Oleh: Daniel Mohammad Rosyid*
Selama pandemi, paling tidak di Jawa Timur, ketimpangan pendapatan memang naik (Rasio Gini naik menjadi 0.373), namun juga muncul fenomena kenaikan kemiskinan perkotaan dan sekaligus penurunan kemiskinan desa. Banyak warga kota kehilangan pekerjaan lalu pulang kampung untuk bertahan. Pada saat pemulihan ekonomi perkotaan tampak lambat, pandemi memberi kesempatan bagi desa untuk merevitalisasi diri sekaligus mempertahankan warga muda produktif untuk tetap tinggal di kawasan2 agromaritim ini. Sebuah revolusi sosial mungkin sedang terjadi diam-diam.
Sejak Orde Baru, Soeharto melalui kelompok Mafia Berkeley melakukan revolusi yang mengantarkan masyarakat agromaritim menjadi masyarakat industri. Instrumen transformasi ini tiga : penanaman modal asing, persekolahan masal paksa, dan perbankan. Kemudian masuk korporasi-korporasi asing Barat dan sekutunya (terutama Jepang dan Singapura) ke Indonesia ke berbagai sektor, termasuk pertambangan semacam Freeport yang menggarap tambang tembaga dan emas di Papua. Perusahaan2 minyak asing semacam Chevron, Caltex dan TOTAL bekerjasama dengan Pertamina untuk menyedot minyak dan gas bumi di Indonesia.
Pendidikan melalui persekolahan massal paksa sejak Orde Baru tidak lagi menjadi instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi sebuah instrumen teknokratik untuk menyediakan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin2 pabrik sekaligus cukup dungu untuk secara berdisiplin bekerja untuk kepentingan pemilik modal, terutama asing. Bersama dengan televisi, propaganda masyarakat Industri yang sekuler disalurkan melalui persekolahan. Sekolah dan TV semakin menyisakan sedikit waktu untuk langgar dan masjid. Secara perlahan, warga muda dijauhkan dari sektor agromaritim (pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan). Kemudian terjadilah urbanisasi besar-besaran ke kota-kota industri seperti Jabodetabek, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar. Hingga hari ini.
Selama 50 tahun terakhir ini kita menyaksikan sebuah proses deagromaritimasi, dan sekulerisasi besar-besaran. Pijakan budaya bagi bangsa saudagar agromaritim yang sebagian besar muslim secara perlahan runtuh, diubah menjadi budaya bangsa buruh abangan yang berdesakan di kota-kota. Saat ini, banyak kota dan kawasan industri itu adalah satelit-satelit industri China. Termasuk Surabaya.
Di sebuah pondok pesantren di dusun Wonoploso, Gondang, Mojokerto, pada Sabtu malam usai maghrib itu saya mendengar keluhan bagaimana petani kesulitan pupuk saat musim tanam. Seorang pemuda juga mengatakan betapa anak-anak muda penggemar motor lebih bermimpi menjadi YouTuber daripada menggarap sawah. Gejala itu tidak khas di dusun itu. Saya anjurkan agar petani mulai melirik ke pertanian organik. Namun pimpinan pondok Al Mukhlisin Kyai Djoko Santoso mengatakan bahwa upaya itu pernah dilakukannya 20 tahun lebih yang lalu, namun gagal karena tidak sejalan dengan program pemerintah.
Pemerintah saat ini tampak tidak hadir bagi petani, tapi lebih suka hadir bersama para taipan industri otomotif. Ini berbeda dengan Soeharto yang dibesarkan di lingkungan petani di Kemusuk, Bantul walaupun ikut membuka industri otomotif Jepang di Indonesia. Sirkuit Mandalika di Lombok Tengah menjadi kebanggan Presiden Jokowi dan Menteri BUMN. Pertanian sudah dilepas ke pasar bebas. Hemat saya, kini tiba saatnya kita menggerakkan desa untuk kembali menekuni sektor agromaritim ini sebagai sektor vital bagi kedaulatan pangan sekaligus penciptaan lapangan kerja bagi warga muda.
Salah satu pandemi yang luput dari perhatian kita adalah hutang ribawi. Ini adalah akar kemiskinan masyarakat agromaritim. Pada saat persekolahan makin berkurang perannya dalam pendidikan, keluarga dan masjid serta pondok-pondok pesantren di kawasan pedesaan harus mengambil alih peran pendidikan ini dalam menyiapkan syarat-syarat budaya bagi bangsa yang merdeka. Mentalitas merdeka ini sangat penting dalam menghadapi perampasan hak-hak politik melalui berbagai pemilu dan pilkada. Masyarakat desa harus mulai belajar merdeka, bukan sekadar menjadi pemasok buruh murah yang menjadi jongos politik dan ekonomi bagi kepentingan parpol yang sering bersekongkol dengan korporasi asing.
* Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya