SATU BERANDA BEDA AGAMA (Fakta Fenomenologis Ko-eksistensi Pemeluk Agama dalam Keluarga Plural)
Dr HADI PAJARIANTO
(Pemerhati Masalah Sosial Keagamaan/Sekretaris PD Muhammadiyah Kota Palopo)
Garagangki’ lembang sura’, lopi dimaya-maya, La tanai sola dua, umpamisa’ penawa. Allonniko batu pirri’, batu tang polo-polo, umbai polo pi batu, anna polo penawa. Basin-basinna Toraya, sulingna to Palopo, umbai la dipapada, dipasiala oni. Kedenni angin mangngiri’, bara’ ti liu-liu, Umbai manda’ki’ dao sideken lengo-lengo”. Terjemahannya: “buatlah perahu berukir, biduk terpahat halus-indah, tempat kita berdua memadu kasih. Berbantallah batu cadas, batu yang tak dapat retak. Kalau batu retak pun tiada retak tautan hati. Serunai dari Toraja, seruling dari Palopo, mari padukan, selaraskan nadanya. Jika ada topan melanda, dan badai menerjang kita tak akan goyah, kokoh berpegangan tangan” (Zakaria J. Ngelow)
Antonius Muslim (bukan nama sebenarnya) adalah seorang muslim, ayahnya seorang anggota sinode sebuah gereja di kawasan Simbuang, dan ibunya lebih dekat dengan Aluk Todolo, sebuah agama lokal di Tana Toraja yang bertahan sampai saat ini. Pak Antonius, mengajarkan syair populer lagu Toraja di atas kepada penulis di beranda rumahnya di kampung Minanga Tana Toraja. Lagu yang bercerita tentang kerukunan dan kegotongroyongan sebagai pilar penting tumbuh dan berkembangnya sikap toleran terhadap pluralitas di Tana Toraja. Pagi itu, kami ditemani ibu Diana Kristina (bukan nama sebenarnya) istri pak Antonius, sembari menyeruput kopi Toraja yang diseduh secara tradisional. Kopi Toraja dikenal bukan saja karena kuat pada aroma, tetapi juga pada nikmat pada rasa. Aroma dan rasa kopi Toraja yang khas, tentu saja berbeda dengan kopi Vietnam bersianida yang diduga menewaskan Mirna Salihin. Apalagi, bagi orang Toraja kopi bukan hanya sekedar produk pertanian yang menguntungkan, atau teman disaat hawa dingin menyerang. Kopi Toraja melegenda sejak ratusan tahun lalu, menggoda raja-raja Bugis dari Ajatappareng, Bone, dan kerajaan Luwu di dataran rendah untuk datang ke Toraja. Dari sinilah, kopi mempertemukan budaya Toraja dengan dunia luar, bahkan menyisakan prahara perang, yang dikenang sebagai perang kopi Tana Toraja. Kini, kopi Toraja menjelma dan mendunia dengan nama Torabika, memanjakan lidah para penikmat kopi di seluruh antero negeri dan luar negeri.
Tana Toraja: Oase Kerukunan Antar Umat Beragama
Fakta tentang perbedaan agama dalam sebuah keluarta inti (nuclear family), atau keluarga besar (clan family) akan sangat mudah ditemukan di Tana Toraja. Banyak alasan yang dapat ditemukan di lapangan perihal keluarga yang terdiri dari berbagai pemeluk agama. Berbagai latar yang menyebabkan terjadinya beda agama pada keluarga, di antaranya; konversi –atau pindah- agama. Konversi agama biasanya terjadi karena adanya persyaratan dari salah satu keluarga mempelai untuk menyamakan agamanya, akan tetapi juga terdapat akulturasi agama, dimana antara keluarga mempelai tidak mengharuskan terjadinya penyamaan agama. Konversi agama secara teoritis memiliki beberapa faktor penyebabnya, baik karena kesadaran yang ditemukan sendiri yang dalam agama biasa disebut ’hidayah’ tanpa pengaruh lingkungan sosialnya, maupun faktor yang bersifat ’intervensi’ karena ekonomi, pernikahan, kekerabatan, dan lain sebagainya.
Di Tana Toraja, satu keluarga – bahkan satu beranda- dapat terdiri dari beberapa pemeluk agama, menjadi fakta yang unik di setiap perspektifnya. Betapa tidak, ditengah hancur-leburnya tatanan sikap toleran, menguatnya ekstrimisme yang berlabel agama, mazhab, dan ideologi, Tana Toraja tetap berdiri tegak mempertahankan pluralitas dengan semangat “Tongkonan” yang menjadi perekatnya. Tentu saja, selalu terdapat potensi konflik. Tetapi, potensi tersebut dapat diatasi jika seluruh komponen masyarakat bahu-membahu memadamkan pemicunya. Masyarakat Toraja dengan kearifan lokal-nya, telah membangun kesadaran kosmologis tentang kesatuan antara manusia, alam semesta dan Tuhan. Diilhami norma budaya Pepasan to Matua (pesan orang tua), Tana Toraja menjadi pilar kerukunan antar umat beragama yang mendunia. Nilai lokal seperti Kasiuluran (kekeluargaan), Tengko Situru’ (kebersamaan), Karapasan yang memiliki makna usaha yang keras memelihara kedamaian dan keharmonisan masyarakat, Longko’ dan Siri’ (tenggang rasa dan rasa malu), menjadi nilai yang bersumber dari local wisdom yang masih dipertahankan dalam masyarakat Toraja. Dalam perspektif struktural fungsional, seluruh struktur yang ada baik pranata pendidikan adat, agama, sosial politik dan ekonomi berjalan fungsional mendorong masyarakat kearah keseimbangan yang dinamis (dinamic equilibrium).
Metode Live In: Berbeda tetapi tetap Satu
Metode live in secara formal dapat dimaknai sebagai pola hidup bersama selama beberapa waktu di antara komunitas yang berbeda agama agar dapat saling mengenal secara obyektif dan mendalam pada masing-masing komunitas beragama tersebut (Zainuddin, 2010). Metode ini kerap digunakan oleh komunitas Studi Intensif Kristen Islam (SIKI) di kota Malang untuk membangun dialog antara Islam-Kristen. Akan tetapi penerapannya di Tana Toraja benar-benar alamiah, karena keluarga beda agama hidup bersama bukan temporal semata, apalagi dengan biaya dari LSM atau organisasi fundhing lainnya. Hidup bersama meskipun berbeda agama, adalah warisan kerukunan orang Toraja ratusan tahun silam dari khasanah Aluk Todolo.
Salah satu keluarga yang menerapkan metode Live In adalah Malik-Bunga (bukan nama sebenarnya). Keluarga ini, telah puluhan tahun memanfaatkan pola live in ini untuk membangun kebersamaan keluarga. Malik-Bunga adalah muslim taat, sedangkan adik yang hidup dengannya adalah penganut Protestan. Di sinilah mereka sharing bersama tentang pengalaman masing-masing sehari-hari yang kemudian dapat membawa pada kesepahaman dan kebersamaan. Dalam persoalan kecil maupun besar, keluarga dapat saling memberikan solusi dan support dan tidak jarang saling memberikan masukan. Saling memberi perhatian dilakukan tidak hanya menyentuh persoalan muamalah semata, tetapi dalam aspek ibadah mereka saling memberikan dukungan. Selama bulan suci ramadhan, adik Bunga yang masih beragama Protestan ikut menyiapkan keperluan berbuka, dan tidak lupa membangunkan kakak, ipar, dan kemenakannya jika tiba waktu sahur. Demikian juga sebaliknya jika perayaan Natal tiba, yang muslim memberikan dukungan pada aspek-aspek sosial, tidak mengikuti sakramen Natal karena dilarang dalam agama Islam. Pada keluarga ini, terlihat sikap keberagamaan yang kuat secara personal (aspek tauhid), tetapi inklusif jika berhubungan dengan komunitas beragama lain. Wacana kafir-iman, muslim non-muslim, surga-neraka tidak menjadi tema pembahasan dalam keluarga, tetapi menyatu dalam pribadi sebagai pengalaman keimanan yang privat.
Bagi mereka, terminologi kafir hanya dapat disematkan kepada “manusia yang tidak memiliki Aluk-kepercayaan”, atau atheis. Filosofi persaudaraan orang Toraja menempatkan saudara karena ikatan darah sama sakralnya dengan persaudaraan dalam agama. Oleh karena itu, jika penghayatan agama bertemu dengan budaya komunal orang Toraja yang sangat kuat, maka agama dan budaya yang berbeda akan bertemu dalam harmonisasi. Setiap manusia memiliki jiwa dalam dirinya sendirinya, dan juga dipengaruhi oleh agama yang dianutnya, oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mempertemukan interpretasi pribadi dengan situasi pluralitas agama yang ada. Agama diatas segala-galanya, oleh karena itu setiap agama harus diberikan kesempatan yang sama dalam menjalankan ajaran agamanya. Bagi orang Toraja, agama adalah Aluk atau aturan tertinggi sejak nenek moyang, yang berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan, dan sistem kepercayaan. Perbedaan agama, tiada menjadi penghalang jalan persaudaraan sedarah, sebangsa, dan atas dasar kemanusiaan. Tangla napoka’ tu rara, Tangla napopoka buku yang berarti “hubungan darah dalam keluarga tidak akan pernah putus, bagaikan tulang yang tak pernah retak”.