Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Transformasi Nilai Puasa Ramadan untuk Mengendalikan Dampak Kapitalisme Global

×

Transformasi Nilai Puasa Ramadan untuk Mengendalikan Dampak Kapitalisme Global

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Di luar kajian akademik pun, jika kita mengamati secara seksama kehidupan hari ini, maka bisa ditermukan fakta-fakta yang mengonfirmasi kebenaran tesis Francis Fukuyama: The End of History, dan kemenangan bagi kapitalisme (termasuk demokrasi liberal). Hampir, atau bisa saja semuanya, telah dirasuki oleh kapitalisme. Secara sederhana bisa dipahami bahwa semua perilaku manusia sudah tergiring pada upaya konversi dan akumulasi kapital dan tidak sedikit menggerogoti dimensi nilai ideal yang ada di dalam diri manusia dan kehidupannya, demi memenuhi hasrat.

Mengikuti rimba narasi-narasi semiotik Yasraf Amir Piliang, di dalamnya akan ditemukan pemahaman bahwa “berbeda dengan kapitalisme awal, yang ukuran kemajuannya sangat tergantung seberapa besar ruang (pasar, teritorial) dapat dikuasai dalam satuan waktu tertentu, pada kapitalisme global dewasa ini, ia lebih diukur dari kecepatan itu sendiri”. Dari sini saja, bisa dipahami bahwa kapitalisme global memiliki daya pengaruh yang sangat kuat, bahkan menggiring manusia sampai pada “ekonomi libido” dan “masyarakat ekstasi”. Dua dampak yang disebutkan ini, yang sangat terasa pada manusia di muka bumi ini. Substansi tulisan ini, saya akan memfokuskan pada kedua hal tersebut.

Sebelum membahas terkait “ekonomi libido” dan “masyarakat ekstasi”, sebagai dua dampak di antara banyaknya dampak yang telah ditimbulkan oleh kapitalisme global. Saya ingin menyampaikan terlebih dahulu, hasil reinterpretasi dari pembacaan filosofis dari buku Falsafatuna (terbitan Mizan) karya Muhammad Baqir Ash-Shadr. Disadari bahwa kapitalisme memiliki kecenderungan materialistik. Dan seiring perkembangannya semakin menampakkan kecenderungan semangat materialistis yang zalim. Karena kecenderungan materialistiknya tidak dibangun di atas filsafat materialistis dan kajian detail terhadapnya.

Apalagi ketika kapitalisme bersanding satu pasang dengan demokrasi, menjadi demokrasi kapitalistis, akan semakin merayu dan menggiurkan manusia. Hal itu disebabkan karena di dalamnya mengandung empat deklarasi kebebasan dan secara manusiawi sangat relevan dengan hasrat manusia: pertama, kebebasan politik; kedua, kebebasan ekonomi; ketiga, kebebasan mengeluarkan ide; dan keempat, kebebasan individual.

Jika mengikuti cara pandang Nicolai Berdyaev—seorang filsuf eksistensialis, maka sesungguhnya kapitalisme (termasuk komunisme) mengandung problem. Meskipun di atas disebutkan deklarasi kebebasan, yang salah satunya adalah kebebasan individu, tetapi bagi Berdyaev, dalam kapitalisme “individu hanya ibarat suku cadang dalam suatu konfigurasi besar yang sewaktu-waktu dapat diganti”.

Dari Berdyaev (dalam Fuad Hasan), saya memahami bahwa baik kapitalisme maupun komunisme, sesungguhnya membelenggu kebebasan manusia secara eksistensial. Solusi atas keduanya, Berdyaev menganjurkan sesuatu yang disebutnya “personalisme” yang dipandang berbeda dengan individualisme. Hanya saja dalam tulisan ini tidak membahas terkait “personalisme” maupun “individualisme.

Sudah lama, saya pribadi meyakini bahwa solusi atas kelemahan kapitalisme dan komunisme adalah Islam. Mengapa saya menyimpulkan Islam? Secara sederhana, saya memahaminya bahwa dalam Islam terdapat titik temu atau solusi atas harapan dan kekurangan kapitalisme dan komunisme. Islam pun memberikan keutamaan pada kebebasan dan kepentingan individual yang menjadi semangat kapitalisme, namun pada saat yang sama, Islam mengajarkan spirit kepedulian kepada yang lain atau kehidupan sosial yang menjadi semangat komunisme. Bahkan Berdyaev pun menegaskan “Satu-satunya hubungan yang tidak meniadakan kemerdekaan manusia untuk tampil dengan kesejatian pribadinya (personal authenticity) ialah hubungan dengan Tuhan”. Salah satu ajaran kunci, dan utama dari Islam adalah tauhid kepada Allah.

Di Indonesia, berdasarkan pengalaman sejarahnya yang perih, sudah pasti komunisme ditolak dengan keras oleh sebagian besar (jika tidak mengatakan semuanya) oleh warga negara. Namun dampak kapitalisme, apalagi kapitalisme global, terkesan sama sekali tidak pernah terdengar dalam realitas empirik dari warga negara untuk suara penolakan atau perlawanan terhadapnya, kecuali hanya menjadi kajian akademik yang menarik dalam institusi pendidikan.

Padahal khususnya kapitalisme global juga sangat meresahkan. Bahkan bagi saya pribadi “politik oligarki”, dan “politik uang” pun yang menciderai proses-proses konsolidasi demokrasi untuk mencapai kehidupan demokrasi prosedural dan substansial, itu juga adalah bias kapitalisme.

Semua itu, terkesan tidak terasa khususnya dalam kehidupan masyarakat karena sebagaimana penegasan Yasraf memang kapitalisme global itu menggiring manusia untuk sampai pada ekonomi libido dan masyarakat ekstasi. Sangat terasa hari ini, bahwa kepanikan-kepanikan globa muncul ketika hanya bersentuhan pada problem seperti “lapisan ozon”, “hutan tropis”, “harimau sumatera”, atau kepunahan habitat hewan dan tumbuhan. Coba bayangkan, menyusutnya jumlah habitat orang hutan Sumatera, itu bisa menimbulkan kepanikan oleh orang Eropa berkenaan (meskipun alasannya) dengan masa depan kehidupan umat manusia.

Ketika yang terkikis adalah moral, nilai-nilai spiritualitas, dan kemanusiaan, sama sekali tidak pernah dirasakan adanya kepanikan. Direspon dengan biasa-biasa saja. Ini adalah problem. Padahal jika kita mau jujur, seringkali kepunahan sumber daya alam, itu berawal dari krisis moral tanpa kecuali dari oknum elit tertentu.

Masyarakat ekstasi. Ada beberapa defenisi ekstasi yang dikutip dari beberapa pakar oleh Yasraf ke dalam bukunya Dunia yang Dilipat. Namun bagi saya, yang menarik dan relevan dengan substansi tulisan ini adalah dari Jean Baudrillard. Ekstasi menurut Baudrillard adalah “kondisi mental dan spiritual di dalam diri setiap orang yang berpusar secara spiral, sampai pada satu titik ia kehilangan makna”.

Adalah Baudrillard pun mendefenisikan “ekonomi libido, yaitu yang berkaitan dengan perkembangbiakan dan naturalisasi hasrat”. Intinya bagi Baudrillard dalam masyarakat ekonomi libido apa pun diproduksi; apa pun normal; apa pun tanpa rahasia; dan apa pun nyata.

Dalam perspektif Masyarakat Ekstasi Yasraf, “Ketidakpedulian masyarakat dunia terhadap segala dimensi dan nilai ini adalah sebagai akibat dari tenggelamnya mereka ke dalam kondisi ekstasi masyarakat konsumer. Keterpesonaan, ketergiuran, dan hasarat yang dibangkitkan oleh kondisi ekstasi yang telah melanda kehidupan masyarakat konsumer di tengah-tengah kehidupan yang dikitari oleh belantara benda-benda, tanda-tanda, makna-makna semu”.

Ada banyak fenomena dalam kehidupan, tanpa kecuali terjadi dalam bulan Ramadan ini, yang mencerminkan “masyarakat ekstasi”, termasuk jika dikaitkan dengan pemahaman sebagai pengaruhnya–“[terjadinya] kekosongan jiwa akan makna-makna spiritual, moralitas, dan kemanusiaan”. Dalam bulan Ramadan ini, tanpa kecuali terjadi di daerah tempat tinggal penulis, aksi amoral terjadi, seperti “pembusuran” orang-orang yang tidak berdosa, tanpa motif amarah dan kebencian, tetapi berdasarkan pengakuan pelaku sebagaimana video yang beredar, bisa disimpulkan hanya untuk memenuhi “hasrat”, sejenis ketergiuran atau kegirangan, jika aksinya berhasil memakan korban.

Selain yang dicontohkan di atas, tanpa kecuali kita pun bisa melihat sebagai contoh “kasus pembuangan bayi” yang baru saja menjadi trending topic dalam jagat pemberitaan, khususnya di Kabupaten Bantaeng. Dalam perspektif Masyarakat Ekstasi, secara akademik memang disadari pembunuhan [maupun upaya pembunuhan] tidak lagi dinilai sebagai sesuatu yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, membangkitkan rasa sedih atau sadis, tetapi terkadang justru membangkitkan rasa bangga (seperti contoh pelaku pembusuran di atas).

Dalam masyarakat ekstasi terkadang “jiwa manusia tak lebih berharga dari sebatang rokok atau selembar seribu rupiahan; ketika membunuh orang sama gampangnya dengan membunuh seorang tokoh dalam permainan Nintendo”. Ini yang ditegaskan oleh Yasraf (2019:89). Apa yang disimpulkan oleh Yasraf ini, bisa terkonfirmasi dalam realitas kehidupan, ada saja laku kekerasan, itu hanya diiming-imingi sejumlah uang untuk hidup sehari-semalam atau sekadar pembeli rokok.

Dalam masyarakat ekstasi sebagai bias dari nilai yang lahir dari kapitalisme global, aksi kekerasan dan sadis seringkali—jika memahami pandangan Yasraf—“tak lagi menimbulkan perasaan bersalah, dosa, atau hina, tetapi justru sebaliknya perasaan kemenangan, kejantanan, dan kebanggaan”. Jadi mereka disimpulkan menuju kondisi moralitas yang serba terbalik dan ekstrim.

Dalam contoh lain dan memiliki relevansi sebagai masyarakat yang telah mengalami ekstasi, kita bisa saksikan betapa banyak orang-orang kaya, yang sumber kekayaannya berasal dari hasil korupsi dan/atau perbuatan amoral lainnya, seperti Bandar narkoba, masih saja nampak bangga. Sama sekali terkesan pada dirinya tidak dihantui rasa berdosa. Pemandangan ini, seringkali pun kita saksikan ketika ada koruptor mengalami OTT dan tersorot kamera, tidak sedikit yang masih nampak santai dengan penuh rasa percaya diri melambaikan tangan, tanpa ada sedikit pun raut saraf malu yang nampak di wajahnya.

Antara masyarakat ekstasi dan ekonomi libido itu saling berkorelasi positif, saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Ini mungkin bisa dimaknai membentuk “lingkaran setan”. Salah satu spirit dalam ekonomi libido adalah naturalisasi. Jadi perilaku korupsi, kekayaan dari sumber haram, aksi kekerasan, itu dinilai sebagai hal-hal natural saja, sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja demi memenuhi hasrat.

Bahkan hal-hal yang tidak mencerminkan nilai spiritualitas, dan kemanusian dipandang sebagai sesuatu yang natural sehingga tidak apa-apa terus diproduksi, seperti hoax, tidak apa terus dinampakkan seperti, aksi-aksi kekerasan tidak sedikit yang sengaja melalui live streaming sengaja dipertontonkan. Atau tindakan-tindakan asusila pun sengaja dinampakkan, terkesan dalam hidup ini tidak ada lagi rahasia baik yang bersifat private maupun yang menyangkut bagian tubuh yang sensitif dalam perspektif ajaran Islam.

Jadi banyak hal yang ditimbulkan oleh kapitalisme global, hanya saja kita nampak diam, tidak ada perlawanan keras seperti perlawanan terhadap komunisme. Namun tentu saja, saya pun selaku penulis menyadari, karena mungkin sebagaimana kesimpulan Fukuyama, kapitalisme terkesan telah memenangkan pertarungan, maka sulit lagi dihilangkan.

Jika memang sulit dihilangkan, maka saya menawarkan untuk mengendalikan. Salah satu cara untuk mengendalikannya adalah dengan melakukan transformasi nilai puasa Ramadan. Transformasi nilai, saya maksudkan agar nilai dan makna, serta fungsional puasa yang dilakukan selama satu bulan lamanya, apalagi dalam tinjauan filosofi habits, jangan hanya berdampak dalam bentuk pencapaian pahala yang kelak akan bermuara pada surga, atau hanya lebih pada fungsi kesehatan mental dan fisik personal semata, tetapi bagaimana nilai-nilai itu dikontesktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui sikap, perilaku atau perbuatan dan menjadi solusi atas problem sosial.

Puasa sesungguhnya secara hakiki mengajarkan pengendalian diri atau mencegah nafsu duniawi. Hal ini, dipandang sangat efektif melawan hasrat bahkan mesin hasrat yang menjadi sasaran kendali utama dari kapitalisme global. Puasa pun tentunya dipahami mampu untuk menyeimbangkan diri bukan hanya berkiblat pada duniawi dengan segala keterpesonaannya, tetapi memfokuskan diri secara lebih terhadap Sang Maha Kuasa: Allah. Nilai-nilai inilah yang harus ditransformasi untuk mengendalikan dampak daripada kapitalisme global.

Bagi yang sering membaca tema-tema kapitalisme, saya yakin akan mengetahui bahwa masih banyak hal yang belum terungkap melalui tulisan ini, apalagi hanya tulisan yang sifatnya untuk media online. Namun minimal, ini bisa memantik pemahaman dan kesadaran bahwa kapitalisme pun harus dikendalikan, dan ternyata dalam ajaran Islam ada hal, ada ibadah yang bisa dipandang memiliki nilai yang mampu untuk mengendalikannya.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply