Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Berkuasa dengan Benar

×

Berkuasa dengan Benar

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Membaca tema kegiatan Madrasah Politik dan Siber sebagai “Refleksi Sumpah Pemuda” yang dilaksanakan pada tanggal 29 s/d 31 Oktober 2021 oleh Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan, saya langsung merasakan sesuatu yang luar biasa. Tema “Berkuasa dengan Benar” adalah narasi yang harus terus dipancarkan di tengah kondisi bangsa dan negara yang disinyalir telah terjebak dalam politik oligarki. Ada juga yang sudah memastikan.

Bisa jadi, ada banyak pembaca yang menilai bahwa tema ini menemukan ruang relevansinya. Saya pribadi lebih fokus pada, bahwa tema ini menandai cara pandang para Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan yang mengedepankan paradigma dan prinsip apresiatif. Sebuah cara pandang yang senantiasa berorientasi pada sesuatu yang positif, optimis, mengarah pada sesuatu yang potensial, sumber energi dan hal-hal yang inspiratif.

Dalam narasi yang sering kita baca dan dengar, “Berkuasa dengan benar” sebagai harapan Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan jika dikontekstualisasikan dalam prinsip apresiatif tersebut, seakan ingin menyampaikan pesan. “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”, Bagi saya ini salah satu pesannya.

Bahkan ini, dalam cara pandang saya, adalah cara menjawab keraguan dan rasa pesimis Malaikat pada saat Allah berfirman untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dan sebuah ikhtiar agar sejarah Qabil dan Habil yang menandai antitesa dari “Berkuasa dengan benar” dan termasuk “cara mendapatkan kekuasaan dengan benar”, tidak terus terjadi.

Selain itu, dari tema ini, pikiran langsung tertuju pada ingatan sebuah tulisan Ito Prajna yang saya akses kurang lebih 7 tahun yang lalu. Judulnya, Indonesia Modern Terjebak Politik Hasrat dan Politik Uang-Sebuah Perspektif Filsafat. Tulisan tersebut menguraikan rumusan menarik yang diajukan oleh Thomas Hobbes, Seorang Filsuf Politik Abad ke-17, tentang sifat dasar kekuasaan.

Hobbes (dalam Ito, 2013), menyingkap “dua hal yang paling purba”, “dua hal yang paling naluriah”, “dua hal yang paling manusiawi”, bahkan sekaligus juga “paling fundamental”, yang (telah) selalu bermukim di dalam diri semua manusia. Dua hal tersebut adalah hasrat (desire) dan kuasa (power).

Hobbes pun menegaskan “…saya tetapkan sebagai dorongan paling dasar semua manusia, yaitu hasrat terus-menerus (perpetual) dan tak kenal lelah (restless) untuk mengejar kekuasaan demi kekuasaan. Hasrat ini hanya akan berhenti dalam kematian”.

Setelah saya membaca Hobbes, mengenai cara pandangnya terhadap hasrat yang perpetual dan restless terhadap kekuasaan itu. Apakah saya pesimis bahwa “Berkuasa dengan benar” mustahil bisa dicapai? Jawabannya “tidak”, saya tetap optimis. Meskipun perasaan optimis ini terkesan bagaikan debu di tengah gumpalan pasir peradaban.

Ada banyak hal yang membuat saya tetap optimis. Salah satunya Hobbes (dalam Ito) pun menegaskan bahwa, “Dua dorongan manusia paling purba, paling naluriah, paling manusiawi ini ternyata juga memiliki dua karakternya yang berbeda secara bersamaan: 1) karakternya yang destruktif, dan 2) karakternya yang konstruktif”.

Karakter konstruktif inilah yang diharapkan dan relevan dengan “Berkuasa dengan benar”. Berkuasa dalam konteks apapun idealnya dilakukan dengan benar. “Berkuasa dengan benar” adalah sejenis “kode” harapan. Yang dalam tradisi semiotik, bisa dipahami bahwa, ada banyak harapan yang dimiliki para aktivis dan kader Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan narasi biasa. Maka disingkatlah dalam tema ini.

“Berkuasa dengan benar”, dalam pemahaman saya―yang meskipun saya tidak pernah berdiskudi dengan siapa pun terkait tema ini―bukan berarti hanya fokus pada aspek penilaian term “benar” yang berada dalam dimensi logika, intelektualitas, konstitusional, regulatif, dan termasuk Standar Operasional Prosedur (SOP). Jika pun saya keliru memprediksi maka saya harus menambahkan, bahwa berkuasa bukan hanya mengedepan aspek kebenaran, tetapi termasuk aspek kebaikan (dimensi etik) dan―meminjam istilah KH. Ahmad Dahlan―menggembirakan, serta menyenangkan.

Dalam kehidupan, seringkali kita menemukan adanya sikap, tindakan atau praksis yang menjadi antitesa daripada “Berkuasa dengan benar”. Dalam kehidupan organisasi, dunia birokrasi, dan dunia parlemen seringkali kita menemukan perilaku yang memancarkan spektrum negatif sebagai antitesa daripada “Berkuasa dengan benar”.

Saya masih ingat kurang lebih enam tahun yang lalu. Sebuah refleksi sederhana meskipun berangkat dari luapan keresahan, saya ungkapkan dan tuliskan di beranda Facebook.

Pada saat itu, saya menegaskan “bahwa hati ini merasa sedih, jika melihat seseorang yang baru memimpin komunitas atau organisasi saja, sudah mengedepankan kepentingan pribadi dan material. Saya sulit ‘membayangkan’ bagaimana dirinya jika kelak menjadi pejabat negara. Saya khawatir karakter itu terus menyelimuti dirinya”. Idealnya di komunitas dan/atau organisasi kepemudaan-lah kita perlu belajar, dijadikan sebagai candradimuka untuk memupuk karakter diri agar kelak bisa menjadi pemimpin yang melaksanakan harapan “Berkuasa dengan benar”.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, “Berkuasa dengan benar” adalah dengan memahami dan mengaplikasikan konstitusi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Minimal para pemimpin memiliki kesadaran bahwa negara kita adalah negara kesatuan, berdasarkan hukum, dan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat yang dilaksanakan menurut UUD Tahun 1945.

Berkuasa dengan benar dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus menyadari bahwa semua kebijakan bertumpu pada pemenuhan harapan rakyat, selaku pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini dengan mengedepankan dan menjabarkan nilai-nilai Pancasila terutama point “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Berkuasa dengan benar di Indonesia, harus mampu mengelola sumber daya yang ada untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan oligarki. Berkuasa dengan benar harus mampu menegakkan supremasi hukum.

Ada beberapa hal menarik dari Prof. Mahbubani (dalam Hajriyanto Y. Thohari, 2015) yang ditegaskannya, Pertama, “…bangsa Indonesia akan maju jika mampu menghapuskan feodalisme dalam pemerintahan dan dalam masyarakat”. Kedua, “Banyak tokoh dan pakar yang menuding mental feodalisme sebagai biang kerok stagnasi bangsa ini menuju kemajuan:…para pemimpin dan pejabat terjangkiti mental minta dilayani bukan melayani”.

Point kedua di atas mental “dilayani” sebagai efek lanjutan daripada feodalisme, juga merupakan antitesa dari “Berkuasa dengan benar”. Dan Mahbubani pun kembali menegaskan, “sementara kritisisme hilang, alih-alih yang berkembang justru budaya asal bapak senang, alias menjilat”. Hal ini tentunya mengandaikan suatu keadaan pelanggengan praksis cara berkuasa yang tidak benar.

Dalam cara pandang saya, agar kritisime yang dimaksudkan oleh Mahbubani tidak hilang, maka kesadaran “kedaulatan rakyat” harus terus diinternalisasi dan dieksternalisasi, menjadi sejenis habitus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini harus dimulai dari bagaimana mewujudkan “kedaulatan pemilih” atau “pemilih berdaulat” dalam setiap perhelatan demokrasi (Pemilu dan Pemilihan).  Menggunakan hak konstitusional rakyat secara benar, baik, filosofis dan ideologis (ideologi Indonesia: Pancasila) adalah upaya terbaik untuk tetap menjaga agar praksis “Berkuasa dengan benar” terus hadir menjadi realitas empirik yang akan membawa bangsa ini menjadi Indonesia Berkemajuan.

Memahami kondisi dengan perspektif “hilir”―meminjam perspektif Prof. Haidar Nashir―, idealnya sikap dan tindakan “Berkuasa dengan Benar” sejak dini harus senantiasa diimplementasikan dalam kehidupan. Mulai dari kehidupan ketika memiliki kekuasaan di komunitas atau organisai kepemudaan. Di komunitas atau organisasi kepemudaan “Berkuasa dengan benar”, bisa dilakukan dengan menjabarkan dan mengaplikasikan apa yang menjadi tuntunan dan tuntutan dalam Anggara Dasar & Anggaran Tumah Tangga (AD/ART) dan segala pedoman organisasinya.

Harapannya agar praktik baik dan positif ini, bisa menjadi karakter yang akan mewarnai sikap dan tindakannya dirinya kelak dalam posisi yang lebih besar. Bukan justru yang pernah menyandang label “aktivis”, justru pada saat berkuasa dalam kekuasaan yang besar, menampilkan sebuah sikap dan tindakan yang jauh dari nilai dan idealisme yang pernah mengakar dalam dirinya.

Berkuasa dengan benar, harus mampu mengedepankan “The power of love” bukan sebaliknya “The love of power” yang dalam pandangan Yudi Latif dinilai menjadi penghalang Pancasila dan nilai-nilainya bisa tumbuh subur. Untuk menumbuhkan dan merawat “The power of love” sebagaimana yang telah dicontohkan dengan baik oleh para pemuda pra kemerdekaan, terutama dalam momentum bersejarah “Sumpah Pemuda”, maka menurut saya, di sinilah kita perlu memahami dengan baik nilai dan ajaran agama.

Mengapa harus dengan agama? Saya menyakini dan Mengaminkan pandangan Ahmad Norma Permata, bahwa agama memiliki “mekanisme institusionalisasi”. Sebuah mekanisme untuk membngun kehidupan. Norma Permata, memandang “Agama sebagai sebuah nilai tidak pernah semata konseptual. Melainkan Agama selalu merupakan upaya untuk mengubah kondisi”. Dan di sinilah ruang relevansi akan kesadaran founding fathers bangsa kita, yang menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada posisi pembuka, sila pertama. Padahal berdasarkan historisitasnya, pada fase perumusan, awalnya berada  pada posisi pengunci, sila kelima. Harapannya agar fundamen agama atau moral bisa menjadi fundamen utama bagi fundamen politik dan kemanusiaan.

Dari lingkup yang lebih kecil sampai pada lingkup yang lebih besar, idealnya siapa pun yang memegang kekuasaan harus mampu “Berkuasa dengan benar”. Jika kita merujuk pada teori leadership “Berkuasa dengan benar” mensyaratkan pula pemahaman mendalam dan implementasi konsep kepemimpinan.

Saya yakin tidak keliru, jika kita berharap “Berkuasa dengan benar” bisa terwujud dalam kehidupan maka siapapun yang berkuasa harus mampu mengimplementasikan sifat “kepemimpinan profetik” sebagaimana nilai itu bisa diserap dari QS. At-Taubah [9]: 128: tiga sifat yang dimaksud: Pertama, azizun ‘alaihi ma’anittum (Sence of Crisis). Harus memiliki kepekaan rasa empati dan simpati. Saya menduga jika ada oknum pemimpin atau pejabat negara yang korupsi itu sangat nyata selain mengkhiati nilai Pancasila termasuk jauh dari apa yang menjadi pesan pertama QS. At-Taubah ayat 128 ini.

Kedua, harishun ‘alaikum (Sence of achievment). Semangat yang menggebu, harus mampu menunjukkan semangat yang luar biasa sebagai pucuk pimpinan. Semangat untuk melakukan perubahan dan kebaikan. Ketiga, ra’ufun rahim (pengasih dan penyayang), Kasih sayang adalah pangkal kebaikan. Etos welas asih menjadi sumber kebaikan dan perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Dalam etos kasih sayang, tidak ditemukan cara pandang darwinisme yang mengandaikan siapa yang kuat, tetapi kolaborasi, gotong royong menjadi hal yang utama.

Minimal tulisan ini, adalah refleksi sederhana saya untuk memberikan perspektif dalam menanggapi dan merespon tema luar biasa Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan, “Berkuasa dengan Benar”. Selain itu jika merujuk pada teori yang saya pahami mengenai prinsip, hukum, nilai dan spirit yang terkandung dalam “kata-kata”, tema ini tidak hanya untuk “menjelaskan” dan “merefleksikan” realitas yang diteropong atau yang mengitarinya. Tema ini, kelak akan semakin banyak melahirkan realitas yang di dalamnya “kekuasaan” akan dipraktikkan dengan benar.

Inilah impian, jika belum sanggup menyentak dan menginterupsi kondisi dan fenomena kebangsaan kita, minimal ini berlaku dalam lingkupnya sendiri, Pemuda Muhammadiyah minimal di Sulawesi Selatan.

 

* Mantan Ketua  PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply