Oleh: Irwan Akib (Ketua PP Muhammadiyah dan Guru Besar Pendidikan Matematika Unismuh Makassar )
KHITTAH. CO – Sejak kebangkitan nasional 1908, berbagai gerakan bermunculan sebagai bentuk perjuangan pergerakan nasional untuk meraih kemerdekaan. Perjuangan para tokoh bangsa dilakukan dengan berbagai cara, baik pendekatan politik, ekonomi maupun pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu pendekatan yang substantif, karena tidak sekadar bagaimana maraih kemerdekaan tetapi juga sekaligus menyiapkan sumber daya yang berjuang untuk kemerdekaan, menyiapkan diri mengisi kemerdekaan, dan juga membangun kesadaran penting kemerdekaan itu sendiri.
Berkaitan dengan perjuangan melalui pendekatan pendidikan, ada tiga tokoh utama yang tidak bisa dilupakan dalam membangun pendidikan nasional dan sekaligus memberi penyadaran pentingnya kemerdekaan itu sendiri. Kesadaran yang lahir dari situasi masyaraskat yang terjajah, terkebelakang, tertindas, dan berbagai penderitaan akibat tekanan penajahan. Soegarda Poerbakawatja, sebagaimana dikutip oleh Muh. Ali, menyatakan bashwa tiga tokoh pendidikan pribumi yang telah berani dan mampu merintis pendidikan modern pada perguliran abad 20. Ketiga tokoh tersebut adalah Ki Hajar Dewantara, Mohammad Sjafii, dan KH. Ahmad Dahlan. Walaupun sejak keluarnya Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959, tanggal 16 Desember 1959, ditetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, yang diambil dari kelahiran Ki Hajar Dewantara.
Mohammad Sjafii (1893-1963) putra angkat Marah Rusli (seorang sastrawan asal Minang yang cukup terkenal dengan Novel St Nurbaya), setelah belajar tiga tahun di negeri Belanda dan memperoleh Ijazah dalam bidang guru eropa, menggambar, pekerjaan tangan, dan musik. Kembali ke Hindia Belanda (Indonesia) dan mendirikan Ruang Pendidikan INS Kayu Tanam. INS sendiri oleh Mohammad Sjafii berganti nama sesuai keadaannya yaitu Indonesiche Nederlandsche School pada zaman Belanda, Indonesia Nippon School pada zaman Jepang, dan Indonesia Nasional School setelah Indonesia meredeka.
Dalam pandangan Sjafii, kolonial telah memberi pengaruh negatif terhadap kehidupan masyarakat. Masyarakat menjadi malas dan elitis, dan salah satu cara untuk mengubah sikap ini adalah melalui pendidikan. Sehingga, pendidikan yang dibangun oleh Mohammad Sjafii bukan hanya fokus pada kemampuan intelektual tetapi memadukan tiga ranah yaitu otak, hati, dan tangan.
Dalam bahasa pendidikan disebut kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiganya harus didik secara terpadu sehingga mampu melahirkan anak didik yang memiliki kempauan intelektual yang mumpuni, berpikir secara kritis, dengan hati, dan jiwa yang lembut serta memiliki keterampilan. Lebih dari itu Mohammad Sjafii melalui ruang pendidikan INS Kayu Tanam, mengharapkan bahwa pendidikan bagi putra-putri Indonesia harus selaras dengan sifat masyarakat Indnoesia yang mandiri, suatu bangsa yang hidup dari hasil karya dan tidak tergantung pada bangsa lain.
Kemandirian bagi suatu bangsa harus dibangun melalui pendidikan generasi muda agar memiliki jiwa merdeka, jiwa yang tidak ingin terus terjajah, dan tidak tergantung pada bangsa lain. Melalui pendidikan otak, hati, dan tangan, dalam pandangan Mohammad Sjafii anak didik menjadi sosok yang kreatif, pintar serta berakhlak mulia.
INS Kayu Tanam sebagai salah satu upaya memerdekan bangsa melalui pendidikan, maka semangat nasionalisme yang diusung oleh INS adalah menghidupkan jiwa dan semangat bangsa Indonesia dengan mempersenjatai dirinya dengan alat daya upaya yang dinamakan aktif kreatif untuk menguasai alam. INS melatih anak didik sejak dini mempergunakan akal pikiran mereka, yang didorong oleh kemauan yang kuat untuk menciptakan sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia.
Dapat dikatakan, bahwa Mohammad Syafii melalui ruang pendidikan INS Kayu Tanam, berkeinginan melepaskan masyarakat dan bangsa Indonesia dari ketertinggalan, kemiskinan, ketertindasan akibat penjajahan kolonial. Melalui pendidikan otak, hati, dan tangan. Generasi muda dapat dibangkitkan kesadarannya dengan cara berpikir kreatif, terampil, dan memiliki jiwa yang lembut atau karakter utama yang dalam bahasa agama berakhlak mulia. Sehingga, dengan demikian INS Kayu Tanam sesungguh suatu wadah pendidikan dan kesadaran nasional, dan Mohammad Sjafii dapat dikatakan sebagai tokoh pendidikan nasional yang berjuang untuk bangsanya melalui pendidikan.
Ki Hajar Dewanata (2 Mei 1889 – 26 April 1959), bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjanigrat. merupakan putra dari GPH Soerjanirat dan merupakan cucu dari Pakualam III. Beliau menyelesaikan pendidikan dasar di ELS atau Sekolah Dasar Eropa/Belanda. Selanjutnya beliau sempat meneruskan pendidikan ke STOVIA atau Sekolah Dokter Bumiputera namun tidak tamat karena sakit.
Kemudian beliau bekerja sebagai wartawan dan penulis d ibeberapa surat kabar seperti De Express, Poesara, Midden Java, Oetoesan Hindia, Sediotomo, Kaoem Moeda dan Tjahaja Timoer. Beliau merupakan penulis andal yang tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial pada masanya.
Setelah kembali dari pengasingan akibat tulisanya yang sangat tajam mengkritik pemerintah Hindia dalam sebuah tulisannya “Als ik een Nederlander was” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat dalam surat kabar De Expres..Ki Hajar mendidikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922.
Ada tiga konsep yang perlu dipahami dan dikaji lebih mendalam terkait pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu konsep among, tri pusat pendidikan dan pendekatan dalam pembelajaran yang kita kenal dengan semboyan tutwuri handayani.
Sistem among ini berdasarkan pada dua sendi kodrat alam dan kemerdekaan. Kodrat alam merupakan batas perkembangan potensi kodrati anak dalam proses perkembangan kepribadian. Sedang kemerdekaan mengandung arti hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan syarat tertib damainya hidup di dalam bermasyarakat. Jiwa merdeka ini sangat diperlukan sepanjang peradaban manusia agar bangsa kita tidak didikte oleh bangsa lain.
Tri Pusat Pendidikan yaitu pendidikan keluarga, pendidikan dalam alam perguruan, dan pendidikan dalam alam pemuda. Keluarga sebagai pusat pendidikan memiliki nilai yang strategis karena merupakan lingkungan tempat terbentuknya nilai-nilai sosial, tempat pertama kali anak-anak membiasakan diri untuk hidup bermsyarakat, menerima nilai-nila agama, seni, dan ilmu pengetahuan.
Pendidikan dalam alam perguruan wajib untuk mengusahakan kecerdasan berpikir dan pemberian ilmu pengetahuan. Sekolah tidak dapat berpisah dengan kehidupan keluarga. Sekolah dan keluarga dapat saling mengisi dan melengkapi agar dapat mencapai tujuan pendidikan. Sedang pendidikan dalam alam pemuda, penting artinya dalam mengawal pergerakan. Pemuda tidak dapat dipisahkan dengan keluarga, sehingga gerakan pemuda penting menjadi sebagai pusat pendidikan untuk membentuk kecerdasan jiwa maupun akhlak, serta yang menuju pada perilaku sosial.
Berkaitan dengan proses belajar di kelas Ki Hajar Dewantara mengusung konsep Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Ing ngarsa sung tuladha berarti di depan menjadi teladan atau contoh. Ing Madya Mangun Karsa diartikan di tengah memberikan semangat. Artinya, seorang guru harus selalu berada di tengah-tengah murid untuk membangun semangat dan mendukung ide-ide mereka. Sedangkan, tut wuri handayani yang artinya di belakang mengikuti. Di sini, guru harus bisa memberi dorongan pada murid, menopang, mengarahkan, sekaligus menuntun.
KH Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, dengan nama pada masa kecilnya, KH. Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun.
Sebelum berdirinya Muhammadiyah, Kiai Dahlan lebih dahulu mendirikan sekolah yang didesain di ruang kamar tamu dengan ukuran sekitar (2,5 x 6) m, dengan tiga meja dan tiga bangku sekolah yang terbuat dari kayu serta satu papan board dari kayu suren, demikian penuturan murid beliau Kiai Syuja dalam buku Isalm Berkemajuan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sekolah ini dilaksanakan dengan kekuatan tenaga dan pikiran serta harta benda Kiai Dahlan tanpa bantuan dari pihak lain.
Kiai Dahlan selain perannya mendirikan sekolah, dia juga sekaligus berperan menjadi guru, dengan murid yang berasal dari kalangan keluarga beliau sendiri. Pada awalnya, siswa sekolah Kiai Dahlan hanya sembilan kemudian bertambah hingga menjadi dua puluh orang. Kegigihan Kiai Dahlan mendirikian sekolah, tentu bukan tanpa alasan. Sebagai seorang pembaharu yang memahami kondisi keterbelakangan ummat Islam saat itu, beliau tidak ingin berpangku tangan dan hanya menyalahkan keadaan, tetapi beliau meengambil langkah dan tidak berteori, tidak berwacana, beliau langsung melakukan aksi mendirikan sekolah, yang berbeda dengan sekolah-sekolah yang ada sebelumnya.
Sebelum Kiai Dahlan mendirikan sekolah, telah ada beberapa model sekolah atau model pendidikan di tengah masyarakat Indonesia, namun Kiai Dahlan tidak puas dengan model-model persekolahan atau model pendidikan yang ada saat itu, yaitu (1) pendidikan Islam dalam bentuk home schooling dalam isitilah pendidikan modern, di mana orang tua khususnya para ulama saat itu mengajar langsung anaknya sesuai ilmu yang mereka tekuni, dan pesantren di Jawa, Surau di Sumatera, dan (2) sekolah kolonial.
Pesantren sebagai wadah pendidikan Islam saat itu tergolong sangat tradisional, kekuatan pesantren terletak pada kiai, tidak mengenal kurikulum yang terstruktur, mengajarkan agama Islam dari kitab-kitab klasik berbahasa arab, tidak ada pelajaran umum seperti berhitung, ilmu bumi dan yang lainnya, tidak mengenal sistem klasikal.
Sedangkan model pendidikan kolonial yang awalnya bagian dari misi protestan khususnya di Maluku, kemudian munculnya politik etis Belanda, pendidikan kolonial tidak lagi mengajarkan agama kristen sebagai bagian dari misionaris tetapi fokus pada pengetahuan umum, memiliki kurikulum yang terstruktur, dikelola dengan manajemen modern.
Kedua model pendidikan ini, membuat Kiai Dahlan tidak puas. Dalam pandangan Kiai Dahlan seorang anak harus menguasai ilmu agama dan juga ilmu pengetahuan umum. Hal ini tercermin dari pernyataan Kiai Dahlan bahwa “ulama-intelek dan intelek -ulama”. Di samping faktor ketidakpuasan terhadap dua model pendidikan tersebut, salah satu faktor lain yang membuat Kiai Dahlan terdorong untuk mendirikan sekolah adalah kondisi umat Islam saat itu, selain mengalami ketertinggalan, juga terdapat benih perpecahan khususnya di Jawa, dengan munculnya istilah Muslim muntilan dan Muslim abangan.
Kiai Syuja menjelaskan bahwa yang dimaksud Muslim muntilan adalah mereka yang masih menjalankan syariat Islam yakni syahadat, salat, zakat, puasa ramadan, dan haji, yang biasa mereka ini tidak banyak menghiraukan adat istiadat masyarakat umumnya, sehingga terlihat dalam bertutur dan bertingkah laku janggal, kaku, dan congkak terhadap golongan abangan. Sementara golongan abangan memandang golongan muntilan sangat meremehkan, karena mereka tidak tahu adat istiadat, sopan santun, tata susila dan tata negara, karena tidak sekolah pengetahuan umum, tetapi yang dipelajari doa-doa untuk menghadapi panggilan selamatan dan keduri.
Sekolah yang dibangun Kiai Dahlan mencoba memadukan dua model pendidikan yang telah ada dengan mengadopsi sistem pendidikan kolonial dan memasukkan pelajaran agama di sekolah. Hal ini juga untuk menjawab ketegangan antara kelompok muntilan dan kelompok abangan. Kiai Syuja mengatakan, bahwa terlaksananya sekolahan yang demikian, akan bertemulah kedua golongan muntilan dan abangan menjadi satu dengan sama-sama beruntung.
Golongan muntilan tidak kehilangan agamanya, tetapi beruntung bertambah luas ilmu pengetahuan umumnya untuk menjadi sendi cara hidup yang lebih baik dan lebih luas. Sebaliknya golongan abangan tidak keurangan kepuasan akan menuntut pengetahuan duaniawi malahan bertambah keuntungan dapat mengetahui pengetahuan agama Islam yang membawa ilmu pendidikan jasmani dan rohani (iman dan tauhid kepada Allah swt) dengan mengikuti hukum syariat agama Islam.
Kiai Dahlan, di samping mengajar siswanya yang semakin hari semakin bertambah, juga setiap sabtu sore dan ahad mulai pagi, berdatangan siswa sekolah kweekschool untuk mendapatkan pelajaran agama Islam dari Kiai Dahlan. Mereka berasal dari latar belakang agama yang berbeda, ada kristen, katolik teosofi. Mereka anak-anak yang cerdas, anak yang tidak sekadar menerima informasi atau pelajaran tetapi mereka membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam untuk mengerti suatu masalah yang disajikan. Kiai sebagai seorang yang memahami karakter anak, memberikan pelajaran kepada mereka dalam bentuk dialog dan diskusi, sehingga suasana menjadi hidup, para siswa semakin bersemangat belajar ke Kiai Dahlan.
Ketiga tokoh tersebut memiliki semangat yang sama dan motivasi yang sama dalam membangun pendidikan tetapi memiliki pendekatan yang berbeda. Mohammad Sjafii lebih fokus pada keterampilan hidup, Ki Hajar lebih cenderung pada pendidikan dan kebudayaan sedangkan Kiai Dahlan lebih fokus pada intergasi ilmu. Namun demikian ketiganya melihat bahwa pendidikan otaknya yang diisi tetapi otak, hati, dan jiwa yang dalam bahasa pendidikan dikenal dengan kognitifi, afektif, dan psikomotorik sehingga dengan demikian akan melahirkan sososk yang cerdas secara intelektual, memiliki akhlakul kharimah, kekuatan iman, dan memiliki keterampilan hidup.
Baik Mohammad Sjafii, Ki Hajar Dewantoro maupun Kiai Dahlan, mendirikan sekolah sebagai wadah pendidikan anak-anak pribumi, ketiganya dimotivasi oleh semangat juang untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan kolonial. Mereka melihat bahwa untuk memajukan dan membebaskan masyarakat dari ketertinggalan, kebodohan, kejumudan, dan membebaskan bangsa ini dari penjajahan salah satu jalan perjuangannya adalah melalui pendidikan. Dengan demikian, ketiga tokoh tersebut layak disebut sebagai tokoh pendidikan nasional.