Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Pasca-Dahlan, Marx, dan Derrida (Bagian 2)

17
×

Pasca-Dahlan, Marx, dan Derrida (Bagian 2)

Share this article
Example 468x60
Ermansyah R. Hindi

Oleh: Ermansyah R. Hindi

Anggota “Lingkar Studi Pasca-Filsafat”/Sekretaris PD Muhammadiyah Turatea Jeneponto

Example 300x600

Dalam pluralitas perjuangan, Dahlan dan Muhammadiyah memang tidak berdasarkan pada kategori yang bernuansa dialektika materialisme, tetapi ia akan terus diuji dengan nilai atau produksi material, misalnya sarana dan prasarana fisik kantor, sekolah/kampus, rumah sakit, rumah bersalin, panti asuhan, bank, lembaga keuangan non perbankan, minimarket, media informasi, dan sebagainya.

Kemandekan atau tidak berkembangnya secara struktural dari amal usaha persyarikatan yang termaterialisasi di bidang sosio-keagamaan berarti telah terjadi retakan dan patahan reproduksi kehidupan. Jika persyarikatan berada dalam retakan atau patahan tidak serta merta dibangun kembali melalui kekuatan dari dalam yang bersifat mental-psikis, tetapi lebih cenderung bersifat mekanis. Karena nampaknya, setiap strategi, kebijakan, program dan kegiatan yang dirumuskan organisasi cenderung bersifat mekanis. Namun demikian, pertimbangan rasionalitas kadangkala direbahkan sejenak oleh kekuatan hasrat atau gairah berorganisasi.

Artikulasi makna perjuangan persyarikatan sejajar dengan kata dalam mesin tulisan, bahasa tuturan yang dimaksudkan oleh pembicara dengan bahasa tulisan yang dimaksudkan pikiran dari penulis-pengarang, produksi konsep dan aksi dengan produksi hasrat dan produksi sosial. Seluruh amal usaha Muhammadiyah tidak dinyatakan nampak “ada” tanpa pluralitas perjuangan, dari perjuangan kelas, tanpa kelas ke perjuangan komunitas-ummat melalui reproduksi libido sosial atau energi-gairah institusional.

Dahlan dan Marx melampaui dirinya sendiri sebagaimana persis persyarikatan melampaui vitalitas dan mekanismenya sendiri. Mekanisme pengambilan kebijakan persyarikatan, diantaranya ditandai oleh keputusan personal tunduk pada keputusan institusional persyarikatan; selera seseorang tidak lebih kuat dibandingkan dengan arus libido-produksi sosial-gairah kolektif. Demi pencapaian kinerja organisasi dan meruangnya program dan kegiatan persyarikatan, landasan rasionalitas ekonomi ada saatnya saling ternetralisir dan tertumpang-tindih dengan hasrat ekonomi atau libido sosial tanpa kehilangan identitas diri dan khittah perjuangan Muhammadiyah.

Berkat rezim pertukaran, produksi, dan distribusi-sirkulasi, maka model perjuangan Muhammadiyah bergerak secara terbuka, dari arus produksi teks-agama menuju distribusi-sirkulasi modal, layaknya sirkulasi darah-uang kedalam masyarakat, dari logika sosial ke hipersosial, dari realitas pesan-retoris ke esktasi tele-media (Pasca-Dahlan, Marx). Arus reproduksi hasrat melalui tanda ekonomi tergiring kedalam simulasi permainan pasar modal-uang virtual, Muhammadiyah tidak begitu saja taklid buta, menelan mentah-mentah setiap hiperealitas kenikmatan puncak yang menggoda (seperti belanja, iklan atau layanan online) sama sekali tidak ada hubungannya dengan penjungkirbalikan transmaterialisme nilai atau dekomoditisasi modal-uang, kecuali mungkin tubuh modal dan tubuh sosial yang terseksualkan. Khusus dekomoditas modal-uang keluar dari nilai tukar ataupun nilai guna ekonomi, tatkala modal-uang tidak lagi sebagai komoditas dan nilai tukar, tetapi lebih nyata sebagai nilai tanda-simbolik yang mengalir bebas mengambang melalui tubuh sosial.

Setiap masyarakat tanpa kecuali akan menuju ke ruang libido ekonomi yang tersosialkan. Bukan lagi ritus “fetisisme komoditas”, tetapi rangkaian permainan, penjelajahan, dan hasrat untuk konsumsi. Setiap permainan memang akan keluar sebagai permainan di saat  tidak ada lagi layar, panggung, teritorial, bahkan simulasi, kecuali segalanya adalah kejayaan datang dari keruntuhan, keserasian muncul dari kekacaubaluan, tanpa pertentangan kelas, tanpa krisis atau dialektika. Bukan berarti, titik itulah, dunia menjadi hal-hal paling menarik dari bentuk kemajuan, representasi, desiminasi, dan ideologi. Sebaliknya, “tele-mesin pembunuh” tidak membunuh secara langsung, terbuka, dan kasar, tetapi secara tidak sadar, senyap, dan halus ditandai ketidakhadiran atau kematian makna dalam relasi reproduksi sosial muncul, tatkala hasrat untuk berbelanja dari setiap lapisan masyarakat sebagai titik akhir dari totalitas “cara produksi” dan “relasi produksi” sebagaimana dalam Capital Volume I dari analisis Marx.

Sedangkan dalam jalur yang memadai untuk diritualkan diletakkan sebagai sesuatu yang tidak terelakkan dari produksi sekaligus konsumsi massa. Apapun alasan untuk melakukan perlawanan terhadap teori dan praksis Marx tidak lebih dari titik tolak pasca revolusi, yang tidak memiliki ‘kritik atas kritik’, sekalipun bukan berkat adanya praktik revolusioner atau praktik perlawanan terhadapnya. Kekuatan modal dalam tatanan global, akhirnya menjadi jaringan mesin abstrak yang terbangun dalam ketidaksadaran teks perjuangan, bukan hanya dari kaum buruh atau proletariat, tetapi juga kaum terpelajar yang kritis.

Sementara itu, arus produksi massa dilampaui oleh konsumsi massa; ia melampaui produksi massa, sebagaimana hasrat melintasi tubuh-tubuh yang digunakannya (modal, institusi, hipermarket, dan virtualitas). Produksi atau konsumsi massa merupakan aktivitas obyektif yang disalurkan aktivitas subyektif.

Satu sisi, praktik perjuangan Muhammadiyah mencoba menataulang materialisme sebagai idealisme modern yang senyap dan idealisme merupakan materialisme yang senyap dan tersembunyi. Pada sisi lain,  apa yang kita miliki sekarang ini semuanya nyaris dibangun dan dikendalikan mesin abstrak yang merekayasa sesuatu. Dari produksi kapitalis melalui industri produksi massa ke massifikasi konsumsi melalui mesin abstrak dibalik hasrat-libido kapitalisme melebihi konsumsi atas produk, distribusi-sirkulasi, investasi lokal dan global itu sendiri.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

[metaslider id="39673"]

Response (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *