Oleh: Agus Setiyono (Sekretaris PW Muhammadiyah Jambi)
KHITTAH. CO Di tengah arus globalisasi dan industrialisasi pendidikan tinggi, keberadaan dosen Muhammadiyah hadir sebagai kekuatan moral dan intelektual yang khas. Mereka bukan sekadar pendidik, tetapi juga pemikir, peneliti, pendakwah, sekaligus pelayan umat. Istilah “The Legend of Dosen Kampus Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah” bukanlah ungkapan berlebihan, melainkan refleksi dari totalitas dedikasi dan keistiqamahan mereka dalam menjalankan amanah keilmuan dan keislaman.
Perguruan tinggi Muhammadiyah memiliki kekhasan berupa Catur Dharma, yaitu: pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta Al-Islam dan kemuhammadiyahan. Keempat elemen ini bukan sekadar formalitas institusi, melainkan menjadi nadi dalam setiap langkah dosen Muhammadiyah.
Secara sederhana pengajaran dimaknai mendidik dengan hati dan nurani. Minimal dalam hal ini, dosen Muhammadiyah menjadikan pengajaran sebagai ladang dakwah keilmuan. Proses belajar tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan akhlak mulia. Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menegaskan “Pendidikan Muhammadiyah bukan hanya mencetak lulusan yang unggul secara akademik, tetapi juga membentuk insan berakhlak mulia yang mampu menjadi agen perubahan di tengah masyarakat.”
Sedangkan penelitian dimaknai menghasilkan llmu yang relevan dan membumi. Tradisi riset menjadi kekuatan dosen Muhammadiyah, yang mengedepankan kemaslahatan umat. Mereka tidak sekadar mengejar jurnal bereputasi, tetapi menghasilkan karya yang solutif dan kontekstual. Prof. Amin Abdullah, pemikir integrasi ilmu dan mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga yang banyak berinteraksi dengan kalangan Muhammadiyah, menyatakan, “Ilmu harus menjelma menjadi kebajikan sosial, bukan berhenti pada bangku akademik. Itulah ruh riset yang berkemajuan.”
Adapun pengabdian kepada masyarakat mendorong ilmu yang menyatu dengan kehidupan, dosen kampus Muhammadiyah tidak sekadar mengajar dari balik meja. Mereka hadir di tengah masyarakat, menjadi bagian dari solusi kehidupan. Dalam berbagai aktivitas pemberdayaan, mereka mengimplementasikan tauhid sosial—bahwa keimanan harus menjelma dalam kerja-kerja nyata. Sebagaimana dikatakan Prof. Syafiq Mughni, Ketua PP Muhammadiyah dan tokoh dialog lintas agama, “Dosen Muhammadiyah harus menjadi pemikir yang membumi dan pelayan umat yang tercerahkan. Itulah esensi keberagamaan yang membebaskan.”
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan sebagai ruh spiritualitas dan identitas menjadi pilar utama menjadi pembeda utama perguruan tinggi Muhammadiyah. Dosen adalah pelaku utama dalam menjaga dan menumbuhkan karakter keislaman dalam kehidupan kampus. Mereka tidak hanya berbicara tentang Islam, tetapi menghidupkannya dalam akhlak, kebijakan, dan gaya hidup. Prof. Yunahar Ilyas (alm.), ulama besar Muhammadiyah, pernah berpesan, “Ilmu tanpa iman akan melahirkan kesombongan, iman tanpa ilmu akan melahirkan kepicikan. Muhammadiyah menyatukan keduanya.”
Menjadi Legenda yang Menginspirasi
Julukan “The Legend of Dosen Kampus Muhammadiyah” bukan tentang kemasyhuran, melainkan tentang konsistensi dalam mengintegrasikan ilmu, iman, dan amal. Mereka adalah penjaga nilai, pemikul amanah, dan pemandu generasi. Dalam diam mereka bekerja, namun dampaknya terasa luas. Dalam sunyi mereka berdoa, tetapi ilmunya menerangi zaman.
Di tengah krisis keteladanan dan komersialisasi pendidikan, kehadiran mereka menjadi oase: meneduhkan, menginspirasi, dan menggerakkan. Sebagaimana pesan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Kalimat ini terus hidup dalam laku para dosen yang melegenda—menghidupkan nilai, ilmu, dan umat.
Penulis meletakkan harapan, artikel ini didedikasikan untuk seluruh dosen di lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah–‘Aisyiyah yang terus berjuang dalam sunyi demi ilmu dan kemanusiaan. Semoga semangat keikhlasan dan keunggulan ini menjadi suluh penerang masa depan bangsa.