Oleh : Muh. Asratillah Senge
Tatkala Popularitas menjadi Politik
Dari rilis hasil survey LSI- Denny JA pada oktober 2018 yang lalu, memperlihatkan hasil yang cukup menarik, apa itu ? da’i yang memiliki tingkat popularitas serta kesukaan yang tinggi di mata publik, adalah da’i yang tidak berafiliasi dengan dua ormas Islam tertua dan terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Saya juga belum bisa menebak dengan pasti, apa gerangan yang menyebabkan demikian, apakah karena publik menganggap keberagamaan murni sebagai urusan spiritualitas pribadi belaka ? sehingga menganggap keberagamaan tak ada sangkut pautnya dengan infrastruktur organisasi apalagi se massif NU dan Muhammadiyah. Ataukah publik memang tak berselera terhadap cara beragama yang relatif rasional atau menunutut kapasitas intelektual tertentu ? seperti yang dipupuk dalam tubuh Muhammadiyah dan NU ?. Ataukah publik mengalami pergeseran retorika dan media keberagamaan, dari media konvensional ke media baru yakni media internet.
Yang juga menarik dari survey tersebut adalah mencoba membandingkan di antara figur da’i yang ada, tingkat sejauh mana responden mau “mengikuti himbauan” mereka, atau sederhananya barangkali bisa dikatakan bahwa survey tersebut ingin mengukur kekuatan da’i sebagai “opinion leader”, dan semakin kuat seorang opinion leader maka semakin kuat pula daya tawar politik nya. Jika kita mengatakan bahwa studi politik sekedar berbicara hal yang despkriptif, dalam hal ini menggambarkan situasi atau perilaku dari pemilih yang diwakili oleh 1200 responden, maka hasil survey di atas tidak menjadi soal. Tapi jika kita juga menganggap bahwa politik sebagai hal yang preskriptif maka soalnya menjadi lain, kita sedang berbicara mengenai segala hal yang berkaitan dengan perumusan kebijakan yang berkaitan dengan ke-publik-an.
Logika ekspresi keberagaamaan kita saat ini seakan-akan mengalami irisan dengan logika berpolitik kita, apa itu ? yaitu logika popularitas. Ada kecenderungan, menilai “yang baik” dan “yang benar” berdasarkankan “tingkat keterkenalan”, menilai “yang bijak” berdasar seberapa sering “ditonton”, “dilike” dan berapa banyak yang menjadi “subscriber” dari channel kita di Youtube. Logika tersebut, menggeser standar etika politik kita, mentransformasi etika publik kita dengan kata lain merubah cara kita memandang dan berinterkasi dengan “yang lain” di ruang publik. Karena logika keber-agama-an dan berpolitik kita itulah, sehingga kita menilai kesalehan seseorang dari seberapa banyak yang menjadi fans nya, dan kita menilai kualitas seorang politisi berdasarkan kuantitas suara yang dia peroleh saat pemilihan umum. Lalu bagaimana sebaiknya Muhammadiyah merespon hal ini ?
Prinsip-prinsip Dasar Etika Politik Muhammadiyah
Salah satu bentuk respon yang bisa dilakukan Muhammadiyah adalah menegaskan tawaran etika politiknya. Mengapa etika politik dan bukan teologi politik ?, karena etika politik adalah sesuatu yang memiliki daya jangkau, daya jelajah relevansi yang jauh lebih luas. Lalu apa titik tolak yang bisa digunakan Muhammadiyah dalam menyusun etika politiknya ? agar jalan berpikir yang digunakan tidak terlalu panjang, maka kita bisa menjadikan Ideologi Islam Berkemajuan sebagai titik tolak, lalu dilanjutkan dengan beberapa pengayaan-pengayaan. Dalam naskah Pernyataan Pemikiran Muhammadiyah abad Kedua di sebutkan bahwa Islam Berkemajuan adalah “Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi”. Saya rasa frasa “menjunjung tinggi kemuliaan manusia” bisa menjadi titik tolak yang baik dan kokoh, karena pada dasarnya politik ada dalam rangka membuat relasi antar manusia, menjadi tetap manusiawi.
Tapi yang perlu diingat Muhammadiyah, Yang Etis itu bukanlah entitas otonom yang seakan-akan merupakan substansi sendiri dan tak ada sangkut pautnya dengan kemanusiaan. Levinas mengatakan bahwa hanya dengan pertemuan dengan manusia lainlah “Yang Etis” itu bisa lahir. Maksudnya apa ?, bahwa “yang etis” atau “yang baik” nanti menjadi konkrit saat kita aktif dan peduli dengan manusia lain. Sebenarnya tema ini tak asing bagi Muhammadiyah, karena dari sejarah awal pembentukannya, Muhammadiyah telah melakukan upaya untuk menerjemahkan teologinya menjadi etika, bahwa “kebaikan” atau akhlakh terpuji (akhlakul mahmudah) jika hanya tertulis di kitab kuning dan sekedar diucapkan di mimbar-mimbar maka pada dasarnya “kebaikan” itu tidak eksis. Bagi Muhammadiyah “yang baik” akan menjadi eksis jika anda memberi makan dan memandikan anak-anak yatim, “yang baik” akan menjadi eksis jika anda mengenyangkan perut para peminta-peminta, “yang baik” akan eksis jika anda membantu kesembuhan orang-orang miskin yang lagi sakit, “yang baik” akan eksis jika anda mengajarkan cara membaca dan berhitung ke anak-anak miskin.
Dalam pandangan filosofis Levinas, simbol dari “kemuliaan manusia” adalah wajahnya. Saat kita bertemu dengan sesama, maka kita tak sekedar bertemu dengan objek, kita sedang bertemu dengan yang tak bisa ditundukkan, yang tidak bisa disimplifikasikan atau diabstrakasikan, karena kita bertemu dengan “le-visage” alias wajah. Saat kita bertatap muka dengan sebuah “wajah”, maka satu-satunya yang dituntut olehnya adalah “kepedulian etis”. Begitu pula dengan politik, Muhammadiyah semestinya memaknai politik sebagai perjumpaan antara “wajah”, perjumpaan antara subjek-subjek yang tidak dapat ditundukkan ataupun diabstrakkan, apakah melalui kata “penduduk”, “suara”, “massa” ataupun “konstituen”. Muhammadiyah memang bukanlah partai politik, tetapi dia memiliki peran politik penting di negeri ini, Muhammadiyah harus bisa mewartakan dan memberikan tauladan bahwa sebelum melihat “wajah” sebagai “kader”, “anggota” dan “Simpatisan”, lihatlah “wajah” tersebut terlebih dahulu sebagai “manusia”. Tapi rumusan etika politik dari Muhammadiyah, tak hanya sampai pada memandang “wajah” sebagai perwakilan “kemuliaan manusia”, tetapi melangkah jauh lebih dari itu, yaitu mewujudkan “yang baik” melalui tindakan kebaikan konkrit sang pemilik wajah.
Pemuliaan manusia akan menjadi dasar bagi prinsip berikutnya yaitu prinsip “tanpa diskriminasi”, prinsip ini adalah petunjuk yang jelas, bahwa Muhammadiyah memandang manusia dalam posisi yang setara tanpa memandang status atau identitas manusia tersebut. Mengapa prinsip egaliter menjadi hal yang penting ? salah satu sebabnya adalah untuk mencegah politik hanya dilihat sebagai soal perebutan kekuasaan belaka. Politik yang hanya dilihat sebagai perebutan kekuasaan, akan menciptakan ruang yang memberikan peluang besar bagi penundukan dan dominasi oleh negara atau dominasi oleh oligarki terhadap warga negara. Prinsip kesetaraan juga berimplikasi bahwa politik adalah perihal partisipasi aktif selaku subjek politik. Menurut Jacques Ranciere segala hal yang berkaitan dengan politik terkandung dalam hubungan khusus antara orang-orang yang ada di dalamnya, yaitu “ikut-mengambil-peranan” (part-taking/avoir part).
Setelah itu, kesetaraan yang berimplikasi pada ke “ikut-ambil-peranan”, diasumsikan dari kemampuan semua warga negara untuk menggunakan akal sehatnya atau berpikir. Maka hal ini akan berimplikasi pada prinsip-prinsip lainnya yaitu negativitas dusta dan kewajiban edukasi politik. Etika politik Muhammadiyah mesti menegasi dusta, karena dusta pada dasarnya adalah penafian terhadap ketidak mampuan warga negara untuk berpikir atau menggunakan akal budi nya. Menghormati harkat dan manusia sama artinya dengan penghormatan terhadap kebebasan akan aktualisasi akal budi. Mengingkari kebebasan aktualisasi akal budi, berarti mengafirmasi dusta. Menagafirmasi dusta itu berarti mengafirmasi aristokrasi-plutokrasi-feodalisme dan ini juga berarti pengingkaraan terhadap kesetaraan. Pengingkaran terhadap kekerasan berarti meng-objek-kan manusia dan itu juga berarti tidak mengakui bahwa semua manusia memiliki “kemuliaan” di dalam dirinya.