KHITTAH.CO, Lamongan — Dua penulis muda, Fathan Faris Saputro dan Risma Dewi, menerbitkan sebuah buku kolaboratif berjudul Tangis Sunyi Palestina. Buku ini hadir sebagai bentuk refleksi spiritual sekaligus solidaritas kemanusiaan terhadap penderitaan rakyat Palestina yang hingga kini masih berlangsung.
Dalam karya tersebut, keduanya tidak hanya menyajikan narasi-narasi emosional, tetapi juga mengetengahkan kontemplasi sejarah, iman, serta nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari suara hati yang peduli.
Risma Dewi, salah satu penulis kelahiran Palangka Raya, mengungkapkan bahwa proses menulis buku ini penuh tantangan, namun sekaligus menjadi sarana jihad dan amal jariyah baginya.
“Menulis buku dalam pikiran saya adalah hal yang sulit—mungkinkah saya bisa menyelesaikannya? Ternyata, menulis itu banyak tantangannya, mulai dari menstabilkan suasana hati hingga mencari kata-kata inspiratif. Namun di balik semua itu, saya punya semangat: saya ingin buku ini menjadi jalan jihad dan amal jariyah bahwa saya masih peduli dengan Palestina,” ujar Risma pada Selasa, 2 September 2025. Ia juga menjabat sebagai Ketua Bidang Immawati DPD IMM Kalimantan Tengah dan aktif di Nasyiatul Aisyiyah Cabang Pahandut.
Perempuan bersuku Dayak ini menambahkan, “Kiblat pertama umat Islam… Dari situ semangat saya tumbuh untuk menyelesaikan tulisan ini. Ini adalah jalan dakwah saya. Palestina adalah tempat bersejarah bagi umat Islam, dan apa yang terjadi di sana adalah tanggung jawab kita, di dunia maupun di akhirat—seberapa besar suara kita untuk saudara seiman di sana,” tegasnya.
Sementara itu, Fathan Faris Saputro, penulis kelahiran Lamongan, memandang buku ini sebagai bentuk keberpihakan melalui jalan intelektual dan literasi. Menurutnya, menulis bukan sekadar aktivitas kreatif, melainkan juga bentuk keberanian moral.
“Menulis Tangis Sunyi Palestina adalah upaya kecil kami untuk tidak menjadi bisu di tengah tragedi besar. Ketika banyak orang memilih diam atau lupa, kami memilih mencatat. Karena bagi saya, diam di hadapan ketidakadilan adalah bentuk kelalaian. Buku ini adalah suara sunyi yang ingin kami perdengarkan ke dunia,” ujar Faris, sapaan akrabnya, yang juga merupakan penulis buku Luwesitas IMM dan Kilau Senja di Kota Soto.
“Kami ingin menyampaikan bahwa keberpihakan tidak selalu harus lewat senjata, tapi bisa melalui pena. Palestina bukan sekadar berita harian—ia adalah luka yang tak boleh dibiarkan sembuh karena dilupakan,” tambahnya.
Buku Tangis Sunyi Palestina menjadi ruang bagi generasi muda untuk bersuara dan mengambil bagian dalam perjuangan global melalui kekuatan kata. Karya ini diharapkan mampu menggugah kesadaran publik serta menjadi bahan renungan spiritual di tengah krisis kemanusiaan yang kerap dilupakan dunia.