KHITTAH.CO, Selamat pelantikan DPD IMM Sulsel! Sebelum jauh, saya harus memberi disclaimer. Saya menyadari tulisan yang membeberkan hal seperti ini dianggap tabu.
Ini karena dianggap menciderai nama baik Ikatan. Saya tegaskan bahwa kondisi kita saat ini serba sulit, membeberkan berarti mempublikasi masalah dapur, dirahasiakan justru berakibat lebih buruk, dampaknya adalah kultur politik buta (benar atau salah tetap sapurata).
*
Musyawarah daerah adalah agenda untuk meregenerasi kepemimpinan organisasi. Dalam Tanfidz Muktamar, disebutkan juga, musyda dilaksanakan oleh dan atas tanggung jawab dewan pimpinan daerah.
Ini penting dipertegas di awal, sebab agenda besar ini kadangkala dibebankan kepada tampuk pimpinan di akar rumput.
Beban itu adalah Sumbangan Wajib Organisasi (SWO) dan Sumbangan Wajib Pribadi (SWP) yang memberatkan pimpinan komisariat.
Sumbangan wajib organisasi dan sumbangan wajib perorang, dua hal yang selalu dibincang serius pada setiap pelaksanaan event.
Pematokan nominal semestinya disandarkan pada kebutuhan peserta dan fasilitas yang disediakan. Bukan ajang gengsi-gengsian memilih tempat yang harus menggelontorkan banyak dana.
Pada level pimpinan akar rumput, dua hal tersebut acapkali menjadi perhatian khusus. Wara-wiri kesana kemari untuk sekadar mempersiapkan dana.
Ini sebab tidak membayar berarti tidak diberikan keleluasaan gerak. Singkatnya, tidak membayar berarti status kepesertaan tidak terhitung.
Soal nominal, menurut saya, angka itu cukup besar. Bahkan, pimpinan daerah dan pengelola amal usaha saja masih berpikir beberapa kali untuk menghadiri acara yang SWO-SWP sebesar itu. Apalagi pimpinan komisariat yang notabenenya masih mahasiswa?
Beberapa Tradisi
Sekaitan dengan hal itu, kandidat atau calon ketua biasanya mengambil kesempatan. Agenda pertemuan sengaja diintensifkan, termasuk mengumbar janji dana talangan (bebas SWO dan SWP) dengan catatan “keberpihakan gerbong”. SWO-SWP dijadikan sebagai alat transaksi politik!
Memperhatikan kultur politik Ikatan, saya teringat dengan kalimat Asratillah dalam suatu diskusi politik kebangsaan.
Ia menyebutkan bahwa satu-satunya alasan berharap kepada organisasi adalah nilai (value) dan moralitas pada organisasi yang terjaga.
Asratillah melanjutkan, kita semua sebagai pelakon, mesti mengantisipasi nilai dan moralitas ikatan, agar tidak terkontaminasi oleh kultur politik partai (menghalalkan segala cara untuk memenangkan kandidat tertentu).
Selanjutnya, pada 2 Agustus 2022, saya membaca opini salah satu kader, bertajuk “Catatan menjemput Musyda DPD IMM Sulawesi Selatan”.
Dalam tulisan itu, terdapat kalimat tentang tradisi kongkow di warkop sebagai ajang pengonsolidasian ide dan gagasan. Suatu usaha untuk memikirkan keberlanjutan estafet kepemimpinan dalam lembaga.
Namun, dalam kacamata saya, ide dan gagasan adalah unsur yang sangat marginal dalam momentum musyawarah.
Berdasarkan pengalaman, beberapa pertemuan yang pernah saya lalui menjelang perhelatan musyawarah, perbincangan di meja kopi lebih berfokus pada pembahasan strategi dan taktik untuk memenangkan percaturan, bukan soal arah dan gagasan perbaikan.
Jaminan dana untuk menutupi SWO dan SWP kepada pimpinan yang tidak sanggup dan tidak mampu membayar full juga menjadi jualan menarik.
Jika anda menganggap hal demikian sebagai hal remeh-temeh, saya ungkapkan lagi satu contoh kasus. Suatu waktu, di lokasi musyawarah, pimpinan sidang mengambil tindakan dungu, dengan tidak memberikan kesempatan partisipasi berforum kepada peserta yang tidak memiliki id card.
Hal demikian terjadi disebabkan SWO dan SWP yang belum terbayarkan. Id card hanya diberikan pada saat uang muka telah terlunaskan.
Di sisi lain, ada beberapa contoh kasus serupa, menyoal “memberatkan” yang saya maksud. Pada kampus non-PTM, pimpinan komisariat harus berusaha memperoleh dana pada setiap pelaksanaan event.
Ini sebab tidak adanya dana khusus dari kampus atau tidak adanya dana paten dari sumber-sumber tertentu.
Pada pelaksanaan DAD misalnya, pimpinan komisariat mesti menyiapkan dana kisaran Rp1 hingga Rp2 juta. Bagi PTM, dana ini kecil sekali.
Namun, bagi non-PTM, dana sebegitu harus disipakan lama. Ini guna menjamin kelangsungan proses pengaderan (logistik aman, perangkat lain juga aman).
Perolehan dana demikian biasanya bersumber dari ragam kreativitas yang bisa menjadi sumber pemasukan, juga donasi dari amal usaha Muhammadiyah.
Butuh waktu belasan hari untuk mengumpulkan dana yang telah dipatok, guna menyokong event yang hendak dilaksanakan.
Betapa menyedihkannya, jika komisariat di zona PTN diberikan beban yang sama dalam pelunasan sumbangan wajib. Tapi, dari sinilah pintu masuk transaksi politik itu!
Dana sumbangan yang dipatok terlalu tinggi itu menjadi corong laku Money Politic oleh mereka yang mengejar pemenangan percaturan.
Hal tersebut juga berfungsi sebagai alat transaksi jual beli suara. Bukankah celaka jika IMM sebagai wadah paling fastabiqul khairat, diciderai oleh para lakon demikian?
Suatu waktu, dalam obrolan bersama kawan, ada kalimat menarik yang terlontar. “Tidak usah ikut musyda, toh pimpinan se-level DPD juga tidak ada efeknya untuk komisariat, ditambah lagi beban uang sumbangan yang harus disetor begitu tinggi, mending digunakan untuk keperluan pengaderan”.
Saya manggut mendengar kalimat demikian. Toh pematokan dana juga tidak bersandar pada kebutuhan pokok peserta di lokasi musyawarah.
Rincian fasilitas juga tidak tersampaikan kepada mereka yang dibebani pembayaran. Semestinya, ada list perolehan berdasarkan nominal yang disetor.
Sebagai contoh, dalam sehari, peserta mesti membayar Rp30 ribu karena disandarkan pada harga makanan/porsi adalah 10 ribu, sementara dalam sehari, peserta akan ditanggung makannya sebanyak 3 kali.
Organisasi besar sekaliber IMM semestinya tidak kalah transaparan oleh masjid, yang diumumkan pengeluaran dan pemasukannya setiap pekanan, lengkap dengan rinciannya.
Mengutarakan hal seperti ini bisa saja diremehkan sebagian kader. Apakah dituding lemah mental karena meributkan urusan nominal, ataukah alasan-alasan yang lain.
Penting untuk diketahui, ber-IMM di kampus PTN punya dinamika tersendiri. Realitas dan tantangan hanya diketahui oleh mereka yang pernah menjalani, entah itu berpimpinan atau mereka yang berasal dari zona PTM tapi terlibat banyak dalam setiap agena di zona PTN.
Konstalasi Musyda
Merujuk pada aturan organisasi, setidaknya ada empat sidang resmi dalam setiap perhelatan musyawarah. Penting untuk membahas ini, sekaligus menguraikan fenomena yang terjadi.
Pada pelaksanaan sidang, berjalannya forum diwarnai dengan keributan-keributan. Settingan Chaos terjadi berulang kali. Memang ada beberapa orang yang ditugaskan khusus untuk itu. Mereka bergerak sesuai arahan.
Hal demikian berimbas pada penghentian sidang. Itu dilakukan untuk sekadar “menetralisasi” ruang sidang,. Akhirnya, beberapa fasilitas yang tersedia pun berantakan.
Beberapa orang yang hadir menganggapnya biasa dan bisa diterima, tapi tidak dengan sebahagian yang lain, termasuk saya.
Menurut hemat saya, menghambat jalannya sidang, untuk sekadar menyalurkan insting kebinatangan (interupsi irasional) adalah hal yang tuna etika. Keseluruhan peserta mestinya bertanggungjawab menjaga kelancaran sidang.
Bahkan dalam sidang pleno 1, kita mesti menunggu perdebatan para peserta forum meributkan tata tertib, mengoreksi diksi dan kalimat, yang pada waktu-waktu tertentu, aturan-aturan yang telah disepakati dilanggar juga.
Sidang Komisi III
Ada juga hal lain yang harus kita pahami bersama, ihwal jalannya musyawarah beberapa bulan yang lalu. Sehingga sidang komisi III mesti saya buatkan pembahasan khusus.
Sebagai pimpinan satu level di atas komisariat (pimpinan cabang), saya sangat menyayangkan naskah Badan Perumus (BP) Musyda ke XXII kemarin.
Menurut pengalaman saya, naskah BP disusun berdasarkan hasil pengamatan pimpinan yang akan menghelat musyawarah.
Sebagai contoh, saya dua kali melakoni tugas-tugas BP. Tidak hanya memperhatikan orientasi gerakan pimpinan baru, kami selaku BP juga mempertimbangkan masukan dan kebutuhan pimpinan yang dinaungi.
Sementara itu, BP musyda ke XXII sama sekali tidak melakukan koordinasi dan komunikasi, termasuk konfirmasi ke PC IMM Kota Makassar.
Ada 12 orang BP yang dimandat oleh DPD IMM Sulsel, namun satu pun di antaranya tidak ada yang terkonfirmasi pernah mengunjungi cabang.
Sehingga, informasi dan masukan tidak terserap secara utuh. Buntutnya adalah naskah BP yang tidak bermutu.
Saya membaca secara keseluruhan naskah BP yang dibagikan via WhatsApp. Naskah itu tidak jauh berbeda dengan naskah BP Musyawarah sebelumnya.
Barangkali, itu juga hanya Copy-Paste, ataukah naskah BP yang lama hanya mengalami perubahan nama personalia BP. Sangat menyedihkan.
Selanjutnya, pada pemaparan hasil sidang komisi A, diskusi berjalan begitu alot. Kehadiran dua orang BP pun tidak memberikan efek sama sekali.
Keributan dan perdebatan berjalan begitu saja. Hal ini mengindikasikan bahwa personalia BP pun tidak memahami naskah yang mereka sediakan.
Catatan Penting
Sidang komisi A akhirnya sampai pada kesimpulan, musyawarah mengamanahkan 13 bidang kepada tampuk pimpinan baru.
Dua di antaranya, yaitu Bidang Pengembangan Jaringan dan Perguruan Tinggi serta Bidang Hukum dan Ham tidak dibutuhkan.
Namu, beberapa hari pasca musyawarah, saya mendengar “kabar burung” yang membingungkan. Kabar itu yakni, pihak pimpinan baru (saat itu belum dilantik) berupaya untuk menghadirkan dua bidang yang sebelumnya ditolak pada saat sidang.
Katanya, dua bidang tersebut hendak diperadakan dengan pertimbangan kebutuhan. Ini harus ditolak! Saya menilai hal demikian sebagai “kebodohan”, sebab mereka yang beralasan butuh, tak pernah tampak batang hidungnya saat sidang dihelat.
Pada tanggal 7 Oktober 2022, saya menyempatkan menyapa sekretaris umum terpilih, untuk mengonfirmasi info yang saya terima. Pesan saya dibalas singkat: “Akan dibahas pada saat mereka rapat kembali,” katanya.
Alhasil, dua bidang tersebut tetap diperadakan, bahkan hari ini mereka telah dilantik!
Rekonsiliasi pasca musyawarah memang pasti dilakukan. Namun, catatannya, kita mesti mengantisipasi “bagi-bagi kue politik” yang malah mengorbankan hasil musyawarah.
Sebagai pentup, penting untuk dicatat bahwa PC dan DPD hanya beda 1 tingkat, tidak ada dominasi atau monopoli kebenaran di antara keduanya.
Penting juga untuk belajar menepis ego, bersikap terbuka menerima masukan dan kritik, hilangkan paradigma kekeluargaan yang kebablasan dalam kerja organisasi, agar organisasi dapat dikelola secara profesional.
Ditulis oleh:
Agus Umar Dani
Ketua Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik PC IMM Kota makassar