Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Ketika Pak AR Bicara tentang Kuburan

×

Ketika Pak AR Bicara tentang Kuburan

Share this article
Ilustrasi makam dengan cungkup dan kijing (sumber: facebook)

KHITTAH.CO, Pak AR alias AR Fachruddin merupakan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah terlama. Ia memimpin Persyarikatan pada 1968–1990.

Ulama bernama lengkap Abdur Rozak Fachruddin ini dikenal berpandangan luas. Ia juga sangat memahami kondisi sosial-budaya atau alam kebatinan umat. Tidak mengherankan, semua kalangan menerima Pak AR.

Sikap Pak AR itu terlihat ketika ia menjawab pertanyaan terkait kuburan atau makam. Pertanyaan itu berbunyi, bolehkah kita memuliakan makam orang tua dengan cara menyemen makam tersebut atau membuat cungkup, kijing, dan mahesan?

Untuk diketahui, cungkup adalah bangunan seperti pendopo atau rumah yang dibangun untuk melindungi kuburan.

Sementara, kijing adalah bangunan berupa semen, batu, dan pasir, serta tegel atau marmer di pinggiran kuburan yang menjadikan gundukan makam lebih tinggi. Biasanya, kijing bersatu dengan nisan.

Mahesan adalah batu nisan yang biasanya terbuat dari marmer. Mahesan biasanya tampak mewah dan megah.

Dalam jawabannya, Pak AR mengaku berat untuk memberikan penjelasan. Pasalnya, jawaban yang dia berikan dapat menimbulkan kesalahpahaman.

Kesalahpahaman itu, lanjut Pak AR, karena pertanyaan itu merupakan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan banyak orang dalam negeri.

“Kesalahpahaman itu akan menimbulkan tanggapan seolah hanya penulis buku ini yang mengerti agama dan mengerti hadis. Bahkan, mungkin penulis akan dituduh anti pemerintah,” kata Pak AR.

Karena itu, ia mengajak untuk bersikap jernih dan ikhlas dalam beragama. Ia yakin, dengan bersikap begitu, maksud dari sabda Rasulullah dapat lebih dipahami.

Hal tersebut sebagaimana termuat dalam buku Jawaban Kyai Muhammadiyah Mengurai Jawaban Pak AR dan 274 Pertanyaan dalam Islam.

Buku yang terbit pertama kali pada 1991 itu disusun oleh Abdul Munir Mulkhan.

Pak AR menyadari, membuat cungkup, kijing, dan mahesan dengan marmer sudah menjadi kebiasaan umum. Bahkan, kata dia, masyarakat malah membangun genthan.

Genthan yang dimaksud adalah membangun cungkup yang menyerupai rumah, lengkap kaca-kaca dan listrik, juga taman. Pak AR menyebut taman makam pahlawan sebagai contoh.

Ia melanjutkan, seandainya pengaturan makam dapat dilakukan sesuai yang dicontohkan Rasulullah, maka tidak perlu suatu makam diperluas, yang malah akan mempersempit lahan. Padahal, lahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.

Meski demikian, sebagai tanggapan atas pertanyaan tentang makam itu, Pak AR hanya menampilkan sejumlah hadis, lantas menyerahkan putusannya kepada pembaca.

“Uraian berikut ini akan mengemukakan beberapa hadis yang pemahamannya terserah kepada para pembaca sendiri,” kata dia.

Pak AR kembali mengingatkan, bahwa Islam adalah agama yang artinya pasrah atau menyerah. Dalam bahasa Jawa dapat diartikan dengan sumarah.

Maksud dari kata itu ialah sumarakatau menyerah kepada perintah Allah dan Rasulullah. Orang yang telah bersedia memeluk Islam disebut Muslim (laki-laki) dan Muslimah (perempuan).

Pak AR menjelaskan Muslim dan Muslimah artinya adalah orang yang sumarah atau menyerah kepada Allah dan Rasulullah. Walaupun demikian, ia menegaskan, tidak semua kesumarahan dan penyerahan itu berarti memeluk Islam.

Kesediaan memeluk Islam harus diikuti oleh kesediaan sumarah dan menyerah kepada seluruh perintah Allah dan Rasulullah serta bersedia meninggalkan seluruh larangan Allah dan Rasulullah.

“Siapa saja yang bersedia mematuhi dan mengikuti perintah Allah dan Rasulullah dan meninggalkan larangan Allah dan Rasulullah pasti akan memperoleh ganjaran surga yang merupakan suatu tempat yang menentramkan hati,” tegas dia.

Selanjutnya, Pak AR mengutip hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Berikut arti hadis tersebut:

Dari Abu Sa’id Al Khudriy ra. berkata: “Bersabda Rasulullah saw: Sesungguhnya aku dahulu melarang kamu sekalian ziarah kubur, maka sekarang ziarahlah, karena sesungguhnya ziarah kubur mengandungibarat.”

Pak AR juga mengutip hadis Rasul dari Ibnu Mas’ud ra yang diriwayatkan Ibnu Majah.

Hadis tersebut, artinya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku dahulu melarang engkau sekalian ziarah kubur, maka ziarah kuburlah, karena sesungguhnya dengan ziarah kubur menjadikan engkau zuhud di dunia dan mengingatkan engkau akan akhirat.”

Menurut Pak AR, hadis tersebut mengandung pengertian bahwa ziarah kubur akan menyadarkan setiap penziarah bahwa setiap orang yang hidup pasti akan mengalami kematian yang sama sebagaimana yang telah meninggal dalam kubur
tersebut.

“Orang yang berani mati, ia akan mengalami kematian, demikian pula yang takut. Dengan kesadaran akan datangnya kematian bagi siapapun di antara kita, maka yang penting adalah pengetahuan dan kesadaran akan apa yang terjadi sesudah kematian. Apakah memang tidak ada sesuatu pun setelah kematian?,” gugah Pak AR.

Mengingat itu semua, lanjut dia, maka yang perlu adalah mencari dan menemukan bekal kematian yaitu amal salih dan kebajikan.

Dengan amal salih semasa hidup, kita akan memperoleh keberuntungan setelah kematian.

Pak AR selanjutnya mengutip hadis dari Abul Hayyaj Al Asady. Hadis tersebut berbunyi, dari Ali ra berkata: “Aku mengutusmu sebagaimana Rasulullah saw. mengutus-ku; janganlah engkau meninggalkan arca, kecuali engkau menyelesaikannya (menyingkirkannya), kuburan yang ditinggalkan, kecuali engkau meratakannya.” (riwayat semua ahli hadits, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).

Pak AR juga mengutip hadis yang diriwayatkan Abu Daud dalam kitabnya Mura-sil. Hadis tersebut berbunyi, Shaleh Ibnu Abu Shaleh berkata: “Aku melihat tingginya makam Rasulullah Saw. hanya serentang jari atau kira-kira
serentang jari.”

Ketua Umum PP Muhammadiyah terlama itu juga mengutip hadis dari Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Nasa’i. Hadis tersebut berbunyi:

“Rasulullah Saw. melarang menembok kuburan, atau menduduki dan meninggikan kuburan untuk mendirikan bangunan di atasnya.”

Atas itu, Pak AR menjelaskan, berdasarkan hadis-hadis yang ia kutip, makam seorang Muslim seyogyanya hanya ditimbun dengan tanah biasa yang tingginya sekitar satu jengkal jari.

Jika kuburan itu masih baru dapat diberi tanda yang membedakannya dengan yang lama. Suatu kuburan yang lamanya sekitar dua
atau tiga tahun dapat digali kembali untuk memakamkan mayit atau orang meninggal lainnya.

“Dengan demikian setiap saat tidak perlu suatu wilayah penguburan bertambah luas atau bertambah banyak,” kata Pak AR.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply