Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Transformasi Nilai Thuma’ninah Shalat dalam Realitas Kehidupan

×

Transformasi Nilai Thuma’ninah Shalat dalam Realitas Kehidupan

Share this article
sumber ilustrasi: www.bing.com

Oleh: Agusliadi Massere*

Agama sejatinya tidak hanya menyentuh ranah private dan sesuatu yang transenden. Agama sebagaimana pesan yang saya tangkap dari buku Islam Fungsional: Revitalisasi & Reaktualisasi Nilai-Nilai Keislaman Karya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, “Selain sebagai keyakinan yang dianut secara paripurna, agama juga berfungsi sebagai social control dan motivator pembangunan berdimensi kemanusiaan. Secara algoritmik, (mungkin saja) ini yang memantik terpancarnya dari dalam diri, sehingga saya punya kecenderungan membahas agama dan ibadah-ibadah dengan membentangkan garis relasi dengan realitas kehidupan. Singkatnya, sejenis fungsional agama.

Transformasi nilai thuma’ninah shalat dalam realitas kehidupan, tujuan utamanya kurang lebih sama dengan apa yang menjadi harapan dan pandangan Nasaruddin Umar. Saya ingin nilai dan manfaat yang bisa dirasakan dari apa yang dimaksud dengan thuma’ninah secara praktis dan pragmatik memberikan manfaat pula dalam kehidupan, terutama kehidupan keseharian kita.

Selama ini ada yang kurang dari pemahaman kita, terkesan bahwa nilai kesempurnaan shalat hanya ditentukan oleh seperti apa tingkat kekhusyukan yang bisa dicapai. Padahal yang tidak kalah pentingnya adalah thuma’ninah-nya. Padahal, sebagaimana salah satunya pernah ditegaskan oleh Haidar Bagir, kekhusyukan bisa dicapai jika kita mampu melakukan apa yang disebut dengan thuma’ninah.

Dalam kehidupan ada yang paradoks, meskipun tentunya saya yakin muslim yang memiliki tingkat ketakwaan dan rasa cinta yang tinggi kepada Allah tidak akan memilikinya, dan meskipun pula saya secara pribadi tidak punya otoritas untuk menilai tingkat ketakwaan seseorang. Apa itu, hal paradoks yang saya maksudkan? Awal bulan Ramadhan tahun ini (meskipun ada dua versi) saya mendapati seseorang melakukan perbincangan, terkait adanya imam masjid yang terkesan agak lambat cara membaca Al-Qur’an-nya, termasuk jedah dari gerakan yang satu ke gerakan yang lain (seperti dari ruku ke sujud).

Selain hasil perbincangan di atas, saya dan para pembaca pun pasti pernah mendapati, baik berupa video maupun melihat dan/atau mengikuti secara langsung ada imam yang bacaan dan termasuk gerakannya yang super cepat. Jika pun tidak super cepat, tetapi masih bisa dikategorisasikan “cepat”. Seakan ingin mengikuti logika dan paradigma kemajuan Paul Virilio, “kecepatan yang menjadi ciri kemajuan”. Dan ternyata model imam yang seperti ini, masih banyak juga yang sukai, buktinya masih banyak jamaah atau yang berperan sebagai makmum ikut shalat berjamaan dengannya.

Mudah-mudahan setelah membaca tulisan saya ini, para imam yang seperti itu, tidak lagi melakukan kebiasaan, yang mungkin tidak apa-apa jika disebut “kebiasaan buruk”. Begitupun para makmum tidak dengan sengaja dan penuh kesadaran mencari masjid yang imamnya seperti itu. Tentunya berbeda jika cepat selesai dalam pengertian bahwa memang ayat-ayat yang dibacanya pendek dan hanya dua sampai tiga ayat, bukan hal ini yang secara substansial disorot oleh tulisan ini.

Pemahaman thuma’ninah yang baik, saya temukan setelah membaca karya Haidar Bagir, Buat Apa Shalat?, dan bahkan Bagir mengutip pandangan ilmuwan kontemporer yang menarik relasi dengan apa yang dimaknai Flow. Selain itu dari karya Ary Ginanjar Agustian. Meksipun dari karya Ary Ginanjar ini tidak secara eksplisit menguraikannya tetapi, saya menemukan pencerahan di dalamnya yang menguat pemahaman saya terkait thuma’ninah dan aspek fungsionalnya dalam kehidupan.

Adalah Haidar Bagir menjelaskan “Thuma’ninah adalah ketenangan dalam melakukan semua bacaan dan gerakan shalat, sedemikian sehingga kesemuanya itu dapat dilakukan satu demi satu (one at a time), tidak terburu-buru, sambil memberi waktu cukup untuk pelaksanaan secara sempurna semua rukun shalat, agar kekhusyukan shalat dapat terpelihara. Bahkan Bagir pun menegaskan, “…merupakan latihan dan sarana untuk menaikkan tingkat jiwa kita sehingga mencapai derajat “jiwa yang tenang”.

Menurut Bagir thuma’ninah memiliki akar kata yang sama dengan muthama’innah. Dalam QS. Al-Fajr [89]: 27-30 dilukiskan dengan indah urgensi jiwa yang tenang. “Wahai jiwa yang tenang (muthma’innah). Pulanglah kamu kepada Rabbmu dalam keadaan kamu rela dan Tuhanmu rela kepadamu. Maka masuklah kamu ke golongan hamba-hamba-Ku. Dan, masuklah kamu ke surga-Ku”.

Jadi untuk pulang kepada Allah, dibutuhkan ketenangan jiwa. Dan tentunya ketenangan jiwa itu, sebagaimana telah ditegaskan oleh Bagir di atas, bisa dicapai dengan thuma’ninah. Lalu untuk apa relasi dan relevansinya dengan kehidupan? Mengapa nilai thuma’ninah ini harus dilakukan transformasi nilai dalam realitas kehidupan.

Seringkali kita menjumpai dalam kehidupan ini, orang-orang yang diburu waktu. Merasa terkejar deadline yang ditetapkan oleh perusahaan atau lembaga, tempat dirinya bekerja. Teman jurnalis yang membaca tulisan ini pun, saya yakin pernah merasakan hal yang sama. Dan mungkin yang paling terasa berat, jika persoalan deadline itu adalah terkait persoalan utang. Tanpa kecuali orang-orang yang sedang menjalani ujian akan merasakan hal sama, termasuk para kontraktor yang mendapati batas waktu pengerjaan proyek.

Dalam keadaan mengalami perasaan terdesak seperti ini, seringkali yang bersangkutan semakin stress. Bayangan solusi semakin jauh. Kondisi ini, sebagaimana yang saya pahami dari Anna Wise penulis buku The High Performance Mind: Mastering Brainwaves for Insight, Healing, and Creativity, yang secara substansial membahas tentang jenis gelombang-gelombang otak dalam diri manusia. Dari Wise, bisa dipahami dan saya representasikan dan parafrasekan seperti ini sesuai konteks tulisan ini, “ dalam keadaan terdesak seperti, otak cenderung melahirkan gelombang otak Betha, dan gelombang otak ini pada dasarnya memang menghasilkan problem baru karena memicu rasa stress, takut, dan lain-lain.

Selain dari Wise di atas, kita pun bisa memahami dari Bobby DePorter & Mike Hernacki penulis buku Quantum Learning—meskipun untuk tulisan-tulisan bulan Ramadhan, baik tahun lalu maupun tahuni ini, saya sudah sering mengutip dan meminjam pandangannya. Salah satu skema yang dirumuskan, sangat jelas dan biasa dipahami bahwa, kedahsyatan otak hanya bisa bangkit ketika dipengaruhi oleh suasana hati yang TSB (Tenang, Senang, dan Bahagia). Jika merasa terdesak waktu, sudah bisa dipastikan bukan hanya memicu aktivasi gelombang otak Betha, tetapi termasuk suasana hati yang TSB sulit dirasakan. Berarti konsekuensi logis berikutnya, fungsi otak tumpul atau berhenti.

Ada kisah menarik nyata yang menarik diuraikan oleh Ary Ginanjar Agustian dalam buku karyanya ESQ: The ESQ Way 165, 1 Ihsan 6 Rukun Iman an 5 Rukun Islam (cetakan keduapuluh lima, 2006: 274-275). Kisah ini terjadi pada tahun 1978 yang dialami oleh perusahaan yang bergerak di bidahg telekomunikasi.

Cerita singkatnya bahwa, perusahaan tersebut mendapatkan sebuah proyek pemasangan sistem alarm pada sebuah gedung baru. Permasalahannya, mereka hanya diberi waktu kurang dari satu hari untuk menyelesaikannya seluruh pekerjaan tersebut. Gdung itu harus diresmikan esok hari pagi-pagi sekali. Dan mereka harus memasang sistem elektronik yang rumit dalam waktu yang sangat singkat.

Setelah mereka melakukan pekerjaan rumit dan singkat kurang lebih tiga jam, mereka dihantui perasaan gugup dan panik. Mereka semua khawatir tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan tentunya jika gagal maka akan mencederai kredibilitas perusahaan. Para teknisi hebat yang dimiliki perusahan tersebut tampak jadi begitu bodoh sekali ketika dirinya didesak oleh waktu dan situasi yang begitu menekan.

Melihat kondisi para teknisi yang seperti itu, sang pimpinan perusahaan, mengambil langkah bijak, cerdas, dan cemerlang. Sang pimpinan mengajak semua para teknisi tersebut, untuk sementara meninggalkan gedung itu, keluar ruangan. Mereka berjalan-jalan keluar, menyegarkan diri dari suasana yang tegang.

Setelah satu jam mereka beristirahat mereka kembali bekerja. Hal super apa yang terjadi?—meminjam dan memodifikasi sedikit istilah Mario Teguh—ternyata mereka bisa menyelesaikan pekerjaan rumit itu dalam waktu kurang dari dua jam. Rupanya mereka bisa bekerja dengan baik dalam kondisi yang tenang. Sang teknisi hebat sekalipun tidak mampu bekerja dalam kondisi tegang.

Coba kembali pada diri sendiri, atau melihat situasi yang pernah terjadi dalam perusahaan atau lembaga kita. Mungkin kita pernah mendapati para pimpinan, yang dalam terdesak seperti itu justru semakin melampiaskan “kemarahan-hebat” dan semakin mendesak untuk segera dilakukan. Bahkan intinya jangan pernah mau istirahat sedetik pun, segera selesaikan.

Untuk menghadapi situasi seperti di atas, dan contoh kisah baik, nyata dan menarik dari Ary Ginanjar, tulisan saya ini, “Transformasi Nilai Thuma’ninah dalam Realitas Kehidupan” menemukan ruang relenvasi, signifikansi, dan akan memberikan implikasi besar. Jadi nilai thuma’ninah yang akan ditransformasikan akan menemukan ruang kontekstualisasinya. Bahkan sesaat sebelum dan atau sesudah membaca buku ini, bisa jadi ada pembaca yang merasakan dan seketika mempraktikkan/mengaplikasikan, maka akan dirasakan kemanfaatan dan kedahsyatan tulisan ini.

Ingat dan ini sejenis yang sudah bisa dipandang sebagai aksioma bahwa, “kebahagiaan dan/atau pun ketenangan jiwa sangat ditentukan oleh situasai dalam diri atau realias internal, bukan dipengaruhi oleh situasi atau realitas eksternal. Tidak berlebihan jika dikatakan, bom meledak pun, jika dasar hati kita tenang, maka Insya Allah tidak akan kaget dan ketakutan.

Ada sedikit cerita meskipun sifatnya subjektif dan mudah-mudahan pula tidak riya’. Pada suatu waktu dalam tahapan pemilu, kami bersama driver mobil dinas KPU Kabupaten Bantaeng melaju menuju Makassar, ke tempat foto copy dan akan lanjut ke bandara. Saya bermaksud menuju Jakarta untuk menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi. Dalam perjalanan itu, kecepatan mobil sangat cepat, apalagi driver-nya ini memang dikenal dengan skill “tingkat dewa”. Term “dewa” di sini sekadar istilah tidak bermaksud untuk mensejajarkan dengan penyebutan Allah. Tiba-tiba mobil tersebut menyambar pengendara motor meskipun masih tetap terkendali (pengendaranya tidak jatuh dan tidak luka) dan hampir saja menabrak mobil pasukan TNI yang ada di depannya. Semuanya kaget, Alhamdulillah saya pribadi merasakan biasa-biasa saja, tidak kaget.

Dari kejadian ini, salah seorang dari lembaga lain, menyampaikan kepada pimpinan dan sekaligus keluarganya, terkait perasaan, sikap dan perilaku saya pada saat menghadapi kejadian menegangkan itu. Lalu sang pimpinan yang dimaksud, pada saat bertemu dengan saya melontarkan candaan “…Agus meskipun bom meledak di dekatnya tidak terpengaruh, tidak akan kaget”. Sama halnya ketika kantor kami sedang didemo saya “seakan” menikmatinya, tenang-tenang saja. Begitu pun, kejadian yang menurut standar ukuran orang lain termasuk keluarga sangat menegangkan dan menyedihkan, tepatnya pada saat gagal dilantik sebagai anggota KPU Kabupaten Bantaeng, sesuai jadwal pelantikan bersama, Alhamdulillah, saya masih mampu menenangkan diri/hati dan masih memancarkan rasa optimis yang tinggi, bahwa Insya Allah saya akan dilantik kembali.

Teman pembaca pun perlu tahu, atas apa yang saya uraikan baru saja, terkait sikap dan perilaku dalam menghadapi situasi, itu sama sekali belum menegaskan dan memastikan bahwa itu, saya mampu lakukan karena nilai thuma’ninah shalat yang telah dilaksanakan. Meskipun demikian, saya ingin menegaskan bahwa salah satu cara terbaik, bahkan ini, jika memahami dari Bagir, sebagai latihan dan sarana mencapai ketenangan jiwa, adalah memperhatikan thuma’ninah kita dalam shalat.

Ada kisah menarik lagi yang sering saya sampaikan dalam forum-forum perkaderan dan LDK OSIS ketika membahas terkait jenis gelombang otak manusia. Dan ternyata kisah itu pun diuraikan oleh Bagir dalam bukunya yang mempertegas manfaat thuma’ninah. Entahlah apakah saya atau Bagir yang lebih dahulu memahami dan mengetahui kisah tersebut, tulisan ini tidak memberikan ruang untuk mencarinya.

Kisah yang saya maksudkan adalah, ketika kaki Imam Ali terkena anak panah dalam suatu peperangan. Mungkin saja, karena masa itu belum ada obat dan alat medis yang secanggih dengan era modern hari ini, sehingga Ali tidak mampu menahan rasa sakit pada setiap kali para sahabat berusaha mencabutnya.

Akhirnya, mereka menghadap Rasulullah Muhammad saw perihal yang menimpa Ali. Rasulullah memberi petunjuk dengan bersabda “Cabutlah anak panah itu ketika ia sedang Shalat”. Maka pada saat Ali sedang shalat para sahabat datan mencabutnya. Anehnya dan inilah kedahsyatan “jiwa yang tenang”, Ali tidak merasakan sakit sedikit pun, bahkan darah yang mengalir tidak diketahui bahwa itu adalah darahnya. Imam Ali berkata “Demi Allah yang nyawa Ali berada dalam genggaman-Nya, saya sungguh tidak mengetahui hal ini”. (maksudnya darah itu tidak diketahui bahwa adalah darahnya, karena Ali pun tidak mengetahui bahwa ada yang sedang mencabut anak panah dari dirinya.

Terkait thuma’ninah ini, Bagir pun meminjam pandangan Mihaly Csikszentmihalyi, seorang tokoh mazhab psikologi positif. Jika memperhatikan pandangan Mihaly yang diistilahkan dengan “flow”,sesungguhnya bisa disejajarkan dengan keadaan thuma’ninah. Meskpun jika memperhatikan ciri-ciri yang disampaikan oleh Mihaly (dalam Bagir) bisa lebih dekat dengan keadaan yang diistilahkan“khusyuk”. Meskipun, dari apa yang saya pahami, antara thuma’ninah dan khusyuk sejatinya bisa diandaikan ibarat dua sisi keping mata uang logam.

Adalah Bagir menegaskan “Mihaly menyebut bahwa berbagai cara meditasi Timur, termasuk yoga, dana berbagai praktik dalam Buddhisme dan Taoisme, tak terkecuali juga tasawuf, telah dipakai—dan terbkti memiliki keberhasilan—untuk mencapai keadaan ini. Yakni, ketika pelakuanya mampu mengendalikan dari dari pengaruh-pengaruhi atau ganggaun-gangguan dari luar dirinya”

“meski suatu penelitian lebih jauh, termasuk yang lebih bersifat empiris, perlu dilakukan, dapat diduga bahwa shalat yang dilakukan dengan kekhusyukan dan thuma’ninah dapat menciptakan—bahkan secara lebih baik—ciri-ciri yang menandai keadaan flow.

Untuk diketahui oleh pembaca pula, bahwa ciri-ciri yang disebut dengan situasi flow adalah: konsentrasi yang lebih dalam; perasaan memiliki kendali atas segala sesuatu. Poin ini menegaskan seperti yang saya tegaskan di atas, bahwa ketenangan sangat dipengaruhi oleh realitas internal, bukan realitas eksternal, karena diri kita adalah “pengendali-penuh”; merasakan bahwa momen sekarang satu-satu yang paling sangat penting.

Di akhir tulisan yang sangat panjang ini, dalam versi publikasi media online, saya berani menyimpulkan bahwa sedahsyat apa pun model meditasi, yoga dan berbagai kearifan Timur, maka shalat akan lebih dahsyat lagi dengan syarat thuma’ninah dan khusyuk hadir menjadi bagian penting di dalamnya.

Latihlah dan biasakan diri mencapai ketenangan jiwa melalui thuma’ninah dan khusyuk agar sebagaimana teori habits dan proses algoritmik yang sering saya jelaskan, mampu mewujud dan membingkati diri dalam realitas kehidupan. Agar diri ini, tidak mudah diobok-obok oleh situasi yang seakan seringkali mencekam bagi ukuran kebanyakan orang. Selain itu, ketenangan jiwa yang bisa dicapai dari keduanya, sesungguhnya akan senantiasa memantik aktivasi gelombang otak Alpha dan Theta yang kembali memancarkan ketenangan, dan sekaligus bisa memancarkan ide-ide cemerlang, sehingga dalam keterdesakan sekalipun akan lahir solusi cerdas, kreatif dan cemerlang.

Wahai para pimpinan perusahaan, lembaga, instansi atau apa pun istilahnya, marilah kita ciptakan suasana ketenangan di tempat kita bekerja. Bawalah orang yang berada dalam tempat kita bekerja untuk mencapai jiwa yang muthma’innah. Dan Insya Allah jiwa yang mutma’innah sebagaimana teori DePorter dan Hernacki mampu dan memiliki korelasi positif akan kedahsyatan energi otak, yang seringkali, bagaikan raksasa yang sedang tidur. Bangunkanlah raksasa tidur dalam diri kita dengan mutma’innah (jiwa yang tenang) melalui thuma’ninah dan khusyuk.

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply