Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Australia Tidak Lagi Akui Yerusalem Ibu Kota Israel, Maarif Institute: Sejalan dengan Pemikiran Buya

×

Australia Tidak Lagi Akui Yerusalem Ibu Kota Israel, Maarif Institute: Sejalan dengan Pemikiran Buya

Share this article
Direktur Program Maarif Institute Moh. Shofan

KHITTAH.CO, Jakarta- Direktur Program Maarif Institute Moh. Shofan mengapresiasi langkah Pemerintah Australia yang menyatakan tidak akan mengakui lagi Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Langkah ini dimaksudkan sebagai dukungan untuk Palestina. Hal tersebut dinyatakan pemerintah Australia untuk menegaskan posisi mereka di antara konflik Israel dan Palestina.

Diketahui, pernyataan resmi itu dikeluarkan oleh Penny Wong, Menteri Luar Negeri Australia, untuk memperbarui komitmen Australia dalam upaya internasional untuk mewujudkan solusi dua-negara yang adil dan abadi.

Shofan mengatakan, komitmen Pemerintah Australia ini merupakan langkah yang patut diapresiasi. Ini karena sebelumnya, kebijakan pemerintah konservatif Australia cukup kontroversial karena mendukung Israel menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota mereka.

“Dengan tidak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, secara tidak langsung, Australia telah memberikan sokongan kemanusiaan dan mendukung kelanjutan negosiasi perdamaian,” ujar Shofan.

Shofan mengatakan, kebijakan pemerintah Australia ini sejalan dengan pandangan Buya Syafii Maarif. Pandangan itu juga tentunyasenafas dengan pandangan kelembagaan MAARIF Institute yang lebih melihat masalah Palestina sebagai masalah kemanusiaan dan bukan masalah agama.


“Buku Buya Syafii, tentang Gilad Atzmon itu sebagai cermin dari sikap politik Buya terhadap perjuangan rakyat Palestina. Buya menolak soal Palestina sebagai masalah agama melainkan soal kemanusiaan,” tegas Shofan.

Ia menambahkan, dunia harus bercermin kepada Gilad Atzmon. Diketahui, Atzmon, laki-laki Israel itu tanpa rasa takut diintimidasi atau dibunuh sekalipun karena  memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari cengkeraman penjajahan bangsanya sendiri.

Kekejaman yang terjadi di Palestina merupakan tragedi politik, tragedi kemanusiaan, dan tragedi hukum yang sangat biadab dan memalukan di mata dunia.

Israel telah menciptakan sebuah sejarah gelap selama abad ke-20 hingga awal abad ke-21 sekarang ini. “Penderitaan rakyat Palestina akibat kekejaman Israel sudah berlangsung sejak tahun 1948. Yang menyedihkan, Persyarikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan suara dari OKI hingga hari ini belum memiliki keseriusan untuk menghentikan penjajahan Israel terhadap Palestina,” ujar Shofan.

Di sisi lain, lanjut dia, Israel tidak mengindahkan perjanjian damai dan juga resolusi dari PBB. Belum lagi, negara-negara Arab yang melingkari Israel telah lama lumpuh menghadapi kekuatan Zionisme global ini.

Menurut Shofan, dimensi global dari masalah konflik ini telah dirasakan sejak lama, tetapi solusi hingga sekarang belum tercapai.

Badan hak asasi manusia PBB harus segera menyelidiki semua dugaan pelanggaran dan pelanggaran hukum internasional terkait dengan ketegangan, yang memicu kekerasan baru.

Hal yang tak kalah pentingnya, menurut Shofan, adalah pentingnya aliansi global melawan ketidakadilan politik terhadap Palestina.

Aliansi global ini juga harus menuntut konsistensi negara-negara Barat dalam menegakkan HAM tanpa pandang bulu. Kebijakan Australia ini dapat lebih merekatkan kerjasama strategis dengan Indonesia yang konsisten menyuarakan solusi damai dan kemerdekaan Palestina.

“Terlebih Indonesia telah lama menjalin hubungan diplomasi dengan Palestina. Sejarah mencatat bahwa salah satu negara di Timur Tengah yang mendukung dan memberikan pengakuannya kepada Indonesia pasca proklamasi adalah Palestina,” tutup Shofan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply