Oleh: Abdul Hikam
Ummat Islam memiliki sejarah pergumulan intelektual yang sangat panjang. Diprakarsai ketika nabi Muhammad SAW mengkonstruksi segala nilai-nilai moral di jazirah Arab yang bagi penulis merupakan bentuk penentangan terhadap segala bentuk pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW melakukan hal tersebut bukan dalam waktu yang sangat singkat tetapi, serangkaian proses yang sangat panjang. Nabi Muhammad SAW benar-benar berani melawan arus dan itu bukan tanpa resiko dan intimidasi dari berbagai kelompok yang tak sepaham dengannya.
Artinya setiap gagasan perubahan pasti akan berbeda atau berlawanan dengan maenstrem pada umumnya. Nah, Muhammad SAW sebagai seorang yang bijaksana, tak merubah atau mengajak pada nilai-nilai kebenaran begitu saja, tetapi ada gagasan yang ia tawarkan. Nabi Muhammad SAW sanggup menjadikan dirinya sebagai seorang figur di jazirah Arab kala itu dimana struktur masyarakat berada di persimpangan kesenjangan antara si kaya, si miskin dan si penguasa.
Saat penulis membaca Ketika Nabi di Kota karya Dr. Nizar Abszhah, dalam novel tersebut dituliskan beberapa kisah yang jika dibaca secara seksama akan menimbulkan rasa haru dan bangga memiliki seorang figur sekaliber nabi Muhammad SAW.
Muhammad SAW selain mengkader para sahabatnya secara intelektual beliau juga sanggup membangun kepercayaan diri ummatnya (Self Comfidence), coba kita lihat kasusnya ketika nabi sanggup menenangkan setiap sahabatnya yang berbeda secara karakter, diantara sahabat yang mengalami intimidasi bukan hanya secara psikis tetapi juga fisik bahkan berujung kematian. Lalu, coba kita lakukan refleksi ketika nabi berjalan berbulan-bulan menuju Madinah, ada derita dan kesabaran di balik perjalan tersebut. Intinya yang bersentuhan dengan Nabi Muhammad SAW dapat terbangun kepercayaan dirinya dalam melewati segala kerumitan pada saat itu.
Bahkan ketika Muhammad SAW meninggal di usia 63 tahun, ia masih tetaplah figur sampai saat ini. Setelah itu ummat Islam di pimpin oleh para khalifah. Rentetan Khalifah yang memimpin pun memiliki ciri yang berbeda. Mulai dari Khalifah yang memimpin penaklukan sampai pada Khalifah yang menenkankan kemajuan ilmu pengatahuan. Setiap yang terjadi dalam kepemimpinan ummat Islam selalu terjadi proses dialektik dimana Khalifah berperan membangun kepercayaan diri ummat Islam dalam berbagai hal. Sehingga selain jumlah yang mayoritas tersebut mereka juga sanggup menjadi pelopor peradaban dimasanya.
Tetapi, ummat Islam saat ini menurut beberapa pengamat, menjelaskan bahwa sejarah Islam di masa modern pada dasarnya adalah sejarah gempuran Barat terhadap ummat Muslim, terutama sejak abad ke-13 H/19 M. Mereka memandang Islam sebagai massa yang tak berdaya yang menerima hantaman destruktif atau pengaruh normatif Barat. Ada alasan wajar mengapa gambarannya tampak demikian. Islam sejak awal pembentukannya, telah menghadapi dan mengatasi berbagai tantangan intelektual dan spiritual.
Malah, wahyu al-Qur’an sendiri mendapat tantangan dari Yahudi dan Kristen yang lebih dahulu berkembang. Dari abad ke-2 H/8 M hingga 4 H/10M, serangkaian krisis intelektual dan kultural melanda Islam, yang paling signifikan adalah yang ditimbulkan oleh intelektualisme Hellenis. Tetapi tantangan tersebut berhasil dihadapi Islam dengan membaur, menolak, ataupun menyesuaikan dirinya dengan aliran baru tersebut. Itu artinya Islam adalah agama yang sanggup berdaptasi. Karena memang saat itu ummat Islam tangguh secara psikologis, berkuasa secara politik, dan dari segi muatan agama, tak terbebani tradisi karena unsur dan arus pemikiran baru itulah yang justru paling banyak memasok dan membentuk kandungan tradisi Islam. Hal yang berbeda ketika abad ke-13 H/19 M. Ummat Islam di gempur hingga militer dan politik berhasil di taklukkan. Secara tidak langsung ambruknya politik dan militer juga berpengaruh terhadap perkembangan intelektual dan keagamaan. Belum lagi munculnya kritik terhadap pahaman keagamaan oleh pemikir Eropa. Kekalahan dan keguncangan tersebut melemahkan mental ummat Muslim untuk memikirkan kembali warisannya secara konstruktif dan menjawab tantangan pemikiran modern melalui proses kreatif-asimilatif.
Penulis merasakan kekhawatiran tersebut. Ummat Muslim berada disurplus jumlah tetapi defisit secara mental. Tak heran banyak intelektual Muslim dan organisasi Islam menyerukan kembalinya ummat Muslim atau mengulang masa kejayaan tersebut. Walaupun format yang diberikan masih belum jelas kemana arahnya. Tokoh-tokoh pembaharuan Islam terus menyuarakan semangat kemajuan tersebut. Tetapi, teriakan tersebut tak semua terdengar oleh ummat Islam. Buktinya, diantara ummat Islam masih ada saja yang masih sibuk pada persoalan fiqh an sich, bahkan ada juga yang ingin menegakkan kembali khilafah dengan cara kekerasan. Atau bahkan ada juga ummat Islam yang hanya terlibat aktivitas seremonial keislaman.
Penulis menggaris bawahi bahwa pemikir, intelektual, dan ilmuwan Islam tak pernah berputus asa dalam memikirkan dan memajukan Islam. Perbedaan pun kerab terjadi diantara mereka. Bahkan mereka juga membangun kelompok dan menggaet massa. Semua itu dilakukan demi kemajuan Islam. Zakir Naik adalah salah satu dari sekian banyak pemikir Islam tersebut dan memiliki pengagum yang tersebar di sejumlah negara. Akhir-akhir ini Islam memilki citra buruk di karena ulah oknum yang mengatasnamakan Islam dan melakukan kekerasan. Sebenarnya para pemikir tak menghendaki hal tersebut termasuk Zakir Naik. Zakir Naik berkontribusi dalam membangun Islam dengan kekuatan argumentasinya. Itu berbeda dengan sebagian kelompok Islam yang lebih mengutamakan logika kekuatan.
Begitulah kondisi pemikir terdahulu yang mengutamakan kekuatan logika bukan logika kekuatan. Di tengah-tengah arus modernisasi yang membuat ummat Islam kurang percaya diri karena modernisasi bagi sebagian ummat Islam adalah malapetaka dari Barat. Maka, Zakir Naik hadir sebagai pemikir yang membangun mentalitas kepercayaan diri ummat Islam. Mungkin Zakir Naik berkata “Saya ini hanya menyampaikan secara gagasan tetapi, tahapan eksekutor andalah yang harus memprakarsai, benar tidaknya saya, kalian yang harus memverifikasi benar atau tidak apa yang sampaikan”.
Banyak yang memberikan sanggahan pada argumentasi Zakir Naik dengan berbagai alasan. Tetapi apakah sebagai pendengar dan pengagum Zakir Naik dapat membantu Zakir Naik dalam menjelaskan gagasan-gagasan pembaharuannya ?, seperti Zakir Naik yang membalas sanggahan tersebut dengan argumentasi yang sepadan ?. Sangat memprihatinkan jika seorang pengagum hanya terjebak pada sensasi retorika Zakir Naik atau bergembira ketika hadirinnya ada yang masuk Islam, bukan pada etos dakwah dan intelektual yang coba dibangun oleh beliau . Apakah ummat Islam hanya akan berputar pada wacana menambah ummat tapi lupa akan kualitas ?.
Kehadiran Zakir Naik bukan hanya pada gagasan keislamannya tetapi Zakir sudah berjasa membangun kepercayaan diri ummat Islam yang selama ini di serang stereotype akibat frustasi sejarah masa lalu. Zakir Naik mengingatkan bahwa Islam pernah berjaya di masa lalu, tetapi, kalau Zakir Naik balik bertanya “Hadirin apa dan bagaimana mengembalikan kejayaan tersebut dan usaha apa yang kalian sudah lakukan?, sudahkah kalian membaca?”, yah sudah pasti kita akan kebingungan juga menjawabnya atau boleh jadi Zakir Naik ini sementara mengkritik ummat Islam juga. Dalam berbagai ceramahnya sebenarnya Zakir Naik ingin mengangkat harga diri dan kehormatan ummat Islam. Maka mari bersama melakukan refleksi dari gagasan Zakir Naik!. Untuk Islam yang benar-benar berkemajuan. Berani?