Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Mendudukan Suap dan Gratifikasi Dalam Islam

×

Mendudukan Suap dan Gratifikasi Dalam Islam

Share this article

KHITTAH.CO – Hukum pada persoalan pemberian (yang didapat dengan cara halal), baik uang, makanan, pakaian, atau barang lainnya, yang tidak diketahui asal-usul barangnya, maka kita hukumi saja sebagai halal. Dalam kasus seperti ini, berlaku sebuah ungkapan apa saja yang tidak kita ketahui detailnya, kita tidak perlu mempertanyakannya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-Maidah ayat 101, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu … .”

Maksudnya, jika memang tampak sesuatu yang baik/halal, maka halal hukumnya kita manfaatkan. Ini berlaku bagi jasa secara umum, kecuali jika sampai ke tingkat patut dicurigai, yakni kita mempunyai dugaan keras bahwa barang yang diberikan itu barang haram.

Misalnya kita menerima pemberian dari orang yang suka berjudi, maka kita perlu mencari tahu asal-usul barang yang diberikan tersebut. Selama kecurigaan belum hilang, sebaiknya jangan menggunakan (baik kita manfaatkan sendiri atau kita berikan kepada orang lain) pemberian tersebut. Atau kita tempuh jalan pintas, yaitu mengembalikan barang tersebut kepada si pemberi.

Itu hampir sama dengan sebuah pemberian yang lebih mendekati praktik suap, karena kita mempunyai jabatan penting, misalnya, yang sekarang populer dengan sebutan gratifikasi. Oleh sebab itu kita perlu mencurigai si pemberi, jangan-jangan ada udang di balik batu. Kita harus mencari tahu, sampai kecurigaan kita hilang. Jika memang lebih mendekati kasus penyuapan, maka sebaiknya kita jangan menerima pemberian itu, atau pilihan lain, melaporkannya kepada yang berwajib (polisi), jika sekiranya persoalan beri-memberi itu memasuki wilayah kriminalitas.

Sedangkan menjual sesuatu dengan harga di atas harga pasar,  maka sepanjang terpenuhi rukun dan syarat jual beli, seperti penjual dan pembeli cakap bertindak hukum, barang yang dijual adalah sesuatu yang halal, dimiliki oleh penjual, diketahui kualitas dan kuantitasnya, dapat diserahterimakan, kemudian ijab qabul, menunjukkan adanya kerelaan, pembelian dengan harga tinggi adalah kemauan pembeli, hukum jual beli ini adalah sah. Tetapi jika terjadi dalam pasar pada umumnya, harus dicermati dampak dari pembelian harga tinggi terhadap barang yang dijual, khawatir akan mempengaruhi harga pasar, kecuali jika barang tersebut barang antik yang tidak semua penjual memilikinya.

Menjawab hukum pelaku terlibat kasus suap/kriminal. Dalam hal ini perlu memahami peta harta haram yang banyak tersebar di masyarakat kita. Secara umum, harta haram bisa dikelompokkan menjadi dua:

Harta haram karena dzatnya, seperti khamr, babi, bangkai, anjing, darah, dan seterusnya.

Harta haram karena cara mendapatkannya, meskipun dzatnya halal, seperti uang riba, barang curian, mobil korupsi, sapi suap, dan seterusnya.

Selanjutnya, untuk harta haram karena cara mendapatkannya, dibagi menjadi dua:

Harta haram yang diambil secara suka rela, saling ridha, atau dengan izin pemilik pertama. Seperti upah wanita pezina, hasil judi, atau jual beli barang haram (misal: hasil menjual babi, khamr), dan seterusnya.

Harta haram yang diambil secara sepihak, dan merugikan pihak lain, tidak saling rida. Seperti harta hasil curian, harta hasil merampas, hasil menipu, dan lain-lain.

Harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemilik yang asli, tidak saling ridha, statusnya tetap haram, meskipun berpindah ke tangan orang lain, baik diberikan dalam bentuk hadiah atau hibah. Sebagian ulama menjelaskan dengan dalil sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam;

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ .

“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah hasil korupsi.” [HR. Muslim dari Ibnu Umar]

Ibnu Hajar mengatakan;

دَلَّ قَوْلُهُ لاَ تُقْبَلُ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ أَنَّ الْغَالَّ لاَ تَبْرَأُ ذِمَّتُهُ إِلاَّ بِرَدِّ الْغُلُولِ إِلَى أَصْحَابِهِ بِأَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ إِذَا جَهِلَهُمْ مَثَلاً وَالسَّبَبُ فِيهِ أَنَّهُ مِنْ حَقِّ الْغَانِمِينَ فَلَوْ جُهِلَتْ أَعْيَانُهُمْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ بِالصَّدَقَةِ عَلَى غَيْرِهِمْ.

“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘sedekah tidak diterima karena hasil korupsi’ menunjukkan bahwa orang yang korupsi tidak bisa lepas dari tanggung jawab kecuali dengan mengembalikan harta korupsi itu kepada pemiliknya, bukan dengan mensedekahkannya ketika tidak mengetahui siapa pemiliknya. Sebabnya adalah bahwa harta itu masih milik al-Ghanimin (pasukan perang yang mendapat ghanimah, pemilik asli), sekalipun pemilik asli tidak diketahui, tidak boleh bagi koruptor untuk manyalurkan uang itu dengan mensedekahkannya kepada orang lain.” (Fath al-Bari: III: 278)

Harta hasil korupsi termasuk jenis harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemilik yang asli. Hal ini karena sejatinya harta itu adalah milik rakyat, dan semua orang sepakat tidak ada rakyat yang bersedia hartanya diambil oleh pejabat.Oleh karena itu, sekalipun telah dilakukan money laundry (pencucian uang), atau diserahkan kepada orang lain, harta itu wajib untuk disita dan dikembalikan kepada negara. Bagi penerima yang mengetahui bahwa itu hasil korupsi, dia harus menolaknya.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN

Leave a Reply