Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniPolitik dan Hukum

Perlukah Kejaksaan Menjadi Auxiliary State Organ?

×

Perlukah Kejaksaan Menjadi Auxiliary State Organ?

Share this article

 

Fajlurrahman Jurdi

                                      Oleh: Fajlurrahman Jurdi

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Kader Muhammadiyah)

KHITTAH.co – Riset tentang auxiliary state organ atau auxiliary body mengemuka dalam sistem ketatanegaraan modern. Kekuasaan tidak lagi bertumpu pada tiga cabang sebagaimana yang disebutkan oleh Montesquieu, yakni la puissance executive (kekuasaan eksekutif), la puissance legislative (kekuasaan legislatif ) dan la puissance the juger (kekuasaan yudikatif). Ketiga cabang ini disebut sebagai trias politica.

Ketiga pembagian klasik ini sudah mulai ditinggalkan, dalam arti tidak menjadi rujukan tunggal lagi, karena ada yang menambahkan kekuasaan lain seperti kekuasaan auditif yang diselenggarakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, dimana ia terpisah dari tiga cabang kekuasaan ala Montequieu.

Ternyata perkembangan seperti ini tidak berhenti dan selalu dinamis. Belakangan muncul istilah lembaga Negara keempat yang mewakili hadirnya lembaga-lembaga Negara independen, dimana lembaga-lembaga ini terpisah dari tiga cabang kekuasaan yang ada.

Yves Meny dan Andrew Knapp (1998: 281) menulis mengenai hal ini; “Regulatory and monitoring bodies are a new type of autonomous administration which has been most widely developed in the United States (where it is sometimes referred to as the ‘headless fourth branch’ of the government). It takes the form ofwhat are generally known as Independent Regulatory Commissions.

Apa yang diuraikan oleh Meny dan Knapp mewakili apa yang sedang terjadi di Indonesia dengan keberadaan lembaga-lembaga Negara independen seperti KPK, Komnas HAM, KPU atau beberapa lembaga independen lainnya yang secara konseptual tidak dapat ditarik ke konsep trias politica. Sehingga keberadaan lembaga-lembaga ini diluar dari struktur pemerintahan, tidak masuk dalam kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan juga kekuasaan yudikatif.
Salah satu rujukan konstitusional lembaga-lembaga ini adalah Pasal 24 ayat (3) UUD NRI tahun 1945 yang menyebutkan “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Berdasarkan ketentuan Pasal ini, lembaga Negara independen seperti KPK hadir, dimana secara institusional berada diluar kontrol dan tidak di bawah subordinasi lembaga Negara manapun. Lembaga-lembaga ini menjadi independent bodies.

Keberadaan kejaksaan di dalam UUD NRI tahun 1945 juga diatur dalam pasal yang sama dengan keberadaan lembaga independen. Ketentuan tersebut diulang kembali dalam ketentuan menimbang huruf b UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi; “Kejaksaan RI termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut UUD NRI Tahun 1945”.
Seyogyanya beberapa lembaga yang merujuk ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI tahun 1945 dapat dibentuk dengan status yang sama atau setidak-tidaknya tidak dapat di intervensi secara langsung oleh kekuasaan pemerintah. Apalagi kejaksaan adalah merupakan lembaga penegak hukum yang harus mengambil tindakan dan keputusan yang equal bagi semua orang.

Posisi kejaksaan saat ini adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang (Pasal 2 UU Kejaksaan). Frase dalam pasal ini tidak senafas dengan frase lain yang menyebutkan bahwa Kekuasaan negara yang dimaksud diatas dilaksanakan secara merdeka. Memang berbeda makna “lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan pemerintah” dengan “lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara”.
Pemerintah adalah salah satu elemen yang mewakili Negara. Hanya saja persoalan nya bagaimana cara memisahkan antara mewakili Negara dengan mewakili pemerintah?. Nomenklatur pertama dapat menyebabkan Kejaksaan menjadi “alat pemerintah” sehingga tidak bisa bertindak mandiri, sedangkan pada nomenklatur kedua, yakni melaksanakan kekuasaan Negara akan membuat Kejaksaan lebih “terlihat” mandiri. Namun mana tindakan jaksa dalam menjalankan tugas Kelembagaan yang mewakili Negara dan mana yang bukan.

Tambah rumit lagi ketika dikombinasikan dengan Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan, dimana “Jaksa Agung diangkat dan di berhentikan oleh Presiden”. Jaksa Agung yang memimpin Kejaksaan secara hierarkis. Dan tidak jelas pula, apakah presiden sebagai kepala Negara atau kepala pemerintahan dalam kapasitasnya mengangkat Jaksa Agung?. Jika yang dimaksud adalah presiden sebagai kepala pemerintahan, maka tambah rumit implementasi kekuasaan yang merdeka yang dimiliki oleh Kejaksaan.

Oleh karena Kejaksaan adalah lembaga penegak hukum, maka sebaiknya dipertimbangkan beberapa hal; pertama, secara institusional, sebaiknya Kejaksaan dipisahkan dari kekuasaan pemerintah. Harus ada upaya untuk mengeluarkan lembaga ini dari campur tangan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Posisikan Kejaksaan sebagai lembaga independen seperti halnya KPK atau lembaga independen yang lain. Tugas Kejaksaan sebagian besar sama dengan Tugas KPK, khususnya di bidang penuntutan. Yang berbeda hanya obyek perkara yang ditangani, dimana KPK specialist perkara korupsi, sedangkan kejaksaan meliputi segara jenis tindak pidana, perdata dan tata negara. Atas dasar ini, maka selayaknya pula dipertanyakan “kenapa beda status kelembagaan-nya, dimana KPK merupakan lembaga independen, sedangkan Kejaksaan subordinatif dan dependen dengan kekuasaan pemerintah?.

Kedua, Jaksa Agung harus direkrut melalui mekanisme seleksi yang netral. Frase “Jaksa Agung diangkat dan di berhentikan oleh Presiden” sangat tidak senafas dengan tugas Kejaksaan yang menegakkan hukum. Karena apabila ada kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah, maka sulit bagi Jaksa Agung dan jajaranya untuk bertindak mandiri, sebab secara struktural denyut nadi Jaksa Agung sebagai pimpinan para Jaksa di remot oleh Presiden. Penegakan hukum harus equal, setara bagi semua orang. Equality before the law. Karena itu, seleksi Jaksa Agung harus dilakukan oleh tim seleksi yang netral yang berasal dari berbagai kalangan.

Untuk mencapai dua hal tersebut, maka Kejaksaan harus menjadi auxiliary state organ atau lembaga Negara independen yang menjadi pemegang cabang kekuasaan keempat sebagaimana kata Meny dan Knapp di atas. Caranya adalah dengam mengubah UU tentang kejaksaan agar menjadikan lembaga ini sebagai lembaga independen yang terpisah dari kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply