Oleh: Ratna Pangastuti*
”belum dikatakan cinta jika belum berkorban, dan cinta sejati akan terus memberi”
Cinta merupakan urusan hati antara pecinta dengan yang dicinta, perasaan tertinggi sebagai wujud penghambaan, hal tersebut terejawantahkan dalam berbagai aspek. Rasa cinta tidak bisa lepas dan pisah dari cemburu. Dua kata tersebut seakan selalu beriringan sebagai wujud dari rasa cinta itu sendiri.
Cinta sejati merupakan keinginan yang terus untuk memberi, dan memahami. Dengan indahnya Ibnu Atha`illah menulis sebuah syair,”pecinta bukanlah orang yang mengharapkan imbalan atau upah dari kekasihnya. Sejatinya pecinta adalah yang mau berkorban untukmu, bukan yang menuntut pengorbanan darimu”. Pada dasarnya setiap makhluk yang mencintai ingin terbalas cintanya, dan akan kecewa, sedih,terluka, bahwa marah hingga benci ketika cintanya tak terbalaskan atau tertolak, namun demikian hakekat cinta sejati adalah seseorang yang mencintainya dengan setulus hati tanpa mengharapkan imbalan dan balasan dari yang dicintai.
Sangat mencintai hambanya dan cinta begitu besar yang dibuktikan dengan luasnya rahmat serta ampunanNya. Segala hal yang dibutuhkan hambaNya di dunia ini dicukupi tanpa meminta balasan apapun, juga terus memberikan kesempatan kepada manusia yang salah dan khilaf untuk bertobat kembali kepadaNya, hal tersebut merupakan wujud cintaNya. Cinta lainnya bahwa dengan rahmat manusia disediakan surga sebagai bentuk balasan dari rasa cinta padaNya.
Demikian juga memiliki rasa cemburu yang besar, cemburu berupa tidak berkenannya untuk diduakan. Artinya, segala hal kesalahan dan dosa yang dilakukan anak Adam walau melebihi buih lautan masih mendapatkan ampunan atas nama cintaNya, namun satu hal yang tidak akan pernah diterima dosa anak adam jika telah melakukan syirik. Syirik adalah perbuatan menduakan/menyekutukan dengan mengakui atau bahkan menyembah selainNya. Hal ini merupakan pengkhianatan manusia terhadap cinta yang telah diberikan. Dan cemburu akan hal itu tidak berpengaruh, hanya sebagai kosekuensi logis dari suatu tindakan relasi.
Jika sang maha sumber cinta saja memiliki rasa cemburu apalagi makhluk ciptaanNya. Cinta makhluk kepada sang pencinta akan lebih abadi dan tidak akan mengecewakan. Rasulullah telah mencontohkan betapa besar rasa cintanya kepada-Nya dengan cara beliau sangat rajin mengerjakan sholat dan istighfar, tentunya amal sholeh lainya. Ibadah yang rasul laksanakan bukan semata pahala dan dosa namun lebih pada kecintaanya kepada Allah SWT. Bentuk cinta Rasulullah kepada umatnya sangat besar juga hingga terlalu besarnya ketika beliau wafat yang terucap dari mulut bersih beliau adalah “umati…umati…umati” bukan talqin atau syahadat namun justru umatnya yang dipanggIl sebanyak 3 kali.
Hal ini bukan berati Rasulullah tidak mengucap syahadat atau talqin menjeang sakaratul maut terus tervonis su’ul khotimah bukan. Rasulullah manusia mulia pilihan yang ma`sum dan terjamin syurga. sehingga sebagai tanda terima kasih atas karunia tersebut rasullah begitu mencintai umatnya.
Manusia yang paling bahagia dan paling baik keadaannya di akhirat adalah yang paling besar cintanya kepada Allah. Makna akhirat merupakan kiasan yang diartikan kembali kepada Allah dan meraih kebahagiaan bersua dengannya. Kenikmatan terbesar dari seseorang yang bercinta adalah dapat bersua dengan yang dicintainya. Betapa besar kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang sedang dimabuk cinta ketika dia datang menghampiri kekasihnya setelah sekian lama memendam rindu, kemudian bercengkrama berdua dan saling memandanginya dengan sepuas hati tanpa ada satuun yang mengganggunya.
Bentuk cinta lainnya adalah cinta sahabat Ali bin Abi Thalib yang diwujudkan dalam bentuk kekhusyukan dalam mengerjak sholat. Sebagaimana sebuah kisah yang tertulis dalam tafsir Kasyf al Asrar Maibadi bercerita bahwa suatu ketika Ali bin Abi Thalib terkena panah hingga menembus kaki beliau dan mengenai tulangnya, segala upaya telah diusahakan untuk mencabutnya namun tidak berhasil, satu-satunya cara adalah menusukkan anak panah itu hingga benar2 menembus dan mematahkan ujungnya sehingga mudah dicabut.
Ali bin Abi Thalib meminta agar dicabut ketika dia mengerjakan sholat ashar, hal tersebut terbukti ketika seorang tabib mencabutnya saat beliau khusyuk sholat sebagai wujud kecintaannya kepada Allah hingga selesai salam beliau berkata, “Lukaku sekarang terasa ringan”. Cinta yang tewujud dalam khusyuknya sholat merupakan sarana kenikmatan seorang hamba yang mampu bercakap-cakap dengan Sang Maha Pecintanya, dan janji akan menyembuhkan segala bentuk penyakit ketika hamba secara total memberikan cintanya kepadaNya.
Kita tengok pula, wujud cinta manusia kepada Tuhannya dalam diri Rabiah. betapa besar rasa cintanya kepada-Nya hingga dia sendiri tidak mampu lagi untuk memilih apakah surga atau neraka yang nanti akan didapatkan, namun yang terpenting baginya adalah mendapatkan cinta dari-Nya terutama ridho Allah. Di mana menurut Rabi`ah, ridho adalah wujud cinta kepada hambanya. Karena terlalu cintanya juga hingga dia pun tak mampu lagi membenci semua makhluk ciptaan dari kekasih-Nya termasuk setan yang menjadi musuh manusia secara umum pun tak mampu dia benci.
Perasaan cinta yang begitu besar kepada kekasih-Nya, dia tidak lagi berniat mengharapkan surga dan selamat dari neraka dengan amalan-amalan yang telah dilakukannya, atau dia tidak pernah meminta upah dari setiap yang dia upayakan dalam bentuk balasan materi dunia dan akhirat, yang dia kejar dan harapkan hanyalah cinta dan ridho dari Allah untuknya. Sepenggal syair yang pernah diucapkannya, “Aku mengabdi kepada Tuhanku bukan karena takut neraka, bukan pula karena mengharap masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku pada-Nya. Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku didalamnya. Dan jika aku menyembahMu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, Janganlah engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi padaku.”
Sesungguhnya cinta sejati adalah selalu mengenang sifat-sifat kekasihnya dalam hatinya, sehingga dalam hatinnya dipenuhi rasa cinta tentang kekasihnya dan tak ada lagi ruang yang dapat diisi hal lain kecuali sang kekasih. Dia menyadari bahwa semua kenikmatan yang ada adalah datangnya dari Allah dan bukan dari lainnya.
* Penulis dan Dosen tetap Anak Usia Dini di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya