Oleh: Ermansyah R. Hindi*)
*) ASN Bappeda/Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto
Tidak berlebihan, jika dikatakan sekarang masih berlangsung kecukaciataan atas ketidakhadiran guru yang hebat, sekalipun mereka telah tiada seakan-akan berbicara langsung melalui teks-teks tertulis dan karya-karya lainnya yang monumental yang kurang lebih memengaruhi pikiran.
Guru tidak hanya mengajari kita membaca dan menulis, membentuk akal dan karakter, tetapi juga guru di sekolah sedang melatih diri untuk menulis. Guru yang dapat menulis, karena mereka tidak melangkah lebih maju akibat guru lainnya tidak dapat menulis. Dalam pikiran guru, bahwa mereka berprofesi pendidik yang menggiring dirinya untuk lebih melatih dirinya dengan cara menulis. Satu kesyukuran apabila guru tanpa berpikir ingin merahi ketenaran atau mencari dan memperluas pengaruh. Kata lain, betapun berat tanggunjawab guru terhadap peserta didiknya, seorang guru mendidik dirinya dan dunia di luar dirinya dari satu tulisan ke tulisan lain. Guru publik dalam pemikiran dan kehidupan melalui tulisan untuk menghubungkan dirinya dengan dunia luar, dalam kegilaan yang terputus-putus. Kata demi kata dalam tulisan yang ditulis guru tidak bergantung pada satu atau dua orang peserta didik dari satu atau dua kelas, tetapi dunia luar yang akan merasakan didikan dari guru yang dalam menulis. Di luar diri mereka, para muridnya turut melibatkan untuk menulis dan berbicara tentang guru. Siapa guru menginspirasi Anda? Apa pandangan Anda tentang guru idola? Cemerlang? Baik? Disiplin? Ataukah lucu? Profesor dan yang bukan terangkum diri mereka dalam guru-guru menginspirasi atau idola mereka menjadi topik “Guruku Luar Biasa Bagiku” dan “Guruku Pembebasku”. Beberapa anak-anak didik telah menceritakan pencapaian untuk menciptakan dunia baru dari guru-guru hebat. Mereka menjadi sahabat hingga guru kami membuat di luar dirinya tidak melupakan matematika dan bahasa. Apa yang kami kenang dari guru-guru adalah pergolakan pikiran tentang kehidupan dan bagaimana menantangnya melebihi dunia yang mereka geluti.
Guru sejati tidak harus memaksakan dirinya dan melallang buana tulisannya di jurnal ilmiah, media cetak, media online dan sebagainya. Penghormatan dan kenangan atas guru hebat bukan karena karya tulisnya, memberi ujian tertulis yang tidak sulit jawabannya, berbagi cerita dan melucu sehingga setiap anak didiknya menyenangi dan mengidolakannya, melainkan guru yang menerangi pemikiran dalam kegelapan dunia, guru yang mengeluarkan kami dari kekusutan dan mencairkan ingatan kami dari kebekuan berpikir. Tidak lebih dari semuanya itu, jejak-jejak yang ditinggalkan oleh guru tidak dapat dipisahkan dengan karya tulisnya yang menata ulang dunia.
Dunia yang berubah cepat di tengah kisah para guru bergelut suka cita dan berselang seling dengan duka cita. Suka cita guru berhamparan bukan karena mereka mampu membawakan mata pelajaran fisika, kimia, kalkulus, aljabar, biologi, dan bidang ilmu pengetahuan eksak lainnya secara piawai. Bukan pula karena kemampuan guru kita untuk menghadirkan presiden, menteri, pejabat negara lainnya, pengusaha, pilot, akuntan, dokter, politisi, tentara, polisi, dan sebagainya, melainkan mereka melahirkan pemikir bebas, intelektual yang turun dan berada di tengah massa dan ilmuan jenius yang mengabdi pada tugas kemanusiaan melampaui ruang kelas yang penuh teori. Sementara, duka cita guru ditunjukkan dengan tuntutan kompetensi setelah terpenuhinya sertifikasi mereka masih tetap dibebankan aturan dan tuntutan baru apalagi di era digital seperti sekarang. Belum lagi kita membicarakan mengenai kondisi guru honorer yang terseok-seok demi menjalankan tugas kemanusiaan begitu berat tantangannya, termasuk banyak guru yang bertugas di pelosok dengan fasilitas serba terbatas.
Kita tidak dapat menutup mata, bahwa kenampakan sosok pendidik agung dari guru-guru kita dan hasil yang fantastik ditorehkannya muncul dari rangkaian proses perjalanan panjang dalam kehidupan memiliki keterkaitan dengan guru-guru sebelumnya yang berperan sebagai pemikir yang ulet, tulus dan berdedikasi tinggi melintasi alur sejarah ide dan sistem pemikiran. Logika dan pemikiran mereka rumuskan penuh kesederhanaan seperti itu pula kehidupannya.
Hal lain yang berhubungan dengan sosok guru dengan corak pemikiran dan pergolakan akan kebenaran antara kenampakan dan kelenyapan realitas. Dalam dunia ide atau filsafat nalar, mungkin ada sosok yang jauh jarak waktunya dengan kita seperti Descartes dengan premisnya yang masyhur “Cogito Ergo Sum” (Aku berpikir maka Aku ada). Guru sejati adalah guru yang memikirkan pikirannya, dimana pikiran menurut Descrates tidak lebih dari suatu benda berpikir yang bersifat mental (res cogitans). Sebagaimana dalam pengetahuan umum kita, tubuh bersifat fisik atau material seperti gaji, sertifikasi, gedung sekolah dan ruang kelas merupakan perluasan (res extensa) merupakan tantangan bagi guru. Spinoza juga begitu mampu bekerja sebagai guru pribadi pada beberapa keluarga kaya dan dari sinilah Spinoza bersentuhan dengan pemikiran politik Belanda saat itu dengan rumusan pemikiran awal, yaitu natura naturans (alam, realitas yang melahirkan) yang dipandang sebagai asal usul, sebagai sumber pemancaran, sebagai daya pencipta yang asali. Sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam, realitas yang dilahirkan), yaitu sebuah nama untuk alam tetapi dipandang menurut perkembangannya yaitu alam yang kelihatan bagi guru menjadi pendidik hebat dalam kehidupan.
Dinamika kehidupan yang dihadapi guru-guru hebat menghubungkan dirinya dengan dunia lain, sekalipun terpaut masanya dalam jarak yang jauh dari tuntunan sekarang masih ada energi menjadi proses pembelajaran guru-guru sesudahnya menyangkut pemikiran dan kehidupan. Satu sosok yang berpengaruh dalam pembentukan wilayah tidak dikenal sebelumnya dan berbahaya telah dipetualangi oleh sosok bernama Nietzsche. Dialah sosok guru besar yang mendidik kita dalam pasang surutnya pemikiran dan kehidupan anak zaman. Teks narasi kemorosotan moral bangsa, manusia modern yang sakit, Nietzsche telah mengumandangkan suara perihnya dalam The Genealogy of Morals. Apa itu moral? Apakah moral sekedar rangkaian rumusan kegunaan dari penilaian-penilaian dalam kehidupan? Dari mana sakit dapat disembuhkan setelah akhir dari moral? Kita tik perlu membicarakan lagi mengenai hasil yang diberikan oleh aturan-aturan yang muncul dari penilaian moral. Moral tidak memberikan apa-apa pada siapapun, kecuali seni ratapan dirinya sendiri. Butuhkah moral? Dimanakah dan berkaitan apakah moral dengan pendidikan? Apakah moral untuk kehidupan pribadi, golongan, untuk semua ataukah setengah manusia? Mengapa ada pemikiran? Adakah kehidupan lain tanpa moral? Ataukah guru-guru sebagai pendidik masih meratapi sambil menyesali pemikiran dan kehidupan yang serba moral? Nietzsche sebagai guru besar yang tidak hidup di atas “menara gading” tidak pernah menyesal pernyataan antara kehendak untuk berkuasa dengan hidup, kehidupan dan moralitas. Ataukah apa itu hidup dan kehidupan? Apakah kita hidup dan kehidupan sangat dibutuhkan untuk sekedar untuk bertahan hidup dan hidup dan kehidupan bebas hanya untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri. Mengapa hidup bagi guru-guru setelah kehidupan modern pandangannya tentang hidup dan kehidupan harus kembali pada pendidikan moral? Bukankah moral atau moralitas itu sendiri merupakan kekuatan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang telah membusuk? Seluruh pemujaan kita pada moral hanyalah pancaran dari tubuh kita, dari fungsi-fungsi organik dan biologis yang juga memutuhkan hidup dan kehidupan. Fungsi-fungsi moral tidak dibutuhkan klantaran ini memang tidak dibutuhkan untuk mempertahankan hidup dan kehidupan itu sendiri.
Bagaimana dengan kuasa atas pengorbanan guru? Apakah mereka akan menanggung sakit yang tidak tertahankan? Berapa lamakah guru akan bertahan dari penderitaan, dari manipulasi teknologi, dari kurikulum, inovasi, dan kreatifitas yang menginspirasi dunia atau anak-anak didiknya? Kita tidak mudah mengatakan semunya akan berhasil pohon moralitas yang telah termakan usia, lapuk dan akhirnya mati. Dari manakah buah-buah moral dan moralitas tidak berada, sedangkan pohonnya telah lama mati? Pernahkah moral berhubungan dengan hidup dan kehidupan selama berada dalam genggaman tirani dan perang atas nama Tuhan? Dari manakah kita mengetahui, bahwa ada kekuatan moral dalam dunia pendidikan yang berguna bagi setiap orang? Kita juga tidak mudah mengatakan orang lain telah meneguhkan pendiriannya dalam kehidupan bersama moral bangsa. Nietzsche tidak memilih untuk mengatakan bahwa pohon dan buahnya tumbuh dalam diri kita. Lalu, begitu gegabahnya kita mencoba berlindung dibelakang pertimbangan dan kekuatan moral padahal nafsu hanya untuk hidup dan kehidupan tanpa pohon dan buah apa-apa lagi. Memang, nihilisme telah melanda hidup dan kehidupan, sekalipun orang-orang akan berdalih lebih dahulu membunuh “Tuhan” dalam egonya sebelum Nietzsche sebagai “sang pembunuh sekaligus penggali kubur Tuhan” (lihat Thus Spake Zarathustra). Berapa besar guru yang menginspirasi untuk mengubah dunia? Guru hebat yang manakah mampu berkreasi setelah manusia melupakan Tuhan? Nihilisme ada di sekitar guru dan dunia pendidikan.
Dalam sudut pandang Nietzsche, manusia tidak selalu dapat mengatasi perihnya penderitaan dan beratnya tantangan untuk mewujudkan kehendaknya sebagai manusia sejati selama guru sebagai profesi pendidik belum mengetahui apa yang dimaksudkan penderitaan dan tantangan. Dalam kehidupan akan selalu perbedaan antara manusia dan binatang, akan selalu ada dua sisi berbeda, yaitu sisi kemanusiaan dan sisi kebinatangan dalam dirinya. Manusia selalu mencapai tujuannya sejauh relasi timbal balik antara dua sisi yang berbeda berada dalam pergolakan hidup dan kehidupan. Dapat dikatakan, dunia Barat dan Timur dilihat persfektif pendidikan nyaris tidak ada selubung yang menutupinya menyangkut moral, terlepas dari sorotan Nietzsche tentang “moralitas tuan” dan “moral budak”. Saya juga tidak tahu penyebabnya apakah ada pengaruh atau tidak dari pesatnya perkembangan teknologi ataukah budaya asing dengan sistem kode yang menopangnya.
Kemanakah jalan yang harus ditempuh oleh anak-anak didik? Nietzsche secara terbuka dan menukik membagi tingkat kebudayaan, mencakup barbar, normal dan asketik akan menjadi arah penyusunan ‘sistem penilaian’ dari guru. Pada tingkatan kebudayaan barbar ditandai dengan kehendak manusia untuk melukai dan menghancurkan orang lain. Tingkatan kebudayaan normal adalah kebudayaan orang-orang yang mengagumi dan membiarkan sesamanya tertawa dan bahagia, lucu dan ironi. Tingkat kebudayaan ketiga, yaitu asketik, orang lebih berpaling pada diri sendiri dan mengadakan penguasaan diri sendiri. Dari sisni, orang-orang yang berada pada tahap kebudayaan ketiga ini akan merasakan dirinya sebagai orang yang paling berkuasa. Pembagian tingkat kebudayaan ini juga menunjukkan bahwa macam moral tercipta sesuai dengan pihak yang menciptakan. Guru-guru perlu mewaspadai ketiga tingkatan kebudayaan tersebut. Kita melihat betapa kemegahan yang dibangun dalam yingkatan kebudahan sekaligus kerapuhan terutama pada tingkat kebudayaan barbar dan intoleran, moral dan moralitas diciptakan untuk membatasi dan membuat tidak percaya diri dan galau dari orang-orang yang tidak disenangi atau mencegah orang yang galau, sehingga secara hirarki sekelompok orang dapat menguasai orang-orang yang tidak percaya diri dan galau berada dalam tingkat kebudayaan barbar dan reaksioner.
Selain itu, guru-guruku mencakup pemikiran filosofis yang baru, seperti Martin Heidegger, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, dan Gilles Deleuze. Being and Time, intelektual-filosofis besar Heidegger begitu sulit untuk dipahami isinya. Dia memperkenalkan apa itu keruntuhan subyek, segala yang menjurus pada nalar transendental. Sekedar untuk menyebut, Michel Foucault yang luar biasa telah mewariskan intelektualitas dalam meta-genre ‘irasionalitas yang rasional’, ‘rasionalitas yang irasional’ dalam hubungan dengan Nietzsche, disaat dia berbicara relasi natara kuasa dan pengetahuan bahkan seksualitas. Tarulah dalam deretan karyanya, Power/Knowledge, The Archaeology of Knowledge, Madness and Civilization, Discipline and Punish, The History of Sexuality, dan The Order of Thing. Selanjutnya, Derrida dalam Of Grammatology, Writing and Difference, Dessimination, Limited Inc, Specters of Marx, dan On Cosmopolitanism and Forgiveness. Gilles Deleuze juga menawarkan wawasan baru yang belum pernah kami temukan sebelumnya dalam karya-karyanya, diantaranya: Difference and Repetition, Cinema, Desert Islands and Other Texts, The Logic of Sense, Masochism : Coldness and Cruelty venus in furs, Nietzsche and Philosophy, Spinoza : Practical Philosophy, bersama Felix Guattari menyusun Anti-Oedipus dan What is Philosophy? Dalam negeri dapat disebutkan misalnya, Tan Malaka seperti dalam karyanya, Materialisme, Dialektika dan Logika (Madilog), Mohammad Hatta-Alam Pikiran Yunani. Ditambahkan lagi, pemikiran filosofis dari Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi dan Muhammad Abid Al-Jabiri.
Secara singkat, para tokoh sekaligus guru besar tersebut di atas tidak memiliki keterkaitan genealogis pemikiran dengan kurikulum dan inspirasi guru sekarang yang masih bergelut dengan berbagai permasalahan para pelajar dan mahasiswa Indonesia setelah setelah menempuh Ujian Akhir Semester Ganjil (UAS) begitu ketat dan keras. Para pemikir bebas dan filsuf besar tidak pernah bermimpi untuk menjawab permsalahan anak-anak didik dengan masa depan berupa “nilai bagus dan sangat memuaskan melalui Indeks Prestasi (IP) 4.00 atau setidaknya lulus mata kuliah bagi mahasiswa. Setelah Anda lulus sekolah yang lebih tinggi, Anda ingin kemana? Tidak keliru, bahwa setiap zaman berbeda kondisi dan sistemnya. Untuk mereka, guru yang mengubah dunia. Karena itu, gurulah yang menawarkan atau membebaskan kita dari ancaman kebudayaan.