Oleh: Zuhairi Misrawi
Alumni Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir
KHITTAH.co – Dalam sebuah perjalanan ke Teheran untuk mengikuti konferensi Titik-Temu Sunni-Syiah pada bulan Februari lalu, saya kebetulan di pesawat Qatar Airways duduk bersebelahan dengan Syekh Tijani al-Samawi, ulama asal Tunisia.
Ulama ini mulanya pengikut mazhab Sunni, tepatnya mazhab Imam Malik. Tapi, dalam petualangannya mencari kebenaran dalam Islam, ia akhirnya memilih untuk menjadi pengikut mazhab Ahlul Bait, yang biasa dikenal dengan Syiah, tepatnya Syiah Jakfariyah.
Sepanjang perjalanan kurang lebih 2 jam itu, Syekh Tijani bercerita tentang petualangan hidupnya. Ia tuangkan petualangan tersebut dalam bukunya Tsama Ihtadaytu. Artinya: akhirnya saya menemukan petujuk.
Buku yang menarik dibaca, khususnya bagi saya yang bermazhab Sunni. Saya jadi mengerti, kenapa orang-orang Sunni bisa berpindah mazhab menjadi bagian dari mazhab Ahlul Bait atau Syiah.
Saya takjub dengan petualanga Syekh Tijani, tapi saya tidak terpengaruh sedikitpun dengan pengalaman spiritualnya. Saya memilih untuk tetap menjadi Sunni, meski belakangan ini mulai terbiasa membaca buku-buku yang ditulis oleh pengikut Ahlul Bait.
Saya beruntung bisa berkenalan langsung dengan para ulama Syiah, sehingga saya dapat merasakan dan memahami langsung pikiran mereka. Bahkan, saya pernah bermakmum shalat di belakangan ulama Syiah.
Kembali kepada Syekh Tijani, selama di dalam pesawat, ia tidak habis pikir menjelaskan massifnya kampanye negatif tentang Syiah. Bahkan, menurut dia, kampanye negatif tentang Syiah yang sudah dihadapi sejak masih muda justru tidak surut.
“Belakangan saya merasakan banyak sekali informasi tentang Syiah yang disampaikan secara negatif. Makin massif dan jauh dari kebenaran”.
Ia menambahkan, “Saya sangat senang buku saya akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga orang-orang Sunni yang membaca buku saya dapat memahami mazhab Ahlul Bait dengan baik. Pengalaman spiritual saya ini sudah diterjemahkan ke dalam 60 bahasa”.
Memang, kekhawatiran Syekh Tijani dapat dimaklumi. Apalagi konflik sektarian Sunni-Syiah ini dibalut dengan motif politik, yang akhirnya bisa menimbulkan gesekan, bahkan konflik yang berujung pada kekerasan dan pembunuhan.
Jaringan al-Qaeda dan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) kerap menggunakan isu Sunni-Syiah, dan tak luput Arab Saudi dalam dinamika politik mutakhir di Yaman dan Suriah juga menggunakan isu Sunni-Syiah sebagai bungkus narasi politik.
Saya berpandangan, memang tidak ada gunanya memelihara isu konflik Sunni-Syiah yang menyejarah itu. Alasannya, karena mudaratnya lebih besar dari manfaatnya.
Sejarah membuktikan, jutaan umat manusia dikorbankan hanya karena perbedaan mazhab. Diperlukan kebesaran jiwa dari masing-masing pihak, baik pengikut Sunni maupun pengikut Syiah untuk mengedepankan persaudaraan daripada pertengkaran.
Imam Ali bin Abi Thalib memberikan teladan yang sangat baik saat Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin pertama pasca-wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Imam Ali bin Abi Thalib yang sebenarnya lebih pantas menduduki posisi tersebut, justru menerima keputusan terpilihnya Abu Bakar dengan alasan mengedepankan kepentingan bersama umat Islam. Persaudaraan lebih utama dari percekcokan, apalagi jika hanya untuk kekuasaan semata.
Kalau kita melihat sejarah mazhab dalam Islam, mazhab-mazhab Sunni mempunyai rumpun geneologis dari mazhab Syiah Jakfariyah.
Imam Abu Hanifah sebagai imam terkemuka dalam Sunni adalah murid dari Imam Jakfar al-Shadiq yang merupakan imam terkemuka dalam Syiah Imam Keduabelas.
Imam Abu Hanifah senantiasa menghormati gurunya, Imam Jakfar. Hal tersebut membuktikan, bahwa imam mazhab Sunni belajar kepada imam mazhab Syiah.
Imam Syafi’i pun salah satu imam besar dalam mazhab Sunni sangat mencintai Imam Ali bin Abi Thalib. Bahkan dalam salah satu penuturannya, jika seandainya kecintaannya pada Ahlul Bait dianggap sebagai Syiah, maka ia pun rela disebut Syiah.
Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Abu Abu Hanifah, dan Imam Syafii mengajarkan kepada kita semua pentingnya mengedepankan persaudaraan dan kebersamaan. Tidak ada alasan sedikitpun bagi setiap pemeluk agama untuk menjadikan agama sebagai sumber kebencian dan pertengkaran.
Dalam empat tahun terakhir, saya aktif mengikuti konferensi titik-temu Sunni-Syiah yang digelar oleh pemerintah Iran di Teheran. Ada ratusan buku yang diterbitkan oleh pemerintah Iran untuk mendorong sikap saling menghargai antara Sunni dan Syiah.
Bahkan, Imam Khomenei sebagai pemimpin tertinggi di Iran sudah mengeluarkan fatwa, haram hukumnya bagi penganut Syiah untuk mencela para sahabat Nabi dan Siti Aisyah.
Menurut saya, pemerintah Iran sebagai salah satu negara yang secara resmi menganut paham Syiah Jakfariyah/Imam Keduabelas sudah membuka diri untuk membangun jembatan dialog dengan kalangan Sunni dari berbagai dunia Islam.
Saya merasakan langsung kehangatan persaudaraan orang-orang Syiah terhadap saya yang bermazhab Sunni.
Sekarang bola ada pada kalangan Sunni agar membuka dialog dengan kalangan Syiah. Indonesia dapat menjadi representasi negara Muslim Sunni terbesar di dunia. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan dua ormas Muslim terbesar yang sangat ramah terhadap keragaman, di antaranya terhadap Syiah.
Saya bermimpi, Indonesia dapat menjadi laboratorium titik-temu Sunni-Syiah. Saatnya kita kabarkan kepada dunia, bahwa Bhinneka Tunggal Ika berdiri tegak, baik dalam intra-agama maupun antar-agama. Kita harus mulai dari sekarang.
Sumber: Kompas.com