Oleh A.Hendra Dimansa*
Ketika para politisi terjebak dalam perangkap kekuasaan yang bersolek menggoda, sehingga mereka lupa bahwa jutaan rakyat yang hidup dalam garis kemiskinan, pengangguran yang tak kunjung mendapatkan lapangan pekerjaan, penataan kota yang semraut dan terjadinya kesenjangan antara pusat dengan daerah. Lalu, para politisi tampil dengan wajah heroik di depan layar televisi menjawab realita rakyat yang hidup dengan kemiskinan dengan melancong ke luar negeri atau minta gajih para anggota dewan di naikkan.
Untuk penataan kota maka rame-rame mengeluarkan perda penggusuran dan guna mengurangi kesenjangan pusat dengan daerah maka jawabannya datangkan investor asing. Sehingga dengan segala kondisi yang terjadi para elit politik senantiasa berkamuflase bahwa akar dari masalah itu, karena negeri ini masih tertinggal dibandingkan dengan negeri lain dan solusinya negeri ini mesti meniru kepada negeri-negeri lain.
Realita negeri ini yang senantiasa sulit dijabarkan dan menjadi sebuah ironi tersendiri, mengapa sulit dijabarkan ? karena untuk menjabarkan negeri ini sebagai pengimpor beras, bawang dan berbagai kebutuhan pangan lainnya, serasa tampak ganjil dengan negeri ini yang kondisi alamnya sangat cocok untuk bercocok tanam. Lalu, pertanyaannya apakah tak ada petani untuk menggarap sawah ? anda dan saya tentu dengan sangat lantang dan meyakinkan menjawabnya bukankah ayah dan ibu ataubahkan nenek moyang kita seorang petani ? lalu, mengapa negeri ini begitu melekat dengan salah satu kosa kata kamus ilmiah populer “impor” seolah menggubah sebuah kesadaran baru di negeri ini bahwa “hidup tanpa impor, bagai taman tak berbuah” maka itu imporlah.
Dari seluruh tumpukan masalah yang menyumbat aliran irigasi negeri ini, maka induk dari segala induk masalah itu adalah tanah. Bukankah persoalan kemiskinan yang terjadi disebabkan karena rakyat miskin di kota tak memiliki tanah, lalu hinggap menumpang di pinggiran kali atau sungai dengan atas nama tanah hak milik negara para aparat terkait menggusur warga negara. Lalau, pada titik paling frustasi kita sebagai warga negara bertanya siapakah pemilik sah negara ? aparat pemerintahan ataukah warga negara. Bukankah negeri ini telah diikrarkan bahwa kita ber”tanah” air satu yakni “tanah” air Indonesia, tapi nyatanya setelah negeri ini merdeka yang ber”tanah” air hanya satu yakni aparat pemerintahan. Dengan kekuasaan ditangannya lalu disatukannya tanah ini dalam satu bahasa yakni bahasa kepentingan.
Para petani adalah pemilik sah tanah pertanian, apakah hal tersebut demikian adanya ? jangan katakan petani pemilik sah tanah pertanian apabila kedaulatan mereka akan pertanian dan hasil pertanian tak mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional, lalu aparat pemerintahan membuka kerang impor diatas curahan air keringat melawan teriknya sang surya.
Kemudian atas nama kemajuan batang-batang padi ditindis oleh batang-batang gedung berpencakar langit, lalu elit bangsa ini mengatakan bahwa bangsa ini bergerak menuju grafik kemajuan dan diemper-emperan gedung berpencakar langit ada orang miskin yang mendirikan pemukiman beralaskan jerami tua yang merindukan masa mudanya dan petakan-petakan sawah yang meliuk-liuk. Tapi, semua itu telah menjadi kisah pilu sebab kini tak ada lagi sawah dengan petakan-petakannya yang ada hanyalah gedung dengan lantai-lantainnya yang bersusun.
Dari gambaran serunut ataupun seruntut permasalah yang melanda negeri ini, apakah muara persoalannya karena politik ? pertanyaan ini bukan bermaksud mengatakan bahwa persoalan terbesar di negeri ini adalah persoalan politik. Tapi, kita juga butuh jawaban yang cukup jelas apakah semua persoalan kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan pusat dengan daerah bisa diatasi dengan kebijakan politik. Lalu, apabila demikian apakah politik tidak ikut bertanggung jawab menciptakan semua itu ? kita tentu sudah sangat mengerti bahwa kebijakan yang lahir dari rahim politik cenderung berat sebelah bagi kaum lemah. Padahal semestinya kebijakan yang dilahirkan lewat tangan politik yang penuh kebijaksanaanlah mereka yang lemah terlindungi dan merasakan keadilan.
Bukankah politik berasal dari kata polis yang berarti kota, sedangkan kota berkonotasikan kemajuan dengan keindahan yang nan megah. Sehingga apabila ada keputusan politik yang tidak berasaskan kemajuan, maka keputusan tersebut pantas dipertanyakan. Oleh karena itu, politik pada dasarnya adalah menciptakan keindahan. Indah dalam pengertian pengambilan kebijakannya, keadilannya dan memanusiakan. Dengan demikian apabila ada politisi yang mengatakan penggusuran ini untuk memperindah tatanan kota, maka hal tersebut perlu dipertanyakan apakah kebijakan itu sudah cukup indah mempertimbangkan asas keadilan dan kemanusiaan ? apabila belum melingkupi hal tersebut jangan pernah mengatas namakan itu sebagai bagian dari kebijakan yang lahir dari tangan politisi yang mengedepankan kepentingan rakyat. Ada sebuah ungkapan yang senantiasa menghinggapi paras tanya, bagi mereka yang bergelut dan menyelam dalam kosmos politik, bahwa “politik adalah seni” kalau kita menerima ungkapan tersebut sebagai sebuah kebenaran, maka muncul sebuah pertanyaan apakah korupsi merupakan salah satu cabang dari seni berpolitik ? bukan cuman itu apabila diselami lebih mendalam maka cabang seni berpolitik yang lain akan muncul seperti money politic, blackchampaingn dan penggelembungan suara.
Lalu, benarkah politik seperti itu ? karena pada dasarnya estetika atau keindahan lahir dari jiwa yang indah dan menjadi pusat pancaran di sekitarnya. Apabila menggunakan pendekatan Ibnu Sina tentang wujud (hakekat keberadaan) yang terdiri atas wajibul wujud (wajib adanya) dan mumkinul wujud (mungkin adanya) untuk meneropong mengenai hakikat politik di negeri ini. Pertama wujud ( keberadaan) dunia politik yang tersaji lewat pemilu, pilkada, pilgub, pilpres dan pileg maupun pilkades semua membutuhkan uang untuk melicinkan menuju singgahsana kekuasaan yang begitu dipuja bagi pecintanya.
Sayangnya setiap pemilihan yang tersaji di negeri ini telah mewajibkan dan mempersyaratkan untuk meraih kemenangan. Sehingga politik di negeri ini telah me-wajibul wujudkan (wajib adanya) uang sebagai jalan menuju kekuasaan. Pertanyaan selanjutnya apakah dalam kontekstasi politik di negeri ini telah memberikan ruang bagi mereka yang ber-intelek untuk memimpin ? sayangnya dari sekian banyak orang-orang yang memimpin negeri ini, hanya sedikit dari mereka yang dibangun atas dasar prinsip intelektual dan profesionalisme dalam setiap mengambil kebijakan.
Singkatnya orang-orang yang berintelektual dan profesionalisme hanya menjadi penonton politik, sehingga pemecahan masalah terkadang terlihat anarkis. Sehingga di negeri ini politik yang berintelektual dan profesional hanya bersifat mumkinul wujud (mungkin adanya), tentu tidak mengherankan apabila negeri ini menjadi negeri tertinggal dan begitu ulet maupun rajin mengimpor. Untuk melakukan perubahan di negeri ini, tentunya bukan hanya sekedar mencetak generasi yang berintelektual dan profesional. Tetapi, yang lebih penting menggugah kaum intelektual dan kaum profesional untuk turun melakukan perubahan pada tataran sosial politik. Sebagaimana ungkapan Antonio Gramsci bahwa yang dimaksud berintelektual bukanlah yang memiliki pengetahuan luas, tetapi yang berintelektual adalah yang mengaplikasikan pengetahuannya.
Dengan demikian yang dimaksud estetika politik adalah pada saat orang-orang yang berintelektual dan profesional menjadi pelaku politik yang dalam menenun kebijakan politiknya senantiasa didasari atas ide atau gagasan untuk menguatkan semua aliansi sosial (kelompok-kelompok) yang ada.
Estetika politik bukanlah ketika musim kampanye para politisi menyuguhkan pertunjukan dangdutan untuk para simpatisannya, sebab estetika politik yang sangat urgen yakni ketika para politisi menghadirkan ide atau gagasan yang dibutuhkan untuk mewujudkan sila ke lima Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
* Penulis adalah peneliti di Epicentrum Politica