Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah (Penulis, Direktur Eksekutif @salajapustaka Institute)*
Rasul SAW. adalah satu-satunya ciptaan yang mungkin sampai pada level tertinggi kesempurnaan yang mungkin dicapai oleh ciptaan. Dengan kata lain, level tertinggi kesempurnaan yang mungkin bagi ciptaan, telah dan hanya dicapai oleh Rasul SAW”.
Begitulah ujaran dan kesimpulan yang dengan susah payah dipikir, ditimbang, dan dijadikan pandangan dunia (worldview) sebagian besar pemikir dan sarjana Muslim serta apalagi jika preposisi tersebut di atas telah disering-perdengarkan melalui tulisan oleh para saudara kita yang dari luar Islam (para Orientalis, dan Komentator Islam). Sebuah proposisi yang bukan telah dianggap sebagai postulat, namun telah menjadi aksioma (kebenaran-yang akhirnya menjadi tertutup) bagi para pembelajar dan Muslim pada umumnya.
Padahal, dalam kehidupan dan pemahaman tasawuf oleh para Sufi sepenuh pikiran dan hati disaksikan (terutama berdasarkan pengetahuan hudhuri) bahwa Rasul itu bukan satu-satunya saja yang mampu bertemu Tuhan. Kontras dengan penjelasan Fuqaha (ahli Fiqih) dan Filsuf.
Kami sedang tidak mengkritik para Orientalis dan komentator Islam saja. Kami sedang mengkritik dan juga menjelaskan kekeliruan para Fuqaha dan Filsuf yang selama ini kita baca, yang mengafirmasi dalam pendapat mereka bahwa Rasul SAW. adalah adalah satu-satunya ciptaan yang mungkin sampai pada level tertinggi kesempurnaan yang mungkin dicapai oleh ciptaan. Telah dan hanya dicapai oleh Rasul SAW.
Kekeliruan yang ingin dibedah oleh tulisan ini bukan pada menegasi kesempurnaan tertinggi tiap para Rasul yang Allah SWT. agungkan akhlak, perjuangan, dan kedudukannya sejak di sini di dunia fisik hingga kembali menuju dunia metafisik. Sebab, Rasul atau Nabi hanya merupakan nama jabatan secara periodik berubah orang (medium) sedangkan di dalam diri Rasul itu tidak pernah berubah Zat yang bersemayam di dalamnya. Rasul sebagai jabatan itu yang disematkan dan dipilih secara prerogatif oleh Tuhan kepada manusia-dengan tidak pernah mengikuti batasan dan pembelahan tertentu oleh manusia-yang akan bertugas sebagai pembawa Risalah-Nya.
Tulisan ini namun justru mengkritik ke-umum-an diksi kalimat-kalimat yang menjadi aksioma pada bagian paragraf paling awal tulisan ini. Diksi yang dimaksud sehingga telah mengafirmasi kepada hal-hal khusus yang dilingkupi oleh ke-umum-an makna dari kesimpulan para Fuqaha dan Filsuf tersebut. Tertulis “level tertinggi kesempurnaan yang mungkin bagi ciptaan, telah dan hanya dicapai oleh Rasul SAW”. Inilah objek titik sentral kritik mengapa tulisan ini hadir.
Level tertinggi kesempurnaan adalah bertemunya seorang Insan kepada Pencipta-Nya. Karena hanya mereka yang sempurna saja yang dapat bertemu dengan yang Maha Sempurna, hanya sinar matahari yang dapat kembali dan mampu bertemu dengan Matahari sebagai sumber sinar.
Karena akses menemui Tuhan bukan hanya dimiliki oleh Rasul, namun juga dimiliki oleh tiap ciptaan, termasuk tiap kita sebagai manusia; yaitu entitas yang diakui sendiri oleh Tuhan yang Maha Sempurna. Semua tujuan kita diciptakan agar mencapai dan dapat mengenal-Nya, mendekati-Nya, akhirnya kita mampu bertemu-Nya. Sehingga dalam pemahaman para muhadditsin (ahli hadits) dalam sebuah riwayat dikatakan memandang Wajah-Nya tidak sebanding dengan semua nikmat yang pernah terbesit dalam hati dan dirasakan manusia selama kita hidup bahkan kenikmatan hamparan dan seisi Surga sekalipun. Karena memandang Sang Kekasih, yang lainnya hanya ciptaan dan tak memiliki arti apa-apa.
Padahal kita paham justru perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) Nabi SAW (sebagai Hadits, dan Sunnah sebagai bentuk yang lebih luas tentang ikhwal Nabi SAW) itu semua mungkin untuk kita juga ikuti; level pencapaian kesempurnaan tertinggi yaitu bercengkerama dengan-Nya dipaksa oleh Tuhan sendiri agar kita segera menemukan-Nya. Seperti Mi’rajnya Nabi SAW selain juga usaha kita untuk menginternalisasi akhlak Nabi-Nya dalam diri kita sebagai hamba. Memandang dan bertemu-Nya bukan dalam makna setelah kita terbaring di dalam tanah dengan Ruh yang telah berpisah dengan raga. Hanya di dunia ini saja kesempatan terbesar kita untuk berusaha mencapainya, sama halnya seperti usaha kita ingin dapat mencapai level kedudukan manusia yang berilmu. Demikianlah mengapa, seorang Sufi selalu meminta “Matilah engkau, sebelum engkau Mati”.
Mengapa kita jarang mendengar perjalanan transendental-Mi’raj para Sufi? Karena seorang Sufi sejak dahulu, tidak pernah ceritakan pengalaman Mi’rajnya pada siapapun, ke-rahasiaan-nya tak pernah mau dan butuh disampaikan.
Jika kita sebut satu saja, contoh kemampuan manusia biasa yang di luar akal sehat; kita bisa melihat kisah Nabi Sulaiman AS. yang meminta kemampuan Jin Ifrit dan seorang manusia biasa untuk dapat membawakan Kursi Ratu Bilqis ke hadapan Nabi Sulaiman AS. Jin Ifrit menawarkan hanya mampu membawa kursi-singgasana Ratu Bilqis sebelum Nabi Sulaiman AS. bangkit dari tempat duduknya, padahal seorang “manusia biasa” di antara mereka telah mampu menghadirkan singgasana Ratu Bilqis sebelum Nabi Sulaiman AS. mengedipkan kedua mata.
Justru sebenarnya, mengapa Nabi SAW. katakan dan tegaskan kepada semua Muslim dan Muslimah dengan menginformasikan kepada kita bahwa “Sholat itu Mi’rajnya seorang Muslim-Muslimah”. Sholat itu perjalanan transendental-Mi’raj tiap Insan untuk sempurna sebagai manusia. Ingatlah, Tuhan lebih jelas telah deklarasikan kepada kita “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (At-Tin: 4). Apakah kata sebaik-baiknya itu berarti kita hanya bisa fokus pada pemenuhan realitas Bumi-fisik keduniaan saja sehingga lepas melupakan aktualisasi realitas Langit-metafisik akhirat sebagai manusia? Atau sebaliknya, atau pun kata sebaik-baiknya sesungguhnya mengakomodasi hadirnya aktualisasi Bumi-fisik keduniaan dan Langit-metafisik akhirat sehingga sama-sama berpotensi dapat keduanya eksis dan terpenuhkan? Anda yang menentukan.
Sungguh, kita bukan hanya disuruh untuk duduk terpaku berimajinasi saja mendengar kisah luar biasa para Nabi seluruhnya bagai legenda atau dongeng (dikarenakan kita hanya menggunakan akal semata dalam memahaminya dan menyerah mencari tahu sehingga kita tak tahu cara untuk mengikuti mereka) yang hanya dapat kita mendengar saja tapi lupa bahwa sesungguhnya kita disuruh dan punya kemampuan sama mengikuti mereka.
Tapi mesti kita kembali melihat seperti juga pendakuan Imam Al-Ghazali, bahwa tiap manusia itu bertingkat-tingkat ia mencapai ilmu dan maqam kedekatan dengan Tuhan dalam hidupnya di dunia fisik ini. Disebabkan, Allah SWT. dapat memilih secara langsung seseorang menjadi makhluk yang dekat dengan-Nya sebagai Kekasih-Nya atau Allah SWT. membiarkan tiap manusia siapa saja sebagai hamba untuk berusaha dengan perjuangan, pengorbanan, dan konsistensi untuk menuju kepada kehadirat-Nya. Allah SWT. berfirman secara sempurna dalam QS. Al-Kahfi: 17, -may yahdillahu fahuwal muhtad, wamay yudhlil falan tajiidalahu waliyyam mursyida-“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang Pemimpin (Mursyid) pun yang dapat memberimu petunjuk”.
Jika selama ini kita terbiasa bahkan dapat senang selalu mengucapkan potensi dahsyat kita untuk menyempurna itu. Lalu, mengapa ucapan itu terdengar amat ilahiyah, melangit, atau sekadar seperti cerita dongeng anak-anak belaka?
Olehnya, saya mencetuskan isodinamika _(isodynamic)_ Islam, yaitu upaya penyempurnaan diri manusia menuju wujud dia yang sesungguhnya. Sebagian menyebutnya _Superman_ di Barat namun di Timur lebih dikenal sebagai _Al-Insan Kamiil_. Ia adalah potensi, daya, energi yang berada di dalam diri tiap kita. Yaitu dia yang berhasil menjaga ritus-ritus kedekatan bersama Wajibul Wujud, namun keshalehan sosial dan alam tak dilupakannya. Ada semacam energi yang dihasilkan sama antara, dia sebagai makhluk spiritual dan sosial. Sebagaimana upayanya agar bersih sebersih-bersihnya sebagaimana manusia itu awal diciptakan, maka ia pun diberi tanggung jawab agar seperti demikian pula di saat ia dipanggil pulang pada penciptanya.
Seperti dalam tulisan saya sebelumnya mengenai survivalitas jiwa, maka sesungguhnya bukan raga yang mampu melindungi jiwa. Ruh manusia itulah yang seharusnya melindungi raga kita yang rapuh, sebab tubuh fisik manusia adalah berbeda dengan Ruh itu. Jika jiwa adalah amanah maka amanah tersebut wajib dijaga hingga diminta pemiliknya.