Oleh: Ermansyah R. Hindi*)
*) ASN Bappeda/Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto
KHITTAH.CO– Pemikiran klasik nampaknya masih menyembunyikan elemen ironi dan humor apalagi mulai dari konsep yang memungkinkan filsafat politik dibuat sedemikian rupa. Filsafat menyediakan ruang bagi kita untuk memainkan pikiran bebas pada batas-batas tertinggi dan terendah dari pemikiran. Bagi orang-orang yang mulai berpikir tentang ironi dari filsuf besar yang mengajarkan kebenaran dan kebajikan, tidak jarang mereka diasingkan bahkan dibunuh oleh kezaliman penguasa.
Pengetahuan dan kesalehan dari kaum terpelajar diantara generasi muda milenial tidak perlu meratapi kematian Socrates karena gambaran perjalanan hidupnya begitu singkat. Dibandingkan hukum yang tidak memihak padanya menjadi takdir tidak mampu mengutuk pada siapapun atas nama manusia. Kita wajar bertanya tentang hukuman apa yang setimpal dikenakan pada orang-orang yang merenggut hidup hingga nyawanya melayang hanya karena filsuf atau pemkir besar lainnya membela kebenaran dengan segenap jiwa dan raganya. Setidak-tidaknya dalam pikiran orang-orang yang melihat masih ada secerca harapan atau hari esok menyatakan, bahwa biarlah pihak yang mencelakai diri seseorang yang mengutuk dirinya sendiri dalam kehidupan manusia rasional agar dia lebih berdaulat. Sesungguhnya tidak ada lagi urusan besar dari ironi kehidupan yang bergerak mencari jejak kebenaran dan kebajikan kembali menjadi prinsip tertinggi sebagai prinsip keniscayaan yang mendasari proses antara keadaan dan kenyataan, peristiwa dan kondisi yang diharapkan. Hal yang sama, ada pertimbangan orang-orang yang melihat masa depan, dari keadaan dimana manusia bertahan hidup melalui hiburan sesuai kelucuan (humor). Ironi sejenis kelucuan tersendiri. Keadaan menertawakan diri kita. Kelucuan mengatur irama konflik pikiran dengan nafsu, nurani dan godaan yang mengikuti hukum secara relatif untuk membujuk kita dan hingga melupakan keadaan kekacauan pikiran kita. Sebaliknya, gangguan pada kelucuan justeru akan membawa kita dalam keadaan yang tidak diharapkan, energi patah semangat, bergeser dan hancurnya mencipta. Di atas semua hal itu, kematian Socrates bukan berarti kematian manusia atau kelenyapan makna. Ironi hanyalah konsekuensi dari apa yang kita pikirkan, jika betul-betul kita berpikir dan konsekuensi dari keadaan yang membuat harapan lenyap di depan kita. Boleh kita mengatakan mengapa itu terjadi. Apa yang dapat kita sesalkan pada diri Descartes membuat geometri kelucuan, membuat kebenaran takluk padanya hanya melalui suatu premis cogito, sum atas ironi kehidupan. ‘Wujud tertinggi’, akhirnya tidak dibuat kelucuan dari silogisme Kant. Ironi dan kelucuan bukan hanya bentuk esensial melalui tatanan kehidupan yang ditandai oleh benda-benda, air mata dan tawa. Tetapi juga, ironi dan kelucuan adalah relasi esensial terhadap hukum logis yang mereka akui sebagai fungsi dan penandaannya. Sehingga, ironi merupakan cara untuk keluar dari proses pemikiran dengan jalan mana dibuat berdiri sendiri melebihi kebenaran yang ditertawakan. Kelucuan adalah usaha untuk tidak menyetujui hal-hal dipikirkan yang di luar ironi dan hukum logis di balik kehidupan. Sejauh yang kita ingat, ironi berserak-serakan di bumi.
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa dalam pemikiran filosofis yang berhubungan dengan pengetahuan membagi realitas dalam (i) realitas obyektif; (ii) realitas subyektif dan (iii) realitas inter-subyektif. Seluruh hal yang dapat diketahui melalui pikiran atau nalar dan indera di sebut realitas obyektif. Persepsi inderawi menyediakan syarat atas apa yang dapat dilihat, diraba, didengar, dan dirasakan oleh setiap orang diklasifikasi dalam realitas obyektif. Karena ada alasan dapat dinalar atau dipikir dan dirasakan, realitas obyektif dapat juga diukur dan dihitung sejalan dengan pemikiran ilmiah yang jelas dan pasti secara umum. Sebagai akibat dari pengukuran dan perhitungan melalui realitas obyektif yang pada akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan. Seorang yang mampu mengukur dan menghitung boleh dikatakan ilmuwan. Tetapi, ilmuwan yang hanya berkutat pada disiplin ilmunya yang abai pada jeritan penderitaan banyak orang, tanpa sensivitas pada kehidupan manusia berkalang tanah yang ada di sekitarnya dan hanya hidup di atas menara tidak lebih dari ironi. Meskipun kita memiliki alasan terhadap eksistensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat kehidupan manusia lebih nyaman, efektif dan cepat tetap ada tergelincir dalam ironi. Dampak samping ilmu pengetahuan yang tidak mampu membebaskan manusia dari keletihan, kegelisahan dan alienasi kerja yang serba mesin. Manusia telah terautomatisasi dalam kehidupan (diantaranya tokoh mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse telah menganalisis dalam One Dimensional Man). Sesuatu yang tidak tergoyahkan akibat kelahiran ironi dan kelucuan ternyata datang dari obyek yang hidup melalui mesin, yaitu bio-mesin. Suatu mesin yang merenggut jiwa, pikiran dan kehendak manusia melalui serba teknologi kehidupan.
Logika matematika dalam ilmu pengetahuan meletakkan setiap pengukuran dan perhitungan sesuatu yang disepakati melalui satuan-satuan meter, gram, kubik, ohm, dan sebagainya. Tetapi, jenis logika ini tidak mampu mengukur kedalaman suara batin seseorang dan tidak mampu untuk menghitung kenikmatan non fisik, kasih sayang ibu terhadap anak-anaknya dan luapan perasaan korban bencana alam yang dipertajam dengan simulasi malapetaka.
Kemiripan ironi antara kata-kata dengan ucapan dan bahasa tulisan saling bertentangan satu sama lainnya terjadi juga dalam pengetahuan atas realitas obyektif setelah pengukuran dan perhitungan dijadikan acuan untuk memproyeksi, memprediksi dan memanipulasi bukti-bukti dan hasil penemuan ilmiah demi kemakmuran material maupun keuntungan manusia. Misalnya, seorang ahli memprediksi cuaca, memprediksi aliran listrik yang mengalir dalam komputer atau internet yang dihubungan dengan mesin-mesin kecerdasan hingga tulisan pun dapat diselesaikan melalui perantaraannya. Tentu saja, masih banyak kegunaan teknologi bagi kehidupan manusia. Semuanya, membuat kita tidak merasa puas, bahkan meningkatkan keadaan pikiran yang lebih bingung dan tidak nyaman dalam mengaruhi kehidupan di bawah dominasi ilmu pengetahuan.
Lebih singkat diuraikan di sini mengenai pengetahuan yang terlibat dalam realitas subyektif yang hanya dipikirkan dan dialami oleh seseorang atau segelintir orang saja. Mengenai realitas subyektif sesungguhnya lebih obyektif dari sudut pandang masing-masing orang. Sesuatu yang subyektif melunturkan konsensus karena kesepakatan masing-masing menurut orang-orang. Ironi dan kelucuan berlangsung dalam realitas subyektif. Katakanlah, jika seseorang yang berbicara tentang rokok itu berbahaya bagi kesehatan, sementara yang berbicara seorang perokok tulen. Pernyataan yang aneh dari orang tersebut terjatuh dalam pertunjukan absurditas melalui realitas subyektif. Hukum pelarangan rokok tidak lagi disubversi oleh pergerakan naik dari ironi, tetapi pergerakan menurun dari kelucuan tampak mengurangi hukum sebagai konsekuensi darinya. Si X mengatakan, bahwa kecantikan itu bertubuh gemuk. Tetapi, menurut si Y, kecantikan itu yang bertubuh sintal. Peristiwa kelucuan muncul di saat diadakan perlombaan lari dari masing-masing yang merepsentasikan kecantikan melalui tubuh mereka. Memang betul, tidak ada patokan akan kebenaran dari realitas subyektif, melainkan sesuatu tidak terpikir, terasa dan teralami seseorang dianggap kebenaran melalui hasrat, kesenangan dan fantasi sekarang memiliki logika tersendiri. Satu hal yang patut direnungkan, bahwa semua hal yang dapat dirasa, dialami, dihasrati, difantasi dan dihasrati setelah mengalami proses materialisasi akan terjatuh dalam ilusi atau kehampaan.
Untuk pengetahuan atas realitas inter-subyektif menerima ruang kepercayaan, keyakinan dan imajinasi. Tampilan luar dari obyek dan subyek memperantarai kehadiran realitas inter-subyektif melalui fiksi yang berkembang menjadi narasi kecial di tengah-tengah masyarakat. Kebenaran tidak akan muncul darinya tanpa menghubungkan dirinya dengan kondisi obyektif yang dirasa, dialami dan dipikirkan bersama orang-orang yang menghasrati, menikmati dan memfantasi atas sesuatu. Orang-orang di pedalaman hidup dalam suasana nyaman sebagai bagian dari imajinasi kolektif. Tetapi, kapan mereka menempuh perjalanan jarak jauh akan mengalami kesulitan dalam melakukan interaksi dengan dunia luar ditandai keterlambatan tiba di tempat tujuan, tidak adanya prediksi cuaca sebelumnya, sehingga dapat diukur kecepatan seseorang menghadiri kegiatan. Hal ini merupakan pergerakan ironi tanpa absurditas yang menyamarkannya. Seseorang yang keluar dari realitas inter-subyektif tidak mendapatkan apa-apa, kecuali kekaguman sekaligus absurditas, dimana ironi dan kelucuan memancing dirinya untuk memasuki pertunjukan lebih usil dan geli.
Demikian halnya, ilmu pengetahuan menempatkan dirinya pada sesuatu sia-sia karena tidak membebaskan manusia dari belenggu ketidakhadiran keadaan yang semestinya terjadi melalui visi masa depan dunia. Kondisi sekarang berlawanan dengan ironi dan kelucuan itu sendiri akibat meluapnya permasalahan yang tidak terpecahkan persis meluapnya obyek tanpa batas. Maka ada cara lain menuju kelucuan, yaitu menolak seluruh tawaran pemecahan atas permasalahan. Urutan indikator pembangunan tidak lebih proses penyelarasan dari proyeksi, yang ironisnya menerima begitu saja setiap rumusan bersifat logis untuk menghindari bertambahnya kekacauan pikiran.
Ironi dan kelucuan berakar dari pemikiran klasik yang dibawa oleh filsuf kuno. Di saat satu pergerakan lelucon ke lelucon lainnya memenuhi ruang penuh sesak, dimana kita tidak mampu berpikir, kecuali berbalik menjadi bahan tertawaan dalam pemikiran modern. Mungkin, sebelum dan setelah filsuf yang kita kenal sekarang tidak bermimpi ingin mati secara alamiah dan mulus, tetapi mati sambil tertawa ngakak penuh bahagia di bawah siksaan fisik dan batin. Kebenaran dan kebajikan dengan hukum pada batas tertinggi dan terendah menyetujui seluruh pengetahuan yang kita terima dari intitusi ilmiah, baik di depan kelas atau ruang kuliah kita. Sudah tentu, akan berbeda jika dibandingkan anak-anak muda dengan apa-apa yang dialami oleh filsuf dan pemikir besar begitu pahit dan getir dirasakannya.
Mari kita melihat ironi yang lain begitu dekat dengan kehidupan dan pemikiran. Lebih dari penandaan pada teks dari seseorang untuk mengatasi lelucon konyol dibalik pengetahuan dengan menyertai kamus, perpustakaan atau buku elektronik. Kita tidak berada dalam semesterius suatu fenomena lelucon yang mengantar kematian Socrates, filsuf atau pemikir lainnya. Begitu adanya, dalam komik direbahkan dengan komputer untuk sementara tidak berdiam diri sambil termenung dan mengatakan pada saat tertentu. “Anda mengetahui sesuatu apa yang ada dalam pikiran Anda sendiri”. “Anda mengetahui lebih banyak daripada filsuf yang datang setelah Anda”. “Anda tidak mengetahui, bahwa lampu kamar Anda lagi tidak menyala”. Keadaan tersebut memungkinkan kita mengambil komik, lalu disandingkan dengan menonton kisah filsuf modern dalam sinema. Obyek yang instan tidak menuntun pengetahuan karena membuat kita malas untuk memikirkan sesuatu yang semestinya tidak perlu diketahui melalui pemikiran filosofis. Disitulah pengetahuan subyek tidak dapat bermain dengan pikiran bebas terhadap obyek. Dalam gabungan khusus, dari ironi dan kelucuan, kita akan melihat perbedaan antara mengetahui dan pengetahuan, pura-pura tidak tahu dan mengetahui. Semuanya adalah makhluk alamiah yang tidak dapat mengontrol dan membaca dirinya sendiri atau mendengarkan suara dari pikirannya mengenai subyek dan obyek di sekelilingnya. Kita tidak dapat memastikan obyek pengetahuan sebagai sesuatu yang otonom dalam memberikan kepastian pada manusia. Setiap orang akan menduga, bahwa Anda dapat saja menjadi subyek dan obyek berubah menjadi Anda, yang bermain dengan dunia berganti menjadi subyek dan obyek bagi dirinya sendiri. Dari sini, pemikiran menikung dan memutar dari arah dan jalur mana pengetahuan digali dan dimengerti oleh seseorang. Kita menanti untuk mendengarkan bagaimana seseorang menjelaskan tentang obyek atau keadaan yang ironis berbeda dengan apa yang telah ditulis dan didengarkan oleh orang lain. Suatu pemikiran lebih penting untuk tidak perlu dipaksa, selanjutnya menerima energi yang telah letih lebih dahulu sebelum membuat dahi berkerut sebagai pelepasan, tanpa beban kemungkinan yang terjadi dari keadaan semestinya. Apa yang kita tidak ketahui bukan karena pengetahuan, melainkan kita tidak mampu berpikir tentang peristiwa yang remeh-temeh. Malahan, kadangkala kelahiran ironi dan kelucuan akan menjadi pemikiran yang khas. Tidak jauh beda pengetahuan, ironi dan kelucuan mengingatkan kita suatu abjad atau kata-kata yang tidak sesuai dengan pembicaraan dan tinta yang ada di atas kertas.
Andaikata obyek pengetahuan berupa pengetahuan disipliner ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dan ilmu eksak begitu menggairahkan melebihi obyek yang bersifat pasif dengan maksud untuk menggoda kita. Tetapi, godaan tidak membuat kita untuk mengingatkan pada keadaan ironis dan pengetahuan yang membantu kita mencapai kesamaan akan kenyataan dengan apa yang sekedar kata-kata yang berada di atas kertas, yaitu melalui ironi dan kelucuaan. Kita tidak mungkin akan mencapai pengetahuan begitu saja tanpa mengenal dengan baik tentang kehidupan yang ditopong oleh silih bergantinya pergerakan antara ironi dan kelucuan. Syarat pertama untuk mengetahui adalah melupakan pertanyaan seputar definisi pengetahuan. Terdapat kemungkinan dari kelucuan akan membantu anak-anak mengingatkannya pada orang tuanya yang sering mengisahkan sosok yang berpetualang dengan peristiwa atau keadaan ironis. Orang-orang yang dikisahkan menemui hasrat subyek yang ironis tidak lain adalah ayahnya sendiri. Anak-anak mungkin lebih berhasrat untuk mengetahui astronomi, matematika, sejarah, biologi, dan pendidikan karakter melalui alur dan bentuk kelucuan yang mengalir dalam ingatan mereka. Mengenal obyek dan konsep cukup penting bagi anak-anak untuk meningkatkan pengetahuan bagaimana bumi, taman, kota, desa, pabrik, rumah hunian, dan obyek tampilan luar lainnya tetap hijau tanpa bahaya akan degradasi lingkungan. Rumah kita adalah rumah hijau demi kelangsungan generasi muda dalam struktur bahasa yang terbebas dari ketidakhadiran sampah menumpuk atau bentuk pencemaran lainnya. “Anda memiliki pengetahuan tentang betapa pentingya cahaya matahari tatkala gumpalan kabut asap menyelimuti tempat tinggal kita”. Dalam buku menggambarkan tampilan lingkungan hijau, tetapi dari tampilan terluar tetap tidak tertuntaskan dan terhayati. Betapa tampilan luar merusak makna dari kata-kata bertentangan dengan apa yang terucap dan apa yang tertuliskan. Seseorang akan mengatakan ketidaksesuaian antara tampilan luar dan sesuatu yang disembunyikan akibat ia hanya sekedar tetek-bengek kelucuan.
Tatkala seseorang berusaha untuk mengetahui pernyataan atau obyek pembicaraan dalam kata-kata yang mengandung kelucuan, tampilan luar dari obyek terlibat bersama keadaan yang perlu dibangun untuk memenuhi kenyataan semestinya terjadi. Kita berusaha untuk mengetahui sesuatu dengan cara memutar-balikkan keadaan agar bertentangan dengan kenyataan, membuat lebih berbeda dengan tampilan luar melalui obyek dan subyek pengetahuan. Dalam pengetahuan disipliner, saat Anda berusaha untuk mengetahui obyek-obyek aneh dan menantang tampilan luar atau mengaburkan pengetahuan tentang kehidupan. Maka saat itulah bagaimana bertahan hidup, ilmu pengetahuan dipaksa mengenal tahapan yang mendebarkan dengan mengambil peristiwa daur ulang obyek melalui model simulasi. Bagaimana seseorang leluasa berdusta di balik operasi plastik. Mereka yang senang dengan permainan menantang melalui simulasi permainan. “Anda yang menjadi subyek untuk membuat kelinci percobaan sekaligus obyek pengetahuan melalui percobaan yang sama”. Seseorang tidak merasakan mencubit kulit sendiri di saat mencubit kulit orang lain karena pengetahuan tentang obyek yang sama belum tuntas maknanya, kecuali obyek yang ironis. Kulit murni dipindahkan dari kulit yang berada di bagian pahanya melalui operasi plastik. Jantung seseorang yang meninggal dijadikan amal kebajikan bagi kelangsungan hidup orang lain melalui transplantasi jantung dijadikan obyek pengetahuan dalam dunia kedokteran. Ironi adalah keterbalikan di balik dunia tiruan menjadi lebih nyata melebihi apa yang terpikir dan teringatkan dari seluruh kemanusiaan yang nyaris menjadi mayat.
Apalagi yang lebih menggairahkan dibandingkan hanya dengan tampilan luar dari obyek tanpa batas? Orang akan mengetahui, bahwa kelenyapan obyek dan subyek tidak membuat ironi dan kelucuan ikut memudar. Obyek yang memudar sejauh pengetahuan melalui informasi tanpa kelucuan mengiringi kenyataan yang ironis. Mustahil muncul pengetahuan sebelum ada ironi dan kelucuan yang menguatkan eksistensinya.
Tahapan akhir dari pergerakan tampilan luar melalui simulasi hingga kita dapat mengatakan lebih lucu dari kata-kata yang menyembunyikan apa sesungguhnya menyembunyikan keadaan, ucapan atau teks tertulis. Pada saat seseorang memuji dan membandingkan dirinya dengan teman sejawatnya karena kecantikannya, di saat itulah Anda akan lenyap dan yang lainnya lebih nyata. Orang-orang akan membawa ironi keluar dari dunia ini tersimulasi hingga rampung. Anda begitu cerdas memilih gaya penampilan. Anda terlihat sepuluh tahun lebih tua dari Anda. Semuanya ini datang dari kelenyapan maknanya sendiri setelah melahirkan kenyataan suatu ironi subyek yang tidak berselang-seling dengan obyek. Ironi subyek yang berhubungan dengan proses kedekatan obyek terperangkap dalam dirinya sendiri. Apakah dampak dari semuanya ini akan terlihat dalam penampakan keadaan sesungguhnya melalui keadilan hukum yang pincang, lalu kita beralih pada pada angka-angka kemiskinan di negeri kaya? Terhadap absurditas hukum tertuju pada suara dari titik pergerakan naik dari ironi dan pergerakan menurun dari kelucuan menunjukkan kemarin ada seseorang yang baru merahi penghargaan Revolusi Mental Award sebagai bentuk apresiasi dari pemerintah padanya tiba-tiba ditetapkan menjadi tersangka oleh institusi penegak hukum karena kasus korupsi yang merugikan negara (lalu, siapa yang ingin bertepuk tangan?). Apakah dia telah terlanjur tidak mengetahui apa-apa (ironi berasal dari kata Yunani “eironeia”, yang berarti ‘pura-pura tidak mengetahui’)? Dalam kenyataannya, pergerakan ironi melanda seseorang yang tekun beribadah, tetapi memiliki kegemaran untuk korupsi. Boleh saja kita sedikit menggunakan suatu metafora ironi, seperti pemerintah yang lalu telah sukses menaikkan harga-harga bahan pokok; penampilannya sangat memikat, semua penonton mengantuk mendengarnya; kota besar adalah kota yang sangat aman. Setiap hari selalu ada kasus pencurian; dan seterusnya. Ada pula nampak ironi, tetapi betul-betul suatu kelucuan, persis subyek berubah menjadi obyek atau sebaliknya. Masih dalam absurditas hukum dalam pembicaraan yang cukup hangat. “Haris pun mengaku khawatir kalau pengungkapan pelaku ini justru tidak membuka kasus Novel Baswedan. Bahkan ia menduga mereka yang ditangkap bukan pelaku sebenarnya”. ”Ini masalah sebenarnya enggak diungkap, dicariin pemain pengganti. Coba dijelaskan, diurai bagaimana penjelasannya, biar motifnya (terungkap), apa bales dendam,” ujar dia. Dari sini, titik pergerakan ironi jalin menjalin dengan pergerakan kelucuan. Ironi atas keadilan hukum menghadapi orang yang berdusta dalam memainkan peran ganda, dari “pemain pengganti”. Mungkin, aparatur hukum atau siapalah yang “pura-pura tidak mengetahui” pelaku sungguhan. Dalam kenyataannya, ironi bergerak sesuai atas pergerakan dusta, dalam kepura-puraan dipolesi sedemikian rupa. Lain halnya, peristiwa politik menghabiskan bermilyar-milyar uang, tetapi dipenuhi sandiwara sambil tertawa. Entah tertawa karena menganngap lucu lawan politiknya ataukah dia menertawakan dirinya sendiri? Suatu hal yang dianggap biasa-biasa saja, tatkala berkumpul dalam kesempatan setelah berakhir peristiwa politik yang meneganggkan diiringi dengan canda tawa. Sebentar, mereka sebagai antar-pemain mencoba mengutak-atik angka kemiskinan dengan membandingkan modal keuntungannya yang akan dirahi besok.
Berlebihan jika pergerakan kelucuan ditampilkan paradoks Epicurean dalam pernyataan ada penemuan obat yang sakit jadi sehat, tetapi ada yang membuat peluru kimia terkutuk. Uang satu mengobati, yang lain menyakiti bahkan membinasakan. Pergerakan kelucuan muncul di tengah kehingar-bingaran seperti dalam bait lagu: “Hewan mulai maju, kera menyandang bedil, manusia senang bugil, sungguh asyik dunia dalam berita” (Lagu Nasida Ria, Dunia Dalam Berita. Cipt.: Drs. H. Abu Ali Haidar). Teror dan kekacau-balauan politik merupakan selingan hiburan di saat tidak bergantung pada tontonan komedi di atas panggung resmi. Dari mana kita mengelak, dusta dari kelucuan idak melulu bertentangan dengan ironi, tetapi keduanya dapat berfungsi secara automatis. Pada saat kita mengingat konflik berdarah di ujung negeri, di tempat lain dibuat acara lucu-lucuan agar orang-orang ikut tertawa terbahak-bahak yang membahas dan diisi oleh aktor politik di beberapa program tayangan televisi. Alur pergerakan eironeia, “orang pura-pura tidak mengetahui” tidak terperangkap dalam kelucuan. Keduanya keluar dari pengetahuan yang khas sebagai jalur pergerakannya, karena pengetahuan itu adalah dirinya sendiri.