KHITTAH.CO, YOGYAKARTA — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengungkapkan, fenomena LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) perlu disikapi secara bijak untuk tidak menjadi sebuah gerakan yang meluas.
Menurutnya, fenomena ini wajar jika menimbulkan keresahan banyak pihak. Al-Qur’an menyebutnya sebagai perbuatan fahisya. “Jujur saja ini menjadi keresahan semua umat beragama, bukan hanya umat Islam saja,” tutur Haedar dalam pengantar pengajian bulanan PP Muhammadiyah di Jakarta, awal Februari 2018. Pengajian tersebut menghadirkan pembicara ketua MPR Zulkifli Hasan, mantan ketua MK Mahfud MD, dan dokter dari Uhamka Rizki Edmin Edison.
Homoseksual yang terjadi di masa Nabi Luth, kata Haedar, terulang di era modern. “Bayangan kita itu peristiwa yang terjadi di masa lampau dan tidak mungkin terulang di masa sekarang, di negeri kita yang mayoritas muslim dan hampir seluruhnya beragama,” katanya. Namun ternyata hal itu bisa direproduksi.
Haedar menyebut, fenomena LGBT bisa dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, LGBT sebagai sesuatu yang given atau bawaan. Hal ini perlu mendapat therapi dan empati. Kedua, LGBT yang terjadi seperti di negara yang menganut humanisme-sekuler-liberal, LBGT menjadi gaya hidup yang dipilih. Hal ini yang perlu diwaspadai.
“Ketika disebarluaskan dan menjadi movement itu tidak bisa diterima,” tegas Haedar. Ada alasan dua alasan dibalik itu. “Mengapa tidak bisa dilegalkan? Karena Pancasila dan agama,” tambahnya.
Pancasila sebagai dasar negara, kata Haedar, tidak bisa menerima fenomena ini. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi landasan. “Dalam dimensi ketuhanan Nilai-nilai ilahiyah berasal dari agama. Dalam dimensi kemanusiaan dengan keadaban memerlukan perilaku manusia yang fitri, bukan yang hewaniyah,” ujarnya.
Manusia yang beradab muncul dari nurani kemanusiaan yang sesuai dengan fitrah. Kebutuhan biologis diakui dan pemenuhannya secara tepat dan bermartabat. “Kebutuhan biologis itu alamiyah. Bedanya dengan hewan, manusia ada institusi pernikahan yang sakral,” katanya.
Haedar menganalogikan, jika memilih anti Tuhan, silahkan, karena itu pilihan dan harus sanggup mempertanggungjawabkannya, tapi jangan menuntut pengakuan negara. Apalagi mengkampanyekan dan mengajak orang lain.(*)
Sumber: Suaramuhammadiyah