengikuti pencerahan dari Sukidi Mulyadi—sebagai pemikir Islam alumni Harvard University, Amerika Serikat—pada suatu Podcast, program yang diselenggarakan oleh SMTv tentang Indonesian Dream. Namun sebelumnya, saya memahaminya pula setelah membaca buku karya Elwin Tobing, Indonesiaan Dream (2018).

Bagi Sukidi, ada sepuluh nilai yang terkandung dalam gagasan besar The Indonesian Dream: 1) Impian kebinekaan (dream of diversity); 2) Impian negara ketuhanan (dream of divine nation); 3) Impian gotong-royong (dream of togetherness); 4) Impian kebebasan (dream of freedom); 5) Impian kemanusiaan (dream of humanity); 6) Impian persatuan (dream of unity); 7) Impian keadilan (dream of justice); 8) Impian kesetaraan (dream of equality); 9) Impian kesejahteraan (dream of welfare); dan 10) Impian negara berdaulatan, maju, adil dan makmur (dream of sovereign, advanced, just and prosperous nation).

Berbeda dengan Sukidi, Elwin Tobing menegaskan terkait Indonesian Dream pada impian “Menjadi manusia dan bangsa berdaulat”. Namun, saya ingin menegaskan melalui tulisan ini bahwa, sebelum dream termasuk untuk “Indonesian Dream” ada dua hal urgen yang memiliki signifikansi dan implikasi besar. Kedua hal tersebut bisa memengaruhi pada saat ditancapkan sebuah impian (dream) maupun pada saat akan mencapainya. Kedua hal tersebut adalah “Konsep Diri” dan “Nalar Kebangsaan”.

Konsep diri berdasarkan yang saya rumuskan, pahami, dalami dan implementasikan, bagaikan flashdisk bisa “dicolok” di mana saja dan/atau diintegrasikan dengan apapun: psikologi, sosial, budaya, teologi, ideologi, tanpa kecuali dengan apa yang saya maknai dalam tulisan ini sebagai “nalar kebangsaan”. Saya bisa mengelaborasi dan mereformulasi konsep diri sesuai orientasi yang ingin dicapai. Yang pasti, idealnya sebelum dream maupun Indonesian dream harus diawali dengan pemahaman “konsep diri”.

Konsep diri, secara sederhana bisa dipahami sebagai penilaian, pandangan, persepsi, keyakinan tentang diri secara totalitas dan relevansinya dengan berbagai entitas eksternal yang melingkupinya. Bisa pula dipahami secara sederhana seperti ini, bahwa konsep diri adalah kemampuan untuk memahami siapa saya, baik sebagai personal, anggota keluarga, umat beragama, kehidupan sosial sampai pada hubungannya terhadap kehidupan bangsa dan negara. Selain itu memahami berbagai kelebihan dan kekurangan yang built-in dalam dan luar dirinya serta memahami peran dan harapannya.

Konsep diri menjadi penting sebelum dream, minimal bisa dipahami dalam cerita singkat ini: suatu ketika ada telur burung rajawali tercecer ke dalam kandang peternak ayam. Maklum si peternak tidak mengetahui bahwa itu adalah telur burung rajawali, maka digabungkanlah dengan telur ayam miliknya. Setelah digabungkan maka datanglah induk ayam mengerami dan akhirnya menetas.

Singkat cerita, sampai dewasa burung rajawali itu tidak mengenali dirinya sebagai “burung rajawali” termasuk tidak bisa terbang. Pada saat dirinya bersama ayam lainnya melihat seekor burung rajawali terbang di angkasa, dia (Rajawali itu) berkata “bisakah aku terbang seperti itu?” lalu induk ayam berkata “kita jangan pernah bermimpi untuk bisa terbang, itu adalah rajawali, raja angkasa, sedangkan kita hanya ayam”.

Secara kodrati burung rajawali yang lahir bersama ayam itu adalah tetap sebagai burung rajawali dan memiliki potensi untuk bisa terbang. Namun, mengapa tidak bisa terbang? Karena tidak mengenal dirinya atau tidak memahami konsep dirinya. Begitupun diri kita, seringkali tidak mampu melakukan sesuatu meskipun secara potensial kita memilikinya, atau bahkan kita tidak pernah memiliki impian tentang sesuatu, atau bisa jadi impian yang kita konstruksi dan rekonstruksi keliru, sesat, dan tidak ideal karena kita memiliki konsep diri yang salah atau bahkan kemungkinan tidak memahami konsep dirinya.

Bisa jadi, hanya Sukidi, Tobing, saya, dan sahabat pembaca tulisan ini yang memiliki impian tentang Indonesian Dream, sedangkan yang lain tidak memilikinya, karena tidak memiliki konsep diri, salah dalam memahami konsep diri, dan/atau konsep dirinya keliru. Sampai dalam uraian ini, kita telah menemukan insight tentang konsep diri dan urgensinya.

Oliver Holmes—mantan Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat—dalam Tobing (2018), berkata, “Hal yang penting di dunia bukanlah di mana posisi Anda sekarang, tetapi hendak ke mana arah yang sedang Anda Jalani”. Meskipun ini penting dan memiliki relevansi, berbeda dari Holmes, termasuk penguatan dari Tobing atas pernyataan Holmes, saya sendiri menilai dalam konsep diri, terkait “di mana posisi anda sekarang” tetap penting.

“Di mana posisi anda sekarang” dalam cara pandang konsep diri yang saya rumuskan dan pahami, bukan hanya menunjukkan jawaban yang identik dengan tempat atau letak geografis. Selain Holmes, Rhenald Kasali mempertegas bahwa dibutuhkan kemampuan untuk membaca—dan saya tambahkan untuk menjawab—“Where we are” dan “Where we are going to”. Saya lebih sepakat dengan perspektif Rhenald daripada Holmes.

Sebelum menentukan dream terutama untuk Indonesian dream dalam perspektif konsep diri, maka penting membaca dan sekaligus mampu menjawab “where we are”. Impian yang kita konstruksi dalam bangunan keindonesiaan akan keliru, ketika kita tidak memahami dan menyadari dengan baik antara diri kita dan relevansinya dengan bangsa dan negara Indonesia yang kita diami. Contoh sederhana, bagi ideologi apa pun itu, termasuk yang berbasis agama, dan memiliki upaya menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, maka itu keliru dan sama saja tidak memahami konsep dirinya sebagai “anak negeri”.

Sejak masa awal kemerdekaan, Indonesia telah memiliki dream, hanya saja warga negara, anak negeri, tanpa kecuali penyelenggara negara masih ada yang sesungguhnya belum memahami konsep dirinya, “siapa saya sebagai anak negeri dan bagian dari negara Indonesia?” Bagi yang memahami konsep dirinya, baik sebagai eksekutif, legislatif maupun yudikatif, tidak akan pernah ada niat dalam dirinya untuk melakukan korupsi sebagai bentuk kejahatan terbesar sekaligus sebagai pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.

Konsep diri sesungguhnya, tidak hanya memberikan pemahaman terkait diri, yang melekat, dan relevansinya dengan “dunia” di luar dirinya, tetapi yang paling utama adalah memantik kesadaran untuk mengedepankan hal yang bersifat benar, baik dan etis, bukan justru sebaliknya. Bagi yang memahami konsep dirinya, maka akan senantiasa berupaya memberikan hal terbaik untuk bangsa dan negaranya, bukan justru melakukan pengkhianatan dengan berbagai modus, baik haram dan salah sekali pun.


Lalu apa hubungan triadik antara “Indonesian Dream”, “Konsep diri”, dan “Nalar Kebangsaan”? Saya ingin menjelaskan terlebih dahulu tentang “nalar” dan “nalar kebangsaan”. Salah satu dan secara sederhana nalar adalah segala hal yang mampu memengaruhi “doing” (apa yang dilakukan), “meaning” (apa dan bagaimana memaknai), “relating” (bagaimana cara menjalin relasi), “thinking” (apa dan bagaimana cara berpikir), dan “being” (bagaimana menjadi).

Nalar Kebangsaan, dalam perspektif saya adalah akal budi, pertimbangan baik buruk yang didasarkan pada nilai atau basis nilai, (yang menjadi) akar filosofis, falsafah hidup, dan ideologi yang selama ini hidup dan mengiringi dinamika kehidupan kebangsaan. Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, nilai-nilai ajaran agama, kearifan lokal dan terutama Islam sebagai agama mayoritas yang dianut, dalam pandangan saya selaku penulis adalah bagian integral dan terintegrasi antara satu dengan yang lainnya, dan itulah yang dimaknai sebagai “nalar kebangsaan”.

Konsep diri, khususnya siapa saya sebagai warga negara atau bangsa Indonesia harus berpijak pada pemahaman terkait nalar kebangsaan tersebut. Warga negara, anak bangsa berdasarkan konsep dirinya harus mampu memahami Pancasila dan nilai-nilainya sebagai landasan dalam merekonstruksi Indonesian dream-nya. Dari sini harus dipahami bahwa, Indonesia bukan negara sekuler, Indonesia menjadikan fundamen moral, sebagaimana sila pertama Pancasila, di atas fundamen politik.

Dengan pemahaman mendalam konsep diri-nya terhadap nalar kebangsaan khususnya “kemajemukan” harus menumbuhkan kesadaran, bahwa perbedaan, pluralitas adalah realitas, keniscayaan bahkan takdir ilahi, sehingga siapa pun anak bangsa harus terbuka sepenuh hati menerimanya. Bukan sebaliknya ingin menghegemoni, menolak perbedaan, kemajemukan dan mendorong cara pandang kebenaran tunggal berdasarkan perspektif golongannya.
Melalui nalar kebangsaan dan konsep diri, bangsa ini harus menyadari pula bahwa Indonesia negara hukum, mengedepankan kedaulatan rakyat serta memiliki nilai “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga dalam persoalan hukum pun harus adil dan tidak tumpul ke atas.

Konsep diri yang dimiliki dan dipahami dengan baik, memantik kesadaran bahwa, dalam merumuskan Indonesian Dream, tidak boleh melenceng atau keluar dari perspektif nalar kebangsaan. Begitu pun dream Sukidi, dan Tobing ini bisa terwujud jika memiliki pemahaman yang baik terkait konsep diri-nya.

Konsep diri menjadi pemantik utama bagi dream baik awal membentuk/merencanakan, pada saat proses pencapaianya, dan termasuk pasca terwujudnya. Konsep diri adalah konsepsi yang memiliki cakupan yang sangat luas, terbuka dan fleksibel, ruang tulisan seperti ini, tidak cukup untuk untuk merepresentasikan secara maksimal.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply