Oleh: Muhammad Faisal (Kader IMM Kota Makassar)
Di tengah hiruk-pikuk Kota Makassar, di antara deru kendaraan, gedung-gedung yang menjulang, dan denyut nadi masyarakat urban yang bergerak tanpa jeda, berdiri sebuah gerakan yang setia menjaga nurani. Bukan sekadar organisasi mahasiswa, bukan pula hanya wadah berhimpun. Ia adalah rumah bagi cita-cita, laboratorium gagasan, sekaligus ladang tempat iman dan ilmu berbuah: Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Makassar.
Sejak awal kelahirannya, IMM selalu bergulat dengan sebuah pertanyaan mendasar: untuk apa mahasiswa belajar, berorganisasi, dan bergerak? Pertanyaan itu bukan dijawab dengan jargon kosong, tetapi dengan kesadaran sederhana yang justru mendalam: untuk merawat kader, dan untuk merawat masyarakat. Pertanyaan ini menjadi pijakan yang menuntun IMM agar tidak kehilangan arah di tengah perubahan zaman.
Kader tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari proses panjang—ditempa oleh dialektika, dibesarkan oleh sejarah, dan diuji oleh kenyataan. IMM memahami bahwa kaderisasi bukan sekadar agenda rutin yang diulang-ulang, melainkan sebuah proses peradaban: menyalakan api semangat, lalu menjaga bara itu agar tak padam di tengah derasnya arus zaman.
Seorang kader IMM dibentuk bukan untuk menjadi penonton, melainkan untuk menjadi pelaku sejarah. IMM menuntun kader agar tidak hanya fasih menghafal teori, tetapi juga berani merumuskan gagasan. Tidak cukup lihai berorasi, tetapi siap menanggung konsekuensi keberpihakan. Di forum kaderisasi, di ruang diskusi, hingga gelanggang pengabdian, kader IMM ditempa untuk menjadi pribadi tahan uji—berpijak pada nilai, berdiri tegak dengan moral, dan siap memberi arah ketika banyak orang kehilangan kompas.
Merawat kader berarti mengingatkan bahwa intelektualitas tidak boleh tercerabut dari spiritualitas; bahwa religiusitas harus bertemu dengan keberanian sosial; dan bahwa kemanusiaan adalah pangkal dari setiap langkah perjuangan. IMM menanamkan keyakinan bahwa menjadi kader bukan hanya “sedang menjadi” melainkan juga “sedang membentuk”—membentuk dirinya, membentuk sesamanya, bahkan membentuk arah zamannya.
Di sinilah letak keistimewaan IMM. Ia tidak hanya mendidik mahasiswa untuk berprestasi akademik, melainkan juga untuk menanggung amanah moral. Seorang kader IMM harus berani berdiri di garda depan ketika ketidakadilan terjadi, harus lantang bersuara ketika kebenaran terancam, dan harus setia menebarkan manfaat meski dengan langkah-langkah kecil. Sebab pada akhirnya, kaderisasi adalah peradaban, bukan sekadar program kerja.
Merawat Masyarakat: Menyulam Kehadiran, Menebar Kebermanfaatan
Namun, kader hanya menemukan makna sejatinya ketika bersentuhan dengan masyarakat. Apa arti ilmu bila membeku di lembar buku? Apa guna intelektualitas bila tak pernah menyapa realitas? IMM Kota Makassar menolak terkurung dalam menara gading kampus. Gerakan ini lahir untuk hadir, untuk turun, untuk menyentuh denyut nadi masyarakat yang penuh persoalan.
IMM hadir di lorong-lorong pemukiman yang sempit, di ruang belajar alternatif bagi anak bangsa yang tak tersentuh sekolah formal, di obrolan sederhana warung kopi tempat rakyat kecil bercakap, hingga di kanal-kanal digital tempat generasi muda bertukar gagasan. Merawat masyarakat bukanlah slogan kosong; ia menjelma dalam karya nyata: pendidikan gratis, advokasi sosial, pemberdayaan ekonomi, gerakan literasi, hingga solidaritas kemanusiaan yang melampaui sekat perbedaan.
Di situlah IMM ingin menegaskan pesan profetik: mahasiswa bukan menara gading, mahasiswa adalah denyut kehidupan masyarakat. Mahasiswa sejati adalah yang mampu mendengarkan keluhan rakyat kecil, lalu menerjemahkannya menjadi gerakan. IMM bergerak tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kerja-kerja yang meninggalkan jejak, menghadirkan solusi, dan menumbuhkan harapan.
Bagi IMM, masyarakat bukanlah objek penderita, melainkan mitra sejati dalam perubahan. Sebab itu, merawat masyarakat berarti merawat kehidupan itu sendiri—menghidupkan solidaritas, menguatkan rasa kebersamaan, dan membangun simpul-simpul peradaban dari bawah.
Merawat kader dan merawat masyarakat adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Kader tanpa masyarakat kehilangan pijakan. Masyarakat tanpa kader kehilangan penopang. Maka IMM Kota Makassar hadir untuk menyatukan keduanya dalam sebuah gerakan profetik: gerakan yang berakar pada nilai ilahi, tetapi tetap berpijak pada realitas sosial.
Gerakan profetik ini menolak tunduk pada arus pragmatisme. IMM tidak boleh terjebak menjadi organisasi administratif yang sibuk dengan rutinitas kosong, melainkan harus menjadi ruang dialektika, laboratorium kepemimpinan, dan panggung bagi ideologi Islam berkemajuan.
Di sinilah relevansi ayat Al-Qur’an menjadi nyata: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110). IMM memaknai ayat ini bukan sebagai hiasan, tetapi sebagai panggilan sejarah.
Tentu jalan itu tidak selalu mulus. Tantangan hadir dalam rupa yang beragam: derasnya digitalisasi yang kadang mengikis identitas, godaan pragmatisme yang mereduksi idealisme, hingga ujian regenerasi kader yang datang silih berganti. Namun, setiap tantangan selalu menyimpan peluang: peluang memperbarui metode kaderisasi, peluang memperluas ruang pengabdian, dan peluang menjalin kolaborasi lintas sektor.
IMM adalah perjalanan menjaga nyala api kaderisasi, lalu membagi cahayanya kepada masyarakat. Merawat kader bukan hanya menyiapkan pemimpin, melainkan menjaga kelanjutan peradaban. Dan merawat masyarakat bukan sekadar memberi manfaat, melainkan menghidupkan kembali ruh kemanusiaan yang sering terpinggirkan.
Selama bara itu dijaga dan cahaya itu dibagi, IMM akan tetap relevan, tetap tegak, dan tetap menjadi saksi zaman—bahwa mahasiswa tidak pernah kehilangan perannya sebagai motor perubahan. Sejarah mungkin akan berputar, generasi mungkin akan silih berganti, tetapi selama IMM masih setia merawat kader dan merawat masyarakat, ia akan tetap menjadi cahaya yang menuntun jalan panjang bangsa ini menuju peradaban yang lebih berkemajuan.