Sains Islam, Sebagai Sebuah Reintegrasi Keilmuan
Dalam perkembangannya isu integralisme Islam anatar sains dan agama, semakin meruncing dengan persengketaan baru. Bukan lagi eksis pada perdebatan integrasi agama dan sains tetapi bagaimana menemukan kekhasan Islam dalam berbagai varian-varian sains Islam. Berbagai pemikir muslim bermunculan dengan membawa warna tersendiri dalam frame sains Islamnya.
Satu kelompok menegaskan usaha membangun sains khas dengan objek dan metode yang berbeda dengn sains barat. Tapi itu ditolak dengan argumen dasar bahwa sains itu netral, bebas nilai (value free) dan universal, seperti dianut oleh para pemikir yang tergolong instrumentalis.
Para pemikir yang setuju terhadap sains Islam sekalipun tidak sepenuhnya seragam tentang konsep sains Islam itu sendiri ada yang menyajikan sains Islam dalam bentuk kesesuaian dengan Al Qur’an dan temuan sains yang disebut kelompok Bucailis, ada juga yang tergolong fundamentalis dengan menolak sains Barat sepenuhnya dan menghadirkan sains Islam yang sepenuhnya berbeda, ada juga sementara pemikir yang tidak sepenuhnya menolak sains Barat dengan tetap mengakui bagian-bagian tertentu yang sejalan dengan sains Islam, mereka ini disebut penganut science in Islamic perspective, salah seorang pemikir terkemuka yang tergolong dalam kategori terakhir ini adalah Seyyed Hossein Nasr.
Menurut penulis, integrasi yang dilakukan selama ini adalah kebanyakan menggunakan metode Bucailisme, yaitu sesegera mungkin mencarikan justifikasi ayat dari setiap teori-teori yang baru muncul. Ziauddin Sardar, dikutip oleh Ahmad Zainul Hamdi, bahwa metode Bucailisme dalam mencapai integrasi itu sangat membahayakan, membuktikan kebenaran Al Qur’an dengan capaian ilmu pengetahuan sangat berbahaya karena begitu pengetahuan tersebut ditumbangkan oleh teori baru maka Al Qur’an pun menjadi ambruk juga.
Kalau didalam salah satu ayat Al Qur’an ditemukan istilah dharrah yang selama ini dijadikan pembenar atas teori atom, pertanyaannya adalah apakah itu bersifat justifikatif ataukah inspiratif, jika faktanya adalah bahwa Niels Bohr menemukan atom tidak terinspirasi oleh ayat Al Qur’an. Jika faktanya adalah justifikatif, maka gugurlah Al Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan, kalaupun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun melalui proses riset ilmiah atas fakta empiris, lalu apa makna pernyataan bahwa Al Qur’an merupakan sumber pengetahuan?
Bagi penulis, proyek integrasi keilmuan dengan corak Bucailisme seperti itu mesti di dekonstruksi dan melakukan reintegrasi kembali keilmuan. Yang harus dimatangkan disini adalah bahwa pandangan dunia Islam harus dipulihkan dengan kembali kepada tradisionalisme Islam, setelah terlampau jauh ke pinggiran periferi eksistensinya akibat pengaruh modernisme.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, integralistis keilmuan di abad pertengahan Islam, dikarenakan para filsuf dan ilmuwan Muslim menjadikan tauhid sebagai konsep dasar epistemologinya, yang melahirkan motivasi sangat kuat bagi para ilmuwan muslim untuk melakukan berbagai macam observasi, penelitian, dan pengembangan keilmuan dengan tanpa harus merasa takut akan berbagai macam rintangan, karena mereka yakin bahwa alam semesta adalah tanda (sign) atas keberadaan dan kebesaran Allah, sehingga proses pencarian ilmupun dapat diniatkan sebagai proses penyingkapan jejak-jejak Tuhan (vestigo dei) dalam alam semesta.
Dalam epistemologi Islam, dalam konteks keilmuan, bahwa baik objek, metode, serta sumber ilmu pengetahuan itu adalah satu dan holistik serta senantiasa berhierarki. Objek ilmu yang diakui oleh sains Barat modern adalah hanya yang mampu dinderai saja, selebihnya tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pengetahuan yang valid. Begitu juga ketika berbicara mengenai metode ilmiah, Barat modern hanya akan mengakui validitas pengetahuan yang dapat diobservasi dan dieksperimentasi. Begitupun ketika berbicara mengenai sumber pengetahuan maka yang dianggap valid adalah sesuatu yang empiris, yang bersentuhan langsung dengan peran indera.
Berbeda dengan Islam yang memiliki corak epistemologis sendiri, yang holistik. Alam juga merupakan sumber pengetahuan dalam epistemologi Islam, alam sebagai objek, eksperimentasi dan observasi sebagai metode, serta alam sebagai sumber pengetahuan itu sendiri juga diakui oleh Islam sebagai sebuah disiplin ilmu yang sah; fisika, geologi, biologi, geofisika, dan lainnya.
Selain dari itu yang ditolak oleh Barat modern yaitu rasio dan hati sebagai sumber pengetahuan, justru dalam pandangan Islam rasio dan hati merupakan instrumen pengetahuan yang lebih tinggi daripada realitas inderawi, rasio merupakan sumber sekaligus intrumen pengetahuan yang menghasilkan bidang keilmuan seperti matematika dan logika. Adapun hati (intuisi) seringkali ditolak oleh pemikir Barat modern sebagai alat maupun sumber pengetahuan, dalam Islam hati (intuisi) merupakan instrumen paling sublim dan paling dalam pada diri manusia untuk menyingkap realitas metafisik.
Jadi, kita bisa merumuskan instrumen pengetahuan ke dalam tiga bagian. Pertama, adalah indera dengan objek kajiannya adalah alam materi. Kedua, berbagai argumen logika, argumen yang rasional atau burhan (demonstratif), instrumen ini hanya bisa dipergunakan hanya apabila kita mengakuinya sebagai sumber pengetahuan, kalau Barat modern menolaknya maka logika dan silogisme pun harus ditolak karena mereka hanya menyandarkan sumber ilmu dari alam materi saja. Ketiga, hati (intuisi), instrumen ini bekerja ketika kita melakukan penyucian hati (tazkiyah an nafs) untuk menyingkap realitas metafisik.