Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Dunia Tanpa Otak

×

Dunia Tanpa Otak

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Pada awalnya, empat hari yang lalu, saya memutar video dari channel Youtube KS JUNIOR. Di channel tersebut menampilkan video yang berisi pidato/sambutan Prof. Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, di kegiatan Dies Natalis Universitas Negeri Semarang (UNNES). Video tersebut berdurasi 36,01 menit. Saya pun telah memutar video tersebut secara tuntas/full.

Ada beberapa poin menarik dan penting yang disampaikan oleh Prof. Mu’ti, di antaranya: istilah profesor google dan ustaz google. Yang paling menarik dan penting, ketika Prof. Mu’ti menegaskan mengenai keberadaan teknologi digital dan AI (baca: artificial intelligence/kecerdasan buatan) tidak membuat manusia semakin arif, bijaksana, dan cerdas, justru sebaliknya semakin culas. Tentang culas, saya menemukan beberapa maknanya: lamban, tidak gesit, dan malas sekali. Culas juga bisa menunjukkan sikap curang, licik, tidak jujur, dan tidak lurus hati.

Selain itu, Prof. Mu’ti juga “menyinggung”—dan ini sebagai salah satu bentuk landasan otoritatif dan ilmiah dari beberapa hal yang disampaikan dalam pidato/sambutannya tersebut—buku karya Franklin Foer, World Without Mind, yang dalam terjemahan bebasnya “Dunia tanpa otak”. Saya pun memahami dan menyadari bahwa ini adalah penanda matinya akal sehat—termasuk kelumpuhan dan ketumpulan kemampuan berpikir—di era digital.

Sebelum lebih jauh dan mendalam mengurai dan mengeksplorasi tulisan ini, saya menegaskan beberapa hal: Teknologi digital dan AI adalah suatu keniscayaan, di mana kita tidak bisa lagi lari atau bersembunyi dari arus perkembangannya; Saya pun sepakat bahwa teknologi digital dan AI itu memiliki dua sisi yang paradoks, ada yang positif dan konstruktif, ada pula sisi lainnya yang negatif dan destruktif;  Dan, saya pun menegaskan tidak anti teknologi digital dan AI—saya hanya berharap teknologi super canggih ini digunakan secara proporsional sebagai alat bantu manusia semata agar tidak “membunuh” dan “melumpuhkan” potensi dahsyat manusia.

Saya merasa bahwa tiga poin di atas penting untuk disampaikan dalam tulisan ini agar sahabat pembaca tidak memberikan kesimpulan dan tuduhan bahwa saya ini selaku penulis anti terhadap AI. Sama sekali tidak, dan kesimpulan seperti itu adalah keliru besar. Sama halnya ungkapan Prof. Mu’ti dalam video tersebut, bukan sebagai penegasan sikap anti terhadap teknologi digital dan AI. Hanya saja, termasuk saya, sedang ingin menginterupsi keadaan. Memantik pemahaman dan kesadaran agar tetap proporsional dalam pemanfaatan teknologi digital terutama AI tersebut. Sebab, jika kita kehilangan kesadaran kemudian mengalami ketergantungan penuh, justru berpotensi menjadikan dunia ini sebagai “Dunia tanpa otak”.

Dunia tanpa otak, dipastikan bukanlah dalam makna bahwa otak yang berbentuk fisik-biologis, baik yang ada dalam kepala manusia maupun yang ada di binatang, itu telah hilang. Namun, yang dimaksud di sini sesungguhnya pada makna substansialnya adalah “Hilangnya akal sehat” dan termasuk lumpuhnya kemampuan berpikir. Otak manusia tanpa akal terutama dalam makna akal sehat, maka posisi manusia akan turun bahkan berpotensi lebih rendah daripada binatang. Padahal pembeda utama manusia dengan binatang karena pada otaknya memiliki kemampuan untuk berpikir dan mencapai sampai pada tingkat yang disebut “akal sehat”.

Otak sebagai pusat saraf yang mengatur fungsi dan mekanisme kerja tubuh dan seluruh organ yang berada dalam tubuh manusia, tentu saja masih tetap ada dan bekerja sekalipun dunia berada dalam makna “Dunia tanpa otak”. Hanya saja, dalam makna dan fungsi yang menunjang dan membantu manusia dalam relasi sosial, politik, ekonomi, budaya, psikologi, ideologi, dan teologi dalam kehidupan “Dunia tanpa otak” akan mengalami atau menimbulkan kekacauan. Istilah culas yang disebut Prof. Mu’ti di atas, itu masih penggambaran yang sederhana belum terlalu parah, tetapi pada faktanya kelak akan sangat parah atau buruk.

Akal atau pikiran sebagai software yang berada dalam otak sebagai hardware-nya memiliki peran dan fungsi yang sangat vital dalam kehidupan, baik secara personal maupun secara kolektif dan/atau sosial. Bahkan tiga misi mulia penciptaan manusia (baca: beribadah, khalifah, dan dakwah) harus ditunjang dengan peran dan fungsi maksimal dari akal atau pikiran. Agama pun bisa dipandang hilang tanpa akal atau tidak ada agama tanpa akal.

Eksistensi manusia, jika mengikuti pandangan Rene Descartes, itu sangat tergantung dari kemampuan berpikir manusia atau sangat ditentukan oleh akalnya yang berada di otak: “Aku berpikir, maka aku ada”. Dalam kehidupan nyata, kita bisa melihat bagaimana orang gila di tengah kehidupan sosial atau masyarakat yang tidak bisa lagi melakukan peran dan fungsi sosialnya dengan benar, baik, dan tepat. Orang gila pada dasarnya, ada persoalan atau gangguan yang terletak pada akal dan otaknya, bukan pada organ yang lain.

Lebih jauh dan mendalam cakupannya, kita bisa menemukan kesimpulan bahwa hanya dengan akal dan kemampuan berpikir mendalam sebagai potensi dan fungsional otak yang terbaik, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa terus mengalami kemajuan dan perkembangan serta memberikan pengaruh dan perubahan secara terus menerus tanpa batas bagi kehidupan, budaya, dan peradaban. Tanpa akal dan fungsi maksimal otak, dunia mengalami stagnan.

Padahal jika kita memahami embrio perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor—yang di mana faktor tersebut termasuk sebagai faktor penyebab lahirnya filsafat, apa lagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa dilepaskan dari peran dan fungsi filsafat—ketakjuban (termasuk dalam makna keheranan), ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan.

Kita bisa membaca buku—tetapi ini hanya salah satu buku saja, banyak buku lain yang relevan—Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer karya Dr. Zaprulkhan (2015). Dari Zaprulkhan, empat faktor yang saya sebutkan di atas, itu dijelaskan dengan baik. Dan dari penjelasan tersebut, saya mencoba untuk memikirkan lebih mendalam dan merenungkannya, ternyata semua (baca: empat faktor) tidak bisa dilepaskan dari fungsi otak berupa kemampuan akal atau kemampuan berpikir.

Ketakjuban atau keheranan tidak akan serta merta hadir tanpa diawali dengan kemampuan berpikir, memahami, dan menilai realitas atau objek yang membuat kita takjub. Bagaimana kita bisa sampai pada kondisi “ketidakpuasan” jika akal atau pikiran tidak bekerja atau berproses untuk sampai pada penilaian atas realitas yang ditemukan, diamati, dan dipikirkan. Hasrat bertanya, sudah pasti membutuhkan kemampuan berpikir, termasuk untuk melahirkan kalimat tanya atau pertanyaan saja harus ditunjang oleh akal atau kemampuan berpikir. Begitu pun keraguan, mustahil akan hadir tanpa adanya kemampuan berpikir dan hadirnya fungsi dan peran otak dalam bentuk akal.

Beberapa uraian di atas, menggambarkan betapa mengerikan kehidupan dunia ini, jika dijalani tanpa otak. Dalam hal ini tanpa kemampuan akal sehat dan kemampuan berpikir. Apa lagi di tengah kehidupan yang tumpang-tindih yang telah hilang batas-batasnya, begitu pun kehidupan yang penuh dengan topeng, maka sungguh kita akan semakin kesulitan melihat dan merasakan realitas yang sebenarnya tanpa peran dan fungsi terbaik akal dan otak.

Peran akal atau kemampuan berpikir mendalam dan kritis sangat vital dalam kehidupan ini. Hanya saja, akhir-akhir ini teknologi digital terutama dengan hadirnya AI (baca: artificial intelligence/kecerdasan buatan) mengandung potensi besar yang bisa melumpuhkan bahkan berpotensi menghilangkan kemampuan dahsyat manusia tersebut.

Kesimpulan ini, bukan tanpa alasan. Kita bisa menyaksikan bersama di mana banyak manusia, bahkan orang-orang yang diharapkan senantiasa berada di garda terdepan dalam menjaga keberadaan akal, kemampuan berpikir, menjaga semangat intelektualitas dan keilmuan, serta spirit budaya dan peradaban, seperti para pelajar, siswa, mahasiswa, dosen, semakin tergoda akan rayuan AI sehingga menyerahkan proses dan aktivitas intelektual dan keilmuannya tanpa batas dan melupakan bahwa ada potensi dahsyat yang harus terus dijaga dalam dirinya melalui proses-proses alami.

Kini, telah banyak yang tergoda dalam melahirkan tulisan, itu menggunakan bantuan maksimal AI seperti ChatGPT, bukan hasil pemikirannya atau tidak diproses maksimal dalam otaknya melalui fungsi akalnya. Saya selaku Redaktur Opini Khittah.co, sering menemukan kecendrungan tersebut dari para penulis yang mengirimkan naskahnya ke saya.

Sekarang pun, kampanye penggunaan aplikasi berbasis AI yang mampu menjawab soal-soal ujian hanya dengan cara memfoto/meng-scan, semakin masif dan orang-orang pun sudah semakin banyak yang tergoda dan menggunakannya. Kampanye dan rayuan AI ini pun bahkan menembus benteng kokoh ruang strategis pembangunan peradaban, yaitu dunia pendidikan. Dalam kondisi seperti ini, kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa dunia pendidikan hanya akan melahirkan orang-orang yang sekadar berijazah. Bukan orang-orang yang berpikir, memiliki semangat belajar, dan mengabdi pada ilmu dan dunia keilmuan.

Minimal contoh tindakan di atas, ketika kita memahami dan menyadarinya, itu adalah tindakan yang negatif dan destruktif karena dampaknya terutama akan melumpuhkan kemampuan berpikir manusia, meskipun dampak nyatanya akan terasa setelah dalam jangka waktu yang cukup lama. Term “lama” di sini, saya tidak bisa memastikan durasi dan rentang waktu yang sebenarnya. Namun, pada dasarnya ditegaskan jika tindakan dan perilaku itu terus diulang-ulang akan membangun minimal karakter malas berpikir dan dengan sendirinya menumpulkan dan melumpuhkan kemampuan berpikir.

Otak yang tidak diasah, akal yang jarang digunakan, dan kemampuan berpikir yang sudah lumpuh maka dipastikan menimbulkan banyak kekacauan dalam berbagai aspek kehidupan seperti yang disebutkan di atas, di antaranya kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Selain itu, pada kondisi otak dan akal yang seperti itu, maka AI  dan ChatGPT pun tidak akan bisa lagi membantu manusia sebab untuk menghasilkan perintah “prompt” ke dalam ChatGPT saja, manusia sudah semakin sulit menyusunnya. Padahal, di balik kecanggihan fungsi AI dan ChatGPT membutuhkan input dan data.

Dalam kondisi “Dunia tanpa otak” perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan stagnan, Padahal kehidupan dan perubahan itu terus berjalan dinamis, begitu pun manusia akan senantiasa berhadapan dengan problematika kehidupan yang beragam dengan membawa masing-masing dimensi kompleksitasnya. Dalam kondisi seperti itu pula (baca: dunia tanpa otak), dipastikan AI pun akan lumpuh dan tidak mampu lagi memberikan dan menunjukkan kedahsyatan fungsinya terutama yang sifatnya kontekstual, karena tidak ada lagi manusia yang berpikir untuk merumuskan data-data (berupa pikiran, pandangan, ilmu pengetahuan baru) yang diinput ke dalam big-data yang menjadi modal utamanya.

Jadi ini, kelak akan lahir lingkaran kekacauan dalam kehidupan, jika tidak segera diinterupsi untuk dipahami dan disadari dampak negatif dan destruktif perkembangan teknologi digital dan utamanya AI, terutama jika tidak dibarengi dengan sikap dan tindakan proporsional serta semangat menjaga potensi dahsyat manusia yang telah built-in dalam diri sebagai anugerah terbesar dan utama dari Allah Swt.

Marilah kita menggunakan AI secara proporsional. Jangan menyerahkan semua aktivitas kita terhadapnya, terutama aktivitas yang berpotensi merawat otak dan menjaga fungsi akal dan kemampuan berpikir selaku manusia. Luput dari pemahaman dan kesadaran ini, kita berpotensi akan turun derajatnya lebih rendah dari binatang, melahirkan kehidupan yang kacau, dan mandat kosmik dari Allah Swt. sebagai khalifah tidak bisa lagi diwujudkan dalam kehidupan. Sekali lagi, AI hanya alat bantu manusia.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply