Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipNasionalOpiniPendidikan

IPM dan Kemajuan, Refleksi Milad ke-55 tahun

42
×

IPM dan Kemajuan, Refleksi Milad ke-55 tahun

Share this article
Example 468x60

IPM DAN KEMAJUAN

(Sebuah analisis konseptual terhadap Gerakan Pelajar Berkemajuan)

Example 300x600

IMG_20160716_175706_edit_edit

Oleh : Muhammad Asratillah Senge S.T.

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) sebagai organisasi otonom dari Muhammadiyah, memiliki hasrat yang sangat kuat atau obsesi teradap dua hal, yang pertama adalah keislaman, dan yang kedua adalah kemajuan, dan subjek yang memiliki hasrat atau obsesi terpsebut adalah pelajar. Maka dari itu IPM berada dalam posisi mendialogkan masa lalu (tradisi, dogma dan khazanah Islam), kekinian (realitas sosial-ekonomi-kebudayaan yang melingkupi pelajar) dan masa depan (bagaimana merealisasikan “Masyarakat Islam Sebenar-benarnya” di mana kepedulian terhadap pelajar adalah titik berangkatnya).

IPM dalam mendialogkan masa lalu, keinian dan masa depan tidak hanya akan menghasilkan konsep-konsep, ide-ide atau gagasan-gagasan  mengenai Islam dan peta akan realitas kekinian melalui pembacaan sosial dan antisipasi masa depan, tetapi konsep-konsep tersebut harus diinkarnasikan dalam sebuah tubuh yang disebut dengan gerakan. Melalui gerakan inilah IPM bukan sekedar produsen konsep-konsep atau ide-ide, bukan sekedar organisasi an-sich dan bukan pula sekedar penanda bagi kerumumnan pelajar yang mempunyai minat yang sama.

Dalam perspektif psikologi sosial dan psikologi politik, semakin besar sebuah organisasi dalam hal kuantitas dan semakin kompleks hirarkinya, maka organisasi tersebut cenderung mengalami social loaf  atau kemalasan sosial, yaitu situasi di mana hilangnya passion, antusiasme dan ghirah dalam sebuah organisasi, inilah momen dimana sebuah gerakan (movement) akan membeku menjadi organisasi birokrasional. Gejala ini pun sudah mulai nampak dalam tubuh Muhammadiyah, di mana pada fase formative age atau fase awal-awal sesudah kelahirannya, muhammadiyah adalah gerakan yang begitu progressif, melawan pakem keberagamaan dan tradisi saat itu, bekerja sama dengan gerakan-gerakan kebudayaan dan politik yang progressif dalam hal ini Budi Oetomo dan Sarekat Islam, sangat berpihak pada kaum mustadh’afhin (dalam hal pelayanan sosial dan pendidikan) tanpa terlalu ribut soal tetek-bengek fiqh . Tetapi yang terjadi kemudian adalah “pembekuan” gerakan yang progressif dan cair  tersebut menjadi organisasi-birokratis.

Apakah kondisi tersebut akan menjadi niscaya selama-lamanya ? jawabnya tidak, kondisi yang penulis jelaskan di atas bukanlah sesuatu yang at-given dengan kata lain kondisi tersebut masih bisa diubah. Salah satu strategi kebudayaan yang bisa kita gunakan adalah blow from below, kita cairkan kebekuan ini dari bawah, mulai dari ortom-ortomnya, salah satunya adalah dengan meneguhkan IPM sebagai gerakan dan aktornya adalah para pelajar yang memiliki obsesi terhadap Islam dan kemajuan, gerakan yang akan kita namai sebagai “Gerakan Pelajar Berkemajuan”.

IPM Sebagai “Gerakan” 

            Apakah gerakan itu ? , sebagai titik tolak, barangkali dalam hal ini penulis meminjam pendapat Giddens (1993) mengenai definisi gerakan sosial, bahwa gerakan sosial adalah suatu upaya untuk mengejar kepentingan bersama ; atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan.

Jika kita merujuk kepada definisi Giddens , maka sebuah gerakan – penulis dalam konteks tulisan ini mensejajarkan pengertian antara gerakan dan gerakan sosial-memiliki 4 karakter penting yaitu : pertama, gerakan adalah upaya sadar, upaya yang dilakukan oleh para subjek yang sadar, bukan upaya yang hanya digerakkan oleh segerombolan orang yang sekedar didorong oleh faktor emosional. IPM sebagai gerakan berarti IPM harus disiplin diri dalam menjalankan siklus refleksi dan aksi. Dengan meminjam gagasan Paulo Freire, refleksi (konsep dan teori) an sich hanya melahirkan verbalisme dan aksi (praksis) an sich hanya akan melahirkan aktivisme. Di sinilah letak urgensi perkaderan dan penyadaran bagi kader dan basis pelajar, tetapi muatan nilai dan ideologis dalam perkaderan dan penyadaran harus diterjemahkan pula dalam praksis.

Kedua, gerakan adalah upaya untuk mengejar kepentingan bersama. Bahwa letak relevansi gerakan adalah saat gerakan ada dalam rangka untuk mencapai sesuatu yang menyangkut orang banyak, dengan kata lain relevansi gerakan ada pada orang banyak. IPM sebagai gerakan berarti IPM tidak boleh jatuh sebagai organisasi yang ada hanya untuk membela atau melegitimasi orang atau sekelompok orang tertentu. walaupun secara nomenklatur IPM adalah singkatan dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah, tetapi IPM hanya relevan jika dia memperjuangkan kepentingan yang jauh lebih besar dan luhur dengan basis pelajar sebagai titik tolak, tanpa melihat identitas yang melekat pada pelajar tersebut (apakah Muhammadiyah atau non Muhammadiyah, ataupun Islam ataupun Non Islam). Dan secara teologis, kesemestaan gerakan IPM ini (tanpa berat sebelah kepada identitas apapun) adalah konsekuensi logis dari prinsip Tauhid, di mana jika kita mendeduksi prinsip  Kesatuan Ketuhanan (Tauhid/Unity of God) akan melahirkan prinsip kesatuan penciptaan (unity of creation), prinsip kesatuan agama (unity of religion) dan akhirnya melahirkan kesatuan kemanusiaan (unity of humankind).

Ketiga, gerakan adalah tindakan kolektif. IPM adalah tindakan kolektif, tindakan yang tidak hanya bisa dilakonkan orang-perorang, tetapi tindakan yang melampaui inisiatif orang-perorang, tindakan yang terkoordinir dan terorganisasi. IPM membutuhkan infrastruktur gerakan, sebagai saluran untuk menyalurkan hasil kerja organisasi. Hasil kerjas organisasi yang penulis maksud, bukan hanya dana atau instruksi program yang sifatnya rutinitas, tetapi juga informasi dan hasil analisa  mengenai kondisi terkini, wacana, konsep, teori dll. Walaupun IPM sebagai gerakan membutuhkan perangkat organisasi, tetapi dia bukan sekedar organisasi sosial. Kalau organisasi sosial an sich biasanya ditandai dengan repetisi (pengulangan-pengulangan yang membosankan dalam hal program,ritual ataupun proyek), maka gerakan adalah sesuatu dialektis-progressif, kalau organisasi ada dalam rangka kepentingan dirinya an-sich (opurtunis), maka gerakan ada dalam rangka tujuan yang melampaui dirinya (altruisme progressif).Kalau kita meminjam gagasan Levinas dalam hal etika, gerakan IPM adalah gerakan yang being for him (ada untuk dia), dimana him di sini adalah basis pelajar, tanpa peduli apakah him tersebut being for me or not.

Keempat , gerakan memiliki spirit anti-kemapanan, bahkan Tarrow (1998), mengatakan bahwa gerakan sosial merupakan politik perlawanan rakyat jelata terhadap para elit, kebijakan yang diskriminatif dan pemegang otoritas. Tetapi “perlawanan” di sini kita tidak boleh sempitkan maknanya pada suatu tindakan kolektif yang destruktif atau merusak, perlawanan yang dimaksud di sini adalah sikap kritis dalam menanggapi segala bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh para pemegang otoritas. Dalam mengeksplisitkan perlawanannya sebuah gerakan bisa memilih diantara sekian banyak varian strategi, apakah itu low profile strategy yaitu semacam isolasi politik, ini biasa dilakukan dalam konteks social-politik yang represif. Layering strategy yaitu starategi, di mana sebuah gerakan menggunakan program-program pelayanan sosial sebagai media untuk melakukan pemberdayaan dan transformasi sosial. Strategi advokasi yaitu strategi pendampingan dan pembelaan basis sosial tertentu-misalnya pelajar-sebagai titik tolak untuk mendesakkan perubahan kebijakan pemerintah, strategi ini akan efektif jika ditunjang oleh kampanye media, ataukah memilih critical Engagement Strategy, semacam strategi bekerja sama yang sifatnya kritis dengan pemerintah dalam hal penyediaan pelayanan sosial, biasanya strategi ini dikombinasikan dengan strategi advokasi.

Maka dari itu IPM sebagai gerakan, harus memiliki ke 4 karakter di atas. Akan tetapi IPM juga harus memperhatikan tiga faktor penting lainnya, pertama ,Struktur peluang sosial-politik yang ada, sehingga IPM harus terus mengikuti perkembangan sosial-politik-kebudayaan-IPTEK yang ada, terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan pelajar. Hal ini penting agar cermat dalam melihat peluang-peluang yang bisa dilakukan IPM dalam melakukan manuver pendampingan-pembelaan-pemberdayaan terhadap pelajar. Kedua Struktur mobilisasi, yaitu saluran yang bisa digunakan oleh IPM dalam hal memobilisasi isu,sumber daya,dana,wacana dan orang, disinilah letak pentingnya infrastruktur organisasi dan komunikasi organisasi yang rutin apakah melalui rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan baik secara konkrit maupun virtual. Tetapi untuk memperluas struktur mobilisasi tersebut, maka IPM harus aktif bekerjasama dengan gerakan-gerakan lain. Ketiga proses pembingkaian (framing), yang jika kita merujuk pada devinisi David Snow yaitu “ upaya-upaya strategis secara sadar oleh kelompok-kelompok orang untuk membentuk pemahaman bersama tentang dunia dan diri mereka sendiri yang mengabsahkan dan mendorong aksi kolektif”, penanda untuk proses pembingkaian ini biasa kita sebut dengan istilah ideologi, paradigma, khittah atau manifesto, dalam sejarahnya IPM pernah memiliki Paradigma Islam Kritis-Transformatif, Manifesto gerakan kritis transformatif, Paradigma Gerakan Pelajar Kreatif kemudian yang paling update adalah Gerakan Pelajar Berkemajuan.

IPM sebagai “Gerakan Pelajar”

            Pada dekade pertama abad ke 20, dalam ruang publik Hindia Belanda-yang kemudian menjadi Indonesia yang merdeka- lahirlah istilah bangsawan pikiran, istilah ini menunjuk pada sekelompok orang Hindia Belanda yang terdidik secara modern dan mempunyai obsesi terhadap ide kemadjoean, berlawanan dengan bansawan oseoel yang terkait dengan kebangswanan lama. Dan pada umumnya terma bangsawan pikiran dijadikan penanda bagi intelektual sebagai individu maupun intelegensia sebagai strata sosial. Kemudian terjadi penegasan secara kolektif bangsawan pikiran sebagai kaoem moeda, di mana terma kaoem moeda menegaskan keberpihakan pada kebaharuan dan pembaharuan serta gerak maju ke depan, terma kaoem moeda ini nanti diperlawankan dengan kaoem toea yang merupakan penegasan kolektif dari “bangsawan oesoel”. Dan pada tahun 1910 terma kaoem moeda nanti diasosiasikan secara kuat dengan istilah kaoem terpeladjar , peomoeda peladjar atau jong (dalam istilah Belanda).

            Tetapi dalam sejarah singkat di atas, lahirnya istilah yang menunjuk pada strata sosial yang khas di Indonesia yaitu kaoem ter-peladjar, kita bisa “mencium” aroma yang kuat obsesi dan hasrat kaoem ter-peladjar akan kemajuan, hasrat perlawanan akan kemandegan-kejumudan-kebekuan berpikir , hasrat penentangan terhadap sikap yang terlalu silau akan tradisi-tradisi masa lalu,  hasrat akan kemajuan ini pula yang nanti menjadi elan vital bagi lahirnya Muhammadiyah , dan ini telah diperkenalkan oleh founding fathers Muhammadiyah. “Memajoekan hal Igama kepada anggauta-anggautanja” bunyi pernyataan dalam statue pertamakali tahun 1912, dan dalam edisi awal Suwara Muhammadijah yang di tulis dalam bahasa Jawa diungkapkan “Karena menurut tuntunan agama kita Islam, serta sesuai dengan kemauan zaman kemajuan” dan dalam Muktamar ke 37 tahun 1968 ditegaskan  karakter Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya  salah atu cirinya adalah “Masyarakat Islam adalah masyarakat yang maju dan dinamis, serta dapat menjadi contoh….”. Sehingga IPM sebagai Organisasi Otonom dari Muhammadiyah harus menjadikan pula kemajuan beserta konsekusni logisnya yang lain seperti hasrat perlawanan akan kemandegan-kejumudan-kebekuan berpikir dll, sebagai elan vital gerakannya.

            Tapi sebelum kita membicarakan ide ber-kemajuan, maka dalam bagian ini penulis akan membahas pelajar dalam kaitannya dengan terma intelegensia dan intelektual. Hal ini penting karena dalam hal kaitannya dengan terma intelegensia, IPM sebagai gerakan adalah tindakan kolektif dan hanya relevan dalam ke-kolektivan. Sedangkan dalam hubungannya dengan terma intelektual ini karena IPM sebagai gerakan tidak bisa dilepaskan dari pentingnya framing seperti yang penulis jelaskan sebelumnya dan dalam sejarah, aktor yang melakukan dan mengartikulasikan suatu ideologi, paradigma dll adalah para Intelektual.

            Intelegensia seperti yang dikatakan oleh Gella (1976) adalah semacam strata sosial atau kelompok sosial yang “…disatukan bukan semata oleh standar kehidupan dan pendapatan yang bersifat ekonomis, maupun oleh kepentingan-kepentingan profesi, melainkan terutama oleh kesamaan sikap-sikap tertentu, dan oleh penerimaan terhadap oleh kesamaan sikap-sikap tertentu, dan oleh penerimaan terhadap suatu warisan budaya yang lebih luas daripada sikap-sikap nasional”, jadi disini kita melihat adanya intensi akan kosmpolitanisme dan universalisme, sebuah sikap yang menerima akan pluralitas kebenaran dan kebijaksanaan yang sumbernya bisa dari manapun, tanpa harus terkurung pada identitas-identitas tertentu. Jika IPM ingin menjadi gerakan yang selalu berada dalam kondisi yang fresh, progressif dan dinamis, maka keterbukaan kritis IPM dalam hal wacana, informasi, budaya dan kerjasama menjadi persyaratan mutlak.

            Kalau kita melihat kasus kaum intelegensia di Polandia-yang merupakan salah satu negara kelahiran istilah intelegensia di samping Rusia-motivasi mereka ada dua, yaitu untuk menghapuskan kekaisaran para penindas dan juga untuk membangun kembali negara Polandia yang merdeka. Di samping intensi akan kosmopolitanisme dan universalisme, terdapat pula intensi akan pembebasan, dan untuk kasus kaum intelgensia Polandia , Gella juga menambahkan “anggota-anggota dari komunitas intelgensia, tanpa memperdulikan status pekerjaan dan ekonominya,dipersatukan oleh suatu panggilan bersama: mengabdi pada negerimu”. Ada nuansa atruisme yang sifatnya kolektif dalam pernyataan Gella yang terakhir dan ini barangkali mirip dengan karakter kedua dari gerakan jika kita merujuk pada definisi Giddens. Sehingga kita bisa sintesakan bahwa kaum intelgensia memiliki intense akan kosmopolitanisme-universalisme-pembebasan-altruisme progressif, atau jika kita peras keempat intense tersebut maka kita akan mendapat dua logika dasar pada intensi kaum intelegensia yaitu logic of freedom (dimana kosmopolitanisme-universalisme masuk dalam logika ini) dan logic of liberation atau logic of emantipation ( dimana pembebasan-altruisme progresif masuk dalam logika ini).

            Logic of freedom (logika kebebasan dan kemanusiaan) dan logic of emantipation (logika pembebasan) harus menjadi pula intensi gerakan IPM, tetapi diperlengkapi dengan Logic of Trancendention, dimana logika transendeni ini adalah logika yang menjadikan IPM sebagai  gerakan yang terus melampaui diri-nya, dan dalam proses pelampauan tiada henti tersebut-dan tentunya beresiko-Allah merupakan titik alpha dan titik omeganya, awal dan akhirnya. Dan kalau kita menyimak ide tersebut, barangkali memiliki kemiripan dengan gagasan Dr.Kuntowijoyo saat menginterpretasi Qs. Ali Imran ayat 110, di mana “..ta’muruuna bil ma’ruf..” diartikan sebagai humanisasi, “..tanhauna ‘anil munkar…” diartikan sebagai liberasi (pembebasan) dan “…tu’minuuna billaah..” diartikan sebagai transendensi, yang mana humanisasi-liberasi-transendensi merupakan misi profetik pada semua agama.

            Lalu terma intelektual, dalam sejarah terma ini lahir pada tahun 1896, saat seorang novelis popular yang terkenal yang bernama Emile Zole melakukan protes terhadap keputusan pengadilan yang sewenang-wenang terhadap Alfred Dreyfus, protes tersebut dikemukakan dalam sebuah surat terbuka yang dikenal dengan ‘manifeste des intellectuels’ (Manifesto para intelektual. Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul ‘Intelegensia Muslim dan Kuasa’ menyebutkan bahwa pada tahap-tahap awal kemunculannya, intelektual merujuk pada sekelompok orang yang misinya adalah membela sebuah nurani bersama atas persoalan politik-politik yang mendasar. Sebagaimana intelegensia sebagai kelompok sosial tertentu, maka intelektual adalah individu-individu yang memiliki intensi pembelaan dan protes demi kepentingan bersama (kolektif).

            Barangkali penting bagi kita untuk mengeksplorasi sedikit tentang pengertian intelektual, menurut Eyerman (1994) definisi intelektual dapat dilihat dari dua konteks, yang pertama dalam konteks person, dalam konteks ini intelektual diartikan sebagai “seseorang yang menjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus bermain” (Lasch,1965) atau “yang tak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya” (Coser, 1965). Dan konteks yang kedua adalah konteks intelektual dari segi peran dan fungsi sosialnya.

            Dalam konteks pertama, kita bisa melihat gagasan Weber (1967), yang menyatakan bahwa para intelektaul adalah wakil terkemua dari ranah ide, dan tidak selalu berpihak pada ide-ide mainstream walaupun hal itu mengancam kepentingan material-ekonomisnya, lebih mementingkan kepentingan idealismenya dibanding kepentingan praktis jangka pendek, bahkan memiliki komitmen untuk menyelamatkan dunia agar tidak menjadi penjara bagi kebebasan. Dan Senada dengan itu Julia Benda , dalam bukunya , ‘L TRahison des Clers’, menyebutkan bahwa para intelektual haruslah “mereka yang pada dasarnya aktivitasnya tidak untuk mencapai tujuan-tujuan praktis”

            Dalam konteks yang kedua, kita bisa melihat Antonio Gramsci (1971), di mana Gramsci membagi dua kelompok Intelektaul, yang pertama Intelektual Tradisonal, yaitu para pemikir, cendekiawan yang menjadi antek para penguasa, mengambil jarak dari ketertindasan dan pro status quo, sedangkan yang  kedua, disebut dengan Intelektual Organik, yaitu sekelompok orang yang menjadi artikulator ideologi bagi kelas yang tertindas, serta terlibat langsung dalam pembelaan kelas yang tertindas.

            IPM sebagai Gerakan seharusnya bisa menjadi kelompok intelegensia, subjek-subjek atau aktor-aktor pelajar yang terlibat di dalamnya adalah para intelektual. IPM adalah wadah para pelajar “yang tidak pernah puas dengan hal-hal sebagaimana adanya”, anti kemapanan, lebih mementingkan idealismenya dibanding kepentingan material jangka pendek serta para pelajar yang memiiki komitmen dan kepedulian sosial terhadap pihak-pihak yang termarginalkan khususnya dalam konteks pelajar.

IPM Sebagai “Gerakan Pelajar Berkemajuan”.

Terma “Berkemajuan” dalam “Gerakan Pelajar Berkemajuan” merupakan penanda bahwa IPM merupakan anak ideologis dari Muhammadiyah. IPM sebagai Organisasi Otonom Muhammadiyah, memiliki karakter keberislaman yang disebut dengan “Islam berkemajuan”, apakah Islam Berkemajuan itu ? barangkali ada baiknya kita mengutip penegasan dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua pada Muktamar Muhammadiyah ke 46 tahun 2010 yang menyatakan “ Islam berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia, Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Islam yang menggelorakan misi anti perang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di atas muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku, bangsa, ras, golongan dan kebudayaan umat manusia di muka bumi”.

Dan jika membaca pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, maka kita akan melihat aura “gugatan” di dalamnya, dan konsekuen dengan pembahasan sebelumnya tentang IPM sebagai “gerakan Pelajar”, Islam Berkemajuan adalah Islam yang hidup dan bergerak dengan tiga logika dasar yaitu logic of freedom , logic of emancipation dan logic of trancendention . Prof. Dr. Amin Abdullah dalam artikelnya yang berjudul “Reaktualisasi Islam yang Berkemajuan” (2011) mengatakan bahwa Islam yang Berkemjuan adalah “ Islam yang berada di tengah-tengah arus putaran Globalisasi dalam praxis, globalisasi dan prubahan social dalam praktik hidup sehari-hari, dan bukannya globalisasi dalam theory…”, kalau kita melihat definisi tersebut maka kita akan menemukan kesepadanan dengan pendapat Gella mengenai kaum intelegensia, bahwa kaum intelegensia adalah kelompok yang memiliki “……penerimaan terhadap suatu warisan budaya yang lebih luas daripada sikap-sikap nasional” atau yang sebut dengan istilah intensi akan kosmopolitanisme dan universalisme (kesemestaan).

Lalu siapakah pelajar yang berkemajuan itu ? Mengutip dan memodifikasi pendapat Abdullah Saeed dalam bukunya Islamic Thought , pelajar yang berkemajuan adalah para pelajar, kelompok intelgensia muslim yang : 1.Berpandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam Tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan kebutuhan masyarakat Muslim saat ini, khususnya kepentingan pelajar.2. Mendukung fresh Ijtihadi dalam menjawab permasalhan-permasalahan kontemporer.3. Tidak terjebak dalam dikotomi antara pemikiran Islam dan Pemikiran Barat.4. Berkeyakinan bahwa perubahan social, baik pada ranah intelektual, moral ,hokum, ekonomi atau teknologi, harus direfleksikan dalam hukum Islam.5. Tidak beragama secara taqlidiyah-mazhabiyah.6. mereka meletakkan titik tekan pemikirannya pada keadilan social, keadilan gender, HAM dan relasi yang harmonis antara Muslim dan Non Muslim.

Pelajar sebagai kategori Formal dan sebagai Etos

            Barangkali ada pihak yang mengajukan keberatan, bahwa gagasan di atas tentang “Gerakan Pelajar Berkemajuan” akan menjadi gagasan yang mubazzir atau overloading bagi basis gerakan IPM yang notabene masih siswa-siswi SMP atau SMU, walaupun ada yang memiliki tingkat pendidikan Sekolah Tinggi hanya berada dalam tataran elit pimpinan Daerah, wilayah dan Pusat. Tentang keberatan ini saya ingin menyampaikan beberapa hal .

Pertama, Selama ini kita sering melakukan domestifikasi terhadap pelajar (khusunya siswa-siswi SMP dan SMU), dengan melabeli mereka sebagai “makhlukh yang cukup manja” yang tugasnya hanya dua yaitu belajar di ruang kelas dan mengerjakan pekerjaan rumah, tanpa menafikan sama sekali potensi mereka untuk terlibat langsung dalm problem-problem sosial walaupun itu dalam konteks ke pelajaran.

Kedua, Domestifikasi terhadap pelajar akan mengakibatkan defisit kepemimpinan sosial-politik di negeri kita. Menjadikan pelajar kita hanya sebagai buruh akademik disekolah, akan hanya menyiapkan mereka untuk menjadi teknokrat alias tukang , yang hanya menjunjung tinggi rasionalitas instrumental- yaitu rasionalitas yang hanya fokus mencari sarana paling efisien mencapai tujuannya – dan seringkali gagap dalam membaca, mengolah serta menyikapi (terutama dalam hal mengikut sertakan pertimbangan nilai dan moral) informasi dan perkembangan sosial-budaya-politik disekitarnya.

Ketiga, Persoalan gagasan, ide, pemikiran atau ideologi filosofis yang canggih tidak serta merta tidak bisa dipahami oleh para siaswa-siswi SMU. Kita tahu, bahwa Pancasila sebenarnya produks ideologis-historis yang rumit , tetapi teap bisa di komunikasikan kepada para siswa-siswi SMP dan SMU dengan cara yang tepat begitu pula dengan mata pelajaran lain semisal Biologi, Kimia dan Fisika. Sama halnya dengan gagasan-gagasan besar yang diproduksi di IPM seperti “Gerakan Kritis Transformatif”, “Gerakan Pelajar Kreatif’ ataupun “Gerakan Pelajar Berkemajuan” akan bisa dipahami oleh basis gerakan IPM dengan menggunakan metode yang tepat. Tetapi yang harus menjadi pertimbangan penting dalam proses disseminasi gagasan oleh IPM adalah, jangan sampai terjebak dalam cara-cara yang mengobjektivikasi pelajar.

Keempat, Pelajar tidak boleh kita pahami hanya sebagai kategori formal, tetapi juga harus dimaknai sebagai etos. “Api” etos kepelajaran harus terus “menyala” dan di reaktualisasikan, IPM hanyalah pintu gerbang atau awal untuk menyemaikan benih-benih etos ke-pelajaran yang berkemajuan, tetapi yang perlu diingat etos ke-pelajaran tersebut hanya relevan jika dirawat, diperkaya, didialogkan secara terus menerus dengan realitas yang ada.

*) Alumni IRM/IPM, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PWM Sulsel

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

[metaslider id="39673"]