Oleh: Muh. Fadlun (Anggota Bidang PIP PW IPM Sulsel)
KHITTAH. CO – Peristiwa terbakarnya gedung DPRD Makassar pada Jumat malam, 29 Agustus 2025, bukan hanya sekadar berita kericuhan, melainkan sebuah fenomena sosial yang menarik. Di mana pemandangan pada Sabtu pagi, saat ribuan orang berdatangan ke gedung DPRD, layaknya tempat wisata dan mengubah narasi dari sebuah tragedi menjadi tontonan. Banyak mobil yang hangus, asap yang masih membumbung tinggi, dan sisa-sisa puing tidak membuat orang merasa takut, justru hal tersebut menjadi daya tarik mereka untuk mendekat, mengabadikan momen, dan menjadikannya latar belakang foto.
Fenomena ini bagi saya bisa disebut sebagai “Wisata puing” menunjukkan pergeseran cara pandang masyarakat terhadap institusi pemerintah. Gedung yang seharusnya menjadi simbol kewibawaan dan tempat aspirasi, sekarang diperlakukan sebagai objek wisata secara tiba-tiba. Masyarakat datang dengan handphone canggih mereka, bukan untuk menyampaikan keluhan, melainkan untuk merekam kerusakan yang terjadi. Ini adalah bentuk komunikasi baru yang dirasa sangat ironis, di mana alih-alih berdialog, mereka memilih untuk mendokumentasikan kehancuran puing-puing tersebut. Ada humor yang terselip dalam situasi ini, bahwa di tengah duka demokrasi, rakyat justru menggelar semacam “pameran” atas apa yang telah terjadi.
Kerusakan Fisik, Keterasingan Sosial, dan Sisi Gelap Kemanusiaan
Jika dipandang dari sisi ilmu sosiologi, tentunya fenomena ini dapat dianalisis sebagai cerminan dari keterasingan sosial (socialalienation). Masyarakat merasa tidak memiliki ikatan emosional atau rasa kepemilikan terhadap institusi politik. Gedung DPRD tidak lagi dianggap sebagai “rumah rakyat” yang perlu dijaga, melainkan sebagai hal asing yang berdiri terpisah dari kehidupan mereka. Kerusakan fisik pada bangunan tersebut, alih-alih menimbulkan kesedihan, justru memicu rasa ingin tahu dan bahkan semacam “perayaan” diam-diam.
Seorang pakar sosiologi dari Universitas Hasanuddin yakni Dr. Budi Santoso pernah menjelaskan, “Ketika sebuah institusi kehilangan legitimasi di mata publik, apa pun yang terjadi padanya (termasuk kehancuran yang terjadi) akan diperlakukan dengan sikap acuh tak acuh, bahkan rasa ingin tahu yang besar. Kehadiran massa yang datang untuk foto adalah manifestasi dari pada ketidakpercayaan kolektif. Mereka tidak lagi melihat gedung DPRD sebagai perwakilan mereka, tetapi sebagai monumen kegagalan yang layak untuk diabadikan.”
Dan tentunya fenomena ini membuka tabir tentang sisi gelap kemanusiaan. Di tengah kericuhan, terjadi penjarahan terhadap barang-barang yang tersisa di dalam gedung, seperti kursi, laptop, tripod, dan perlengkapan kantor lainnya. Tindakan ini menunjukkan bahwa ketika tatanan sosial runtuh dan pengawasan hilang, sebagian masyarakat cenderung mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi. Hal ini mengisyaratkan bahwa persoalan sumber daya manusia (SDM) tidak hanya terletak pada kesempatan, tetapi juga pada moral dan etika yang rapuh. Tanpa kendali dan kesadaran diri, maka potensi untuk bertindak dan merusak serta mementingkan diri sendiri dapat muncul dan dinikmati.
Peristiwa ini juga memakan korban jiwa. Di tengah kekacauan, seorang satpam gedung dilaporkan meninggal dunia karena terjebak di dalam api yang berkobar. Kehadiran korban ini menambahkan lapisan tragedi yang lebih dalam. Kematian tersebut bukan hanya sekadar catatan yang menjadi statistik, melainkan sebuah pengingat bagi kita bahwa di balik setiap kericuhan, ada nyawa yang harus dibayar. Ini menegaskan bahwa kemarahan yang tidak terkendali selalu membawa konsekuensi yang merugikan.
Makna Spiritual, Pengingat dalam Kehancuran
Dari sudut pandang Islam kejadian ini memberikan pelajaran mendalam tentang konsekuensi dari kelalaian dan ketidakadilan. Dalam Surah Ar-Ra’d ayat 11 berbunyi seperti ini “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
Jika kita melihat ayat ini adalah landasan dari pemahaman bahwa perubahan, baik itu kemajuan maupun kemunduran, dimulai dari dalam diri. Kerusakan fisik yang menimpa gedung DPRD bisa menjadi pertanda bahwa ada sesuatu yang rusak secara fundamental dalam sistem dan hubungan antara pemimpin dan rakyat. Api yang membakar gedung adalah manifestasi fisik dari “api” ketidakpuasan, kekecewaan, dan kemarahan yang sudah lama membara di hati masyarakat.
Kejadian yang terjadi betapapun sangat ironis dan pahitnya, bisa menjadi panggilan untuk introspeksi. Bukan hanya bagi para wakil rakyat yang kini kehilangan tempat kerja, tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat. Apakah kita telah menjalankan peran kita sebagai warga negara dengan baik? Apakah kita sudah berusaha mengubah diri kita sendiri agar keadaan bangsa menjadi lebih baik? Ini menjadi hal yang tentunya jadi bahan intropeksi kita bersama.
Meskipun gedung DPRD terbakar dan kini menjadi tempat “wisata” yang tak terduga, ada harapan bahwa dari puing-puing ini akan lahir kesadaran baru. Kesadaran bahwa hubungan antara pemimpin dan rakyat harus dibangun di atas dasar kepercayaan, transparansi, dan keadilan, agar “rumah rakyat” tidak lagi menjadi tempat yang asing, melainkan benar-benar menjadi milik kita bersama meskipun sangat sulit di lakukan.