Oleh: Sugianto, S.H*
Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan secara konsisten memperluas ruang gerak dan pengabdiannya. Salah satu bentuk perluasan gerak Muhammadiyah adalah melalui penegakan hukum di jalur peradilan. Hal itu dilakukan dengan membentuk lembaga yang memberikan bantuan hukum sebagai pemenuhan hak masyarakat yang rentan terhadap diskiriminasi penegakan hukum itu sendiri, sebagai ciri pengembangan program Muhammadiyah dalam aksi dan pelayanan yang berkaitan dengan aktivitas secara langsung dan dapat dinikmati anggota Muhammadiyah dan masyarakat luas yang bersifat membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan masyarakat dalam gerakan Muhammadiyah yang bersifat pencerahan menuju kehidupan yang berkemajuan di segala bidang kehidupan dalam persyarikatan sebagai Islamic Civil Society yang sejalan dengan kepbirbadian dan khittah Muhammadiyah.
Mengejawantahan aksi dan pelayanan dimasukkan dalam program umum, yang terdiri dari: Pertama “Mengintensifkan pembinaan ideologi di seluruh organisasi termasuk di amal usaha, majelis/lembaga, dan organisasi otonom Muhammadiyah melalui berbagai usaha yang terintegrasi sehingga prinsip, visi, dan misi Muhammadiyah teraktualisasi dalam aktivitas gerakan. Kedua, mengintensifkan dan memasyarakatkan Manhaj Gerakan Muhammadiyah (Muqaddimah, Kepribadian, Khittah, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup, Pedoman Hidup Islami, dan lain-lain) sebagai sumber inspirasi, acuan, dan tuntunan dalam seluruh lingkungan organisasi dan anggota Persyarikatan. Ketiga, menyebarkan pandangan Muhammadiyah tentang Negara Pancasila, Wawasan Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan Universal.”
Dijelaskan dalam visi pengembangan Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Konstitusi, yakni “berkembanganya kesadaran dan advokasi di lingkungan persyarikatan serta peran Muhammadiyah dalam memperjuangkan kepentingan publik dan tegaknya hukum, hak asasi manusia dan konstitusi sebagai wujud dahwah amar ma’ruf dan nahi munkar”.
Dapat disimpulkan Muhamamdiyah hadir sebagai bentuk refleksi atas buruknya kondisi kebangsaan dan kegagalan struktur kenegaraan yang ada dalam penegakan hukum yang menjamin hadirnya rasa keadilan dalam masyarakat. Jika dikaitkan dengan strategi Muhammadiyah yang diadopsi dari buku dengan judul 12 Tafsir Langkah Muhamamdiyah KH Mas Mansur yang ditulis 1939 yang ditetapkan sebagai langkah-langkah yang lebih luas dan menentapkan jejaknya yang kokoh oleh hoofdbestuur (PP) Muhammadiyah dalam tahun 1938 – 1940, Salah satunya “Menegakkan keadilan”,.
Menegakkan keadilan memiliki makna yang luas dan dalam yang dapat dimaknai pada beragam konteks. Dalam buku Hamdan Hambali, memaknai menegakkan keadilan adalah menjalankan sebagaimana mestinya walaupun akan mengenai badan sendiri dan ketetapan yang sudah seadil-adilnya itu dibela dan dipertahankan di manapun juga. Kalimat tersebut mengingatkan kepada Indigium Hukum, fiat Justitia ruat caelum yang memiliki makna hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Selain itu, beberapa surat dalam Al Qur’an juga mengatur tentang “menagakkan keadilan” Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa dan Al-Maidah
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orangtua dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) orang yang kaya atau pun miskin, maka Allah-lah yang lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (fakta) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap segala sesuatu yang kamu kerjakan.” (Q.S An-Nisa: 135).
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu golongan mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Maidah: 8).
Konsep menegakkan keadilan tentunya diperlukan alat yang bernama hukum. Hukum berasal dari bahasa arab “hukmun”, yang memiliki makna aturan. Selain itu, secara etimologi hukum berasal dari empat kata, hukum, recht, lex, dan lus. Dengan kata lain menegakkan keadilan tentunya menegakkan hukum. Dengan cara melakukan advokasi dalam konteks pergerakan civil society berhimpitan dengan term pencerahan (enlightment).
Terminologi pencerahan memiliki makna yang luas dan dalam yang dapat diseret pada beragam konteks, bergantung pada konteks gerakan dan ideologi mana terma itu digunakan. Kendati demikian, perlu dilihat pula bahwa pada masyarakat mana pun, dan dalam kondisi apa pun, definisi “cerah” itu merujuk pada nilai kebajikan universal umat manusia. Nilai kebaikan universal berkaitan dengan yang benar, baik dan bermoral, yang melekat pada rasa dan nalar sadar manusia, semisal pembunuhan, pencurian dan penjajahan sebagai kejahatan, keindahan, kemerdekaan dan pengetahuan sebagai kebaikan.
Gerak pencerahan dalam Islam diidentikkan dengan implementasi misi kenabian, yakni sebagai segenap daya dan upaya yang diusahakan secara terencana untuk mengentaskan ummat manusia dari kebiadaban menuju keberadaban (minad-dhulumaati ila an-nur). “Tercerahkan” identik dengan kondisi yang manusiawi (human being), yakni kondisi seorang manusia atau sekelompok manusia yang menetapi harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Dalam konstruksi hukum, keadilan adalah salah satu tujuan dari mengadanya hukum. Yang mempunyai kaitan dengan adanya konsep Negara Hukum. Pasa Pasal 1 ayat (3), Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Implikasi sebagai negara hukum adalah adanya jaminan hak asasi manusia (HAM) yang dituangkan di dalam Konstitusi (UUD NRI Tahun 1945). Di dalam UUD NRI Tahun 1945, terdapat 2 (dua) hak konstitusional warga negara yang saling bersinggungan dan saling terkait yaitu hak diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law) dan hak atas akses keadilan (access to justice). Implementasi dari 2 (dua) hak dasar tersebut adalah pemenuhan hak atas bantuan hukum (legal aid) yang di antaranya ditujukan kepada kelompok/komunitas perempuan dan inklusi sosial lainnya.
Pemenuhan hak atas bantuan hukum (legal aid) untuk tercapainya hak atas akses keadilan (access to justice) dijamin dan dilindungi dengan beberapa regulasi dan kebijakan di Indonesia. Regulasi dan kebijakan untuk menjamin hak atas akses keadilan dan hak bantuan hukum adalah sebagai berikut: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum; Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Hak Asasi Manusia; Strategi Nasional Akses Terhadap Akses Keadilan tahun 2019; dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2021-2025, yang pada pokoknya “melaksanakan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemnajuan HAM di Indonesia terhadap kelompok sasaran: perempuan, anak, penyandang disabilitas dan kelompok masyarakat adat”.
Selain itu, pemenuhan hak atas bantuan hukum merupakan amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (untuk selanjutnya disebut sebagai “UU 18/2003”) sebagai kewajiban profesi advokat untuk memberikan bantuan hukum secara “Cuma-Cuma” yang dikenal dengan istilah pro bono probolico. Sebagaimana Pasal 22 UU 10/2003 yang pada pokoknya mengatur tentang bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh advokat.
Merujuk pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.HN.03.03 Tahun 2016 Tentang Lembaga/Organisasi Bantuan Hukum Yang Lulus Verifikasi dan Akreditasi Sebagai Pemberi Bantuan Hukum Periode Tahun 2019 – 2021, dari 524 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terverifikasi dan terakreditasi oleh Kemenkum HAM, setidaknya terdapat 9 OBH dari Muhammadiyah yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatra. Sedangkan LBH yang dibentuk oleh Muhammadiyah di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Keberadaan LBH tersebut mencerminkan perkembangan peran Muhammadiyah dalam ruang penegakan hukum di ruang peradilan. Peran penegakan hukum oleh Muhamamdiyah saat ini dapat dilakukan secara komprehensif, sehingga lebih dapat menjamin tercapainya tujuan
Negara Indonesia menyiapkan dana bantuan hukum dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana amanah UU Bantuan Hukum menggunakan mekanisme penyaluran dana bantuan hukum sebagaimana Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2015 Tentang peraturan Perlaksana Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 63 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2015 Tentang peraturan Perlaksana Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
Lembaga Bantuan Hukum di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebanyak 89, Perbandingan jumlah Lembaga Bantuan Hukum di bawah PP Muhammadiyah yang terakreditasi dan terverifikasi dengan yang belum terakreditasi dan terverifikasi, lebih banyak yang belum terakreditasi dan terverifikasi. Artinya, wujud nyata telah dihadirkan oleh Muhammadiyah dalam membantu penegakan hukum di Indonesia khususnya pemenuhan hak atas bantuan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin. Maka semakin sedikit Lembaga Bantuan Hukum di bawah PP Muhammadiyah yang menggunakan dan membebani dana APBN melalui mekanisme Penyaluran Dana Bantuan Hukum APBN.
Dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah melalui Pimpinan Pusat dengan membentuk Lembaga Bantuan Hukum yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (legal aid service) membantu kewajiban Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan perlindungan hukum dan penegakan hukum terhadap hak atas bantuan bagi masyarakat miskin.
* Mahasiswa Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Malang