Oleh: Budi Winarto*
KHITTAH. CO – Banyak orang lupa sejatinya posisi mereka itu di mana dan seperti apa. Mereka tidak mengenal dirinya secara utuh sehingga saat berbicara sering tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Ada yang karena gengsi, mungkin. Ada yang sekadar bicara dan tidak menyadari apa yang sedang ia bicarakan. Ada juga yang disebabkan karakter orang tersebut memang seperti itu, saat bicara ringan diucap, tetapi muatannya tinggi melebihi kenyataan yang sebenarnya.
Di atas langit masih ada langit. Pribahasa yang demikian seharusnya bisa dijadikan renungan agar kita sadar bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Di atas manusia biasa ada yang sempurna, di atas yang sempurna masih ada yang lebih sempurna, dan di atas yang lebih sempurna masih ada yang paling sempurna. Dan sesempurnanya manusia yang paling sempurna ada yang lebih dan paling sempurna, yakni sang pencipta. Karena sesungguhnya kesempurnaan apa pun yang ada di bumi dan di langit itu adalah milik-Nya.
Sebagai makhluk yang penuh keterbatasan, tidak seharusnya menyombongkan sesuatu yang sebenarnya bukan miliknya. Tidak ada yang perlu dan pantas untuk disombongkan atas apa yang melekat berupa jabatan, atau apa yang dimiliki berupa harta benda, karena semua itu hanyalah titipan yang suatu saat harus kita kembalikan. Bukan hanya dikembalikan namun harus ada pertanggungjawaban.
Seperti halnya saat kita menitipkan barang koleksi yang berharga, maka kita harus tahu tempat penitipannya seperti apa, sanggup atau tidak mereka menjaga titipan barang berharga kita. Pada waktunya tiba barang itu kita pinta, tentu kita tidak ingin ada yang cacat atau tidak sempurna dari barang titipan tersebut.
Kalau ada yang cacat atau tidak sempurna saat dikembalikan, tentu harus ada ganti ruginya, sesuai perjanjian dengan tempat penitipannya di tempat semula. Pun Allah dalam menitipkan semua, pastinya ada pertimbangan tertentu sehingga manusia yang sementara dititipi diuji apakah mereka mampu atau tidak menjaga amanah, atau malah mereka tergoda oleh nafsunya, sehingga lalai. Barang siapa yang lalai atas amanah yang dititipkan, berarti harus bertanggungjawab.
Semua tentu ada masanya, jabatan ada masa pensiun, harta benda juga ada masa ketika Allah mengambilnya. Tidak ada yang tidak mungkin, dan itu semua mudah bagi-Nya.
Dalam realitas, tak jarang kita mendapati seseorang yang memamerkan sesuatu yang dimilikinya. Dunia serasa menjadi panggung unjuk kepemilikan yang sebenarnya bukan milik mereka. Jabatan digunakan untuk kepentingan pribadi, golongan, dan keluarganya. Harta berlimpah diiringi kehidupan glamour dipertontonkan tanpa mengetahui bahwa 2,5% dari harta yang bernisab ada hak orang lain yang tidak mampu.
Belum lagi dampak yang ditimbulkan secara psikologis, manusia normal manakah yang tidak ingin hidupnya bergelimang harta, punya kendaraan mewah dan bisa berlibur sesuka hatinya. Bagi orang yang memiliki semangat dan kerja keras, mungkin peristiwa itu akan menjadikan motivasi, tetapi bagaimana bagi yang berpikiran sempit?
Melihat orang yang berkehidupan mewah bisa saja mereka ingin mendapatkan hal sama secara instan tanpa mengetahui bagaimana susah payahnya proses pada awal mereka mendapatkannya. Akhirnya mereka menghalalkan cara dengan mencuri, menipu, korupsi, dan menggadaikan iman semua dilakukan karena sudah hilang rasa syukur pada dirinya. Hal ini juga tidak jauh dampaknya dengan orang yang memiliki sifat tinggi hati tetapi mereka secara materi tidak memiliki. Mereka hanya memiliki kesombongan di ruang imajinasi, bicaranya tinggi, tetapi berbeda dengan realitas yang sebenarnya.
Biasanya mereka yang memiliki sifat tinggi hati akan berdampak dengan beberapa hal. Pertama, orang tinggi hati biasanya akan merasa lebih baik dari orang lain, mudah menghina atau meremehkan baik itu pendapat, perasaan, atau pencapaian seseorang. Kedua, orang tinggi hati biasanya juga gegabah dalam mengambil keputusan.
Bukti konkretnya, dia sendiri tidak mengerti atas apa dampak yang ditimbulkan dari perkataan dan perbuatannya. Ketiga, orang tinggi hati itu akan menghambat pertumbuhan pribadi nya sendiri. Hal ini dikarenakan seseorang yang tinggi hati tidak akan mau belajar dari kesalahan atau menerima kritik dari orang lain alias keras kepala.
Selain dampak yang ditimbulkan di atas, ada dampak yang akan kembali kepada dirinya sendiri. Kurangnya empati mereka terhadap sesama, mereka akan kehilangan kesadaran atas keberadaannya sendiri. Lambat laun, hal itu akan menimbulkan rasa cemas dan jauh dari rasa tenang. Padahal rasa tenang sendiri bukanlah ketiadaan masalah, melainkan kemampuan setiap pribadi untuk berdamai dengan apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri.
Menyisihkan harta bagi yang berlebih dan berbicara secara terukur dengan realitas yang dimiliki itu adalah penemuan jati diri. Dengan bisa berdamai itulah mereka akan menemukan kedamaian atas segala apa yang bersumber dari dirinya maupun segala hal yang ada di luar diri mereka. Baik itu menyangkut, keadaan dirinya, keadaan orang lain, bahkan tentang masa depan.
Sejatinya tidak ada yang bisa melukai diri kita selain diri kita sendiri. Sesungguhnya apa pun yang datangnya dari luar sifatnya netral, tak bisa merubah atau mempengaruhi kecuali pikiran yang memulai. Artinya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menyombongkan diri karena sifat tinggi hati yang dimiliki atau menjadi korban dari tinggi hatinya seseorang. Tetapi sebaik-baiknya kita adalah yang bisa mengendalikan diri dari pikiran yang menyebabkan kegelisahan.
Allahu a’lam bishawab
*”Berbagi Manfaat Positif (BMP)”. Penulis kelahiran Kabupaten Malang yang sekarang berdomisili di Kabupaten Mojokerto.