Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Aku Narsis, Aku Eksis

×

Aku Narsis, Aku Eksis

Share this article

Oleh : Muhammad Nur Jabir

KHITTAH.co _ 18 November 1955 Heidegger memberikan kuliah tentang Menyoal Teknologi. Konten mata kuliah ini juga disampaikan dalam konfrensi tentang teknologi. Heidegger salah satu filsuf yang mendudukkan teknologi sebagai salah satu persoalan filsafat. Bahkan mendudukkan teknologi sebagai persoalan eksistensi, tentu eksistensi dalam pemaknaan Heidegger. Melalui gagasan pemikirannya yang khas mengenai eksistensi, ia mencoba menganalisa teknologi sebagai relasi eksistensi, menjelaskan aspek dominan yang hadir dalam teknologi, dan mencari relasi antara teknologi dengan hakikat.

Pada awal pembahasan Menyoal Teknologi, Heidegger menjelaskan bahwa inti pertanyaannya sebenarnya terkait dengan esensi teknologi. Apa esensi teknologi? Meskipun terkadang dalam pembahasan selanjutnya pertanyaannya berubah menjadi: aspek apakah yang lebih dominan yang hadir dalam teknologi?

Meskipun pada akhirnya, Heidegger memisahkan antara pertanyaan tentang “teknologi” dengan pertanyaan tentang “esensi teknologi”. Heidegger mendekati persoalan ini melalui sebuah perumpamaan, saat kita menjelaskan tentang esensi pohon, tak sama dengan menjelaskan pohon. Esensi pohon adalah menjelaskan aspek yang sama yang hadir dalam seluruh pohon sebab esensi pohon menjelaskan pohon dari aspek kepohonannya. Sedangkan pohon, menjelaskan karekteristik tiap-tiap pohon. Sebab itu, pertanyaan tentang “esensi teknologi” tak sama dengan pertanyaan tentang “teknologi”.

Pada umumnya kita memaknai teknologi sebagai sarana atau alat. Suatu sarana agar kita sampai pada tujuan. Kata Heidegger, relasi antara sarana dan tujuan, menunjukkan relasi kausalitas. Sarana sebagai sebab dan tujuan sebagai akibat. Namun Heidegger tidak sedang menjelaskan teori kausalitas Aristoteles. Heidegger ingin malampaui apa yang dijelaskan oleh Aristoteles. Intinya Heidegger ingin menambahkan satu jenis kategori dalam sebab, yaitu suatu sebab yang menampakkan apa yang tersembunyi. Mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi hingga terlihat nampak.

Heidegger selanjutnya menjelaskan satu hal penting tentang bringing forth from yaitu menampakkan yang tersembunyi menjadi tak tersembunyi. Tapi bagaimana hal ini bisa terjadi? Heidegger menjawab persoalan ini dengan persoalan Aletheia. Aletheia adalah proses dalam menyibak tirai. Menampakkan yang tersembunyi.

Namun kita kembali pada pertanyaan tentang teknologi. Dalam persoalan ini, Heidegger menghubungkan hakikat teknologi dengan Aletheia. Heidegger tidak lagi memaknai teknologi sebagai sarana atau alat akan tetapi sebagai bagian dari mode eksistensi yang mampu menyingkap realitas yang tersembunyi. Heidegger melanjutkan, sayangnya dalam teknologi modern, akan terlihat paradoks jika kita memaknai teknologi sebagai mode eksistensi yang menyingkap hakikat. Sebab teknologi modern telah keluar dari kendali kita. Justru sebaliknya, teknologilah yang mengendalikan kita. Teknologi berhasil merubah cara pandang kita dan juga berhasil merubah relasi antara individu dan sosial.

Lalu bagaimana kita menyingkap fenomena selfie?

Mungkin sebagian dari kita masih ingat, dahulu betapa susahnya mendapatkan sebuah gambar foto dari kamera. Mengabadikan kenangan melalui kamera waktu itu tidak mudah. Prosesnya cukup melelahkan dan meraup kocek yang tidak sedikit. Mungkin masih ingat ‘klise foto’ yang dimasukkan ke dalam kamera. Klise foto berfungsi merekam gambar melalui pemotretan kamera. Setelah melakukan pemotretan, hasil gambarnya tak dapat langsung dinikmati. Klisenya mesti ‘dicuci’ terlebih dahulu. Terkadang ada klise foto yang terbakar atau tidak menghasilkan gambar sama sekali.

Sewaktu zaman klise foto, biasanya tak semua momen diabadikan sebab mesti menghemat klise foto. Setiap pemotretan berarti mengurangi jumlah batasan klise foto yg ditentukan. Oleh karenanya, pada saat itu foto tak berlaku untuk semua khalayak dan juga tak mudah ditemukan disemua tempat.

Era digital telah merubah hal yang sulit menjadi mudah. Cukup dengan telpon genggam, sebuah gambar bisa diabadikan dengan cepat. Bukan hanya itu, pada saat yang sama teman-teman kita bisa langsung menikmati gambar yang baru saja terekam dengan mensharenya melalui jaringan sosmed; instagram, fb, twitter, G+, dan lainnya. Intinya, selfie dengan segala tujuan yang ada dibaliknya menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita. Dalam kata lain, gambar atau foto telah menjadi satu bentuk bahasa dialogis tanpa bahasa. Lalu Bagaimana kita memahami suatu bentuk kehidupan yang dipenuhi dengan berbagai gambar? Instagram dan sosmed lainnya menawarkan satu bentuk baru kehidupan yaitu mampu memberikan setiap saat gambar baru dari kehidupan kita. Kira-kira apa rahasia selfie mengapa begitu diminati?

1. Foto selfie; penegasan atas individualis subjektivisme. Subjektivisme merupakan karekteristik manusia modern. Subjektivisme yang hanya merangkum segala persoalan pada individualisme, “aku”. Ketika kamera sedang mengarah pada wajah kita, “diri” adalah subjek atau selfie dan dari sisi eksistensi mempersepsi dirinya melebihi yang lainnya. Namun tanpa sadar foto ‘selfie’ membawa ‘diri’ atau ‘aku’ pada catatan pinggir sebab hanya fokus pada suatu ‘relasi’, relasi antara selfie pada dirinya dan selfie pada yang lain.

Salah satu menifestasi individualis subjektivisme adalah instagram yang mampu menciptakan sosial artifisial dan individual artifisial. Mereka yang menyebar gambar dirinya melalui akun personal di sosmed akan membuat dirinya menjadi seolah memiliki personal yang beragam dan menjadi potongan-potongan gambar dibenaknya. Identitasnya yang batin dan tersembunyi menjadi nampak dan terbuka. Dan hal ini menjadi salah satu ciri etika individualis humanistik.

2. Asyik umbar keyakinan dalam perang wacana; perkembangan jejaring sosial yang begitu pesat dan cepat, memicu laju perkembangan informasi yang cepat pula. Kondisi tersebut yang memicu seseorang mengumbar setiap keyakinannya ke media sosial. Fakta di dunia kini adalah menyuguhkan berbagai ragam wacana dan keyakinan dan sosmed salah satu wadah terbaik dalam mengumbar keyakinan seseorang atau pun juga mengeritiknya, apapun bentuk keyakinannya, termasuk juga lifestyle. Postingan gambar yang disertai dengan kata-kata singkat yang menarik, jika dilakukan terus menerus akan menambah pengikut dan secara perlahan pengikut fanatik akan membentuk pasukan cyber di sosmed. Sebagian dari kenikmatan dunia maya dikarenakan memungkinkan menghapus benak seseorang dari keyakinannya. Sebagian orang melakukannya dengan menyebar fitnah sebab Fitnah adalah hal yang sangat mudah dilakukan di dunia sosmed.

3. Paradoks kebebasan dan kekerasan; kehadiran followers ibaratnya seperti para penonton yang bertepuk tangan dalam suatu acara pertunjukan. Namun pastinya penonton punya keterbatasan dalam memaknai. Sebab itu respon penonton beragam; suka, kritik, dan bahkan menolak. Hal yang perlu dipahami karena sosmed tertentu seperti instagram lebih menekankan pada persepsi penglihatan. Mereka yang terbiasa memahami sesuatu melalui pendengaran akan merasakan keterbatasan dalam memahami. Maksudnya mereka yang berusaha mentransfer suatu pemahaman melalui pemahaman, tak memiliki ruang dalam instagram. Artinya pemaknaan yang ditawarkan tak punya standar definisi yang akan berpotensi menjelma sebagai suatu bentuk kekerasan dan kebebasan yang tanpa batas.

Meski demikian, para penikmat instagram justru mendapatkan kenikmatan yang lain, sebab instagram sebagaimana sosmed lainnya punya kekuatan dalam mematikan dan menghidupkan penduduknya. Kekerasan dalam dunia instagram, cukup dengan memblok berarti sama dengan perintah meniadakannya. Seperti seorang Raja, jaminan kehidupan dan kematian seseorang berada ditelunjuknya. Namun disisi lain yang paling menakutkan adalah kebebasan berekspresi yang tanpa batas yang tak lagi bisa dikontrol dengan baik. Kebebasan yang tanpa standar tersebut akan berakibat fatal dalam dunia nyata.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply