Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Jihad Literasi Digital Menyelamatkan Generasi Milenial

×

Jihad Literasi Digital Menyelamatkan Generasi Milenial

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere

Berdasarkan fenomena, saya yakin kita sepakat dengan pernyataan Faithe Wempen (dalam Sahrul Mauludi, 2018), “Internet dan komputasi telah menyentuh setiap bagian dunia. Ini berarti bahwa literasi digital adalah suatu keharusan untuk mengikuti perkembangan dunia kita yang terus berubah”. Terkait perubahan, saya khawatir dengan “cerita katak” di bawah ini.

Suatu ketika, seekor katak terjatuh ke dalam panci yang berisi air yang akan direbus (dimasak). Maklum katak tidak mengerti dan senang dengan air, maka dengan girang dia berenang, menikmati air dan sentuhan dinding panci dari satu titik ke titik lainnya. Singkat cerita, lalu panci tersebut dinaikkan ke atas kompor yang apinya sudah menyala, dengan tujuan merebus air. Air semakin panas (mendidih), katak baru sadar ternyata di sekelilingnya telah terjadi perubahan. Apa daya karena terlambat menyadari, katak mati dalam air mendidih tersebut.

Revolusi teknologi informasi dan komunikasi (teknologi digital) terus mengalami perkembangan pesat. Seperti yang disinyalir oleh Marshall McLuhan (Sahrul Mauludi, 2018), “kita yang membentuk alat-alat dan setelah itu alat-alat yang membentuk kita”, Apa yang disinyalir oleh McLuhan ini pada faktanya, benar.

Revolusi teknologi yang dikenal dengan teknologi digital, dan kondisi ini disebut atau bisa disebut sebagai era digital atau dalam perspektif Yasraf Amir Piliang menyebutnya “era pasca industri”, ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan elektromagnetik. Dampak positif dan negatif mengiringi. Dampak positifnya adalah merupakan wujud dari harapan pada saat “alat-alat” itu, seperti yang dsinyalir oleh McLuhan, dibentuk. Dan dampak negatifnya sangat terasa sebagai fakta terbalik dari harapan tersebut.

Teknologi digital bukan hanya memberikan dan menawarkan “kemudahan-kemudahan” atau efektivitas dan efesiensi kerja bagi manusia, namun teknologi digital khususnya melalui media sosial sebagai salah satu determinannya telah mempengaruhi nalar manusia tanpa kecuali generasi milenial. Telah terjadi pergeseran makna “generasi milenial”, maka dalam tulisan ini yang saya maksud bukan hanya generasi Y, sebagaimana teori generasi Strauss-Howe, milenial saeculum yang terbagi empat generasi (dalam Subhan Setowara, 2018).

Generasi milenial dalam konteks tulisan ini adalah generasi yang menghabiskan lebih banyak porsi waktunya di dunia virtual, berinteraksi dan berkomunikasi melalui perangkat media sosial (facebook, twitter, youtube, dan sejenis lainnya). Sebagaimana cerita katak di atas, dan teknologi digital mempengaruhi nalar, saya khawatir telah banyak generasi milenial yang menjadi korban dan “mati” karena terlambat menyadari perubahan dan dampaknya.

Diksi “mati” dalam hal ini, tentunya bukan dalam pengertian harfiah sebagaimana defenisi “meninggal dunia”, yang ditandai terpisahnya ruh dari jasad. Yang “mati” bisa jadi adalah semangat belajarnya, moralitas, karakter positif, visi dan cita ideal, spirit literasi (minimal spirit membaca), kepedulian, keikhlasan, ketulusan, dan masih banyak hal lainnya yang tidak bisa disebut satu persatu dalam ruang ini.

Bahkan bisa jadi yang “mati” adalah pentingnya kesadaran “berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa” dan “dorongan keinginan luhur” yang oleh para founding fathers disadari sebagai modal mencapai kemerdekaan, sebagaimana ditegaskan dan termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar. Ini juga penting termasuk untuk diingatkan (pada) menjelang HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.

Model dan dampak berinteraksi dan berkomunikasi di media sosial sebagai salah satu determinan teknologi digital telah berkontribusi terhadap “matinya kepakaran”, dan yang terbaru bisa pula memicu “matinya sang ulama”. Bahkan ini membuat suatu kondisi kehidupan yang lebih parah tentang apa yang disebut dengan ”post truth” (pasca kebenaran), tempat hoax terus diproduksi dan direproduksi. Selain itu, dalam ruang post truth, hoax pun digunakan untuk menyalahkan emosi dan sentimen publik.

Dampak lainnya, melalui media sosial bukan hanya menghilangkan batas teritorial, sehingga “desa global” yang dipertegas oleh McLuhan telah terwujud. Batas-batas lainnya pun telah lenyap, seperti batas-batas sosial (contoh, sulit lagi membedakan antara mainan anak-anak dan orang dewasa), batas-batas politik (sulit membedakan antara pecundang dan negarawan), bahkan batas psiko-religiusitas (antara riya dan ikhlas).

Dan ada satu dampak yang sangat saya khawatirkan dan ini relevan dengan apa yang dikutip oleh Yasraf dari Baudrillard tentang tahapan perkembangan nilai dalam masyarakat yang sudah sampai ke tahap keempat yaitu, “fraktal” (viral). Pada substansinya pada tahap ini manusia kehilangan titik referensi, tetapi merujuk—termasuk dalam persoalan kebenaran—pada apa yang viral.

Mengapa saya khawatir?, karena persoalan ini sangat terasa di tengah pandemi Covid19. Untuk mudah dipahami saya mendeskripsikan seperti ini, bahwa “sebagai satu contoh saja, di tengah pandemi Covid19 surat edaran dan maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang berisi pandangan, anjuran dan sikap terbaik menghadapi situasi darurat ini, oleh kader-kadernya sendiri dan bahkan oleh jajaran pimpinannya di tingkat daerah, banyak yang tidak mengikutinya”.

Apa yang terjadi dalam tubuh Muhammadiyah, dalam tulisan saya pada buku “Memmbaca Muhammadiyah” (2021) menyebutnya sebagai “Problem Soliditas Muhammadiyah: Kasus Pandemi Covid19”. Hal itu saya menduga, bahwa mereka (oknum kader dan pimpinan tersebut) lebih mempercayai apa yang beredar di media sosial yang diproduksi oleh pandangan personal yang otoritas keilmuannya pun sulit terkonfirmasi. Dan bahkan tidak sedikit merujuk pada “hoax”. Terkait hal ini saya pernah “berdebat” salah satu dari mereka, dan terbukti dia hanya merujuk pada informasi hoax.

Inilah yang membuat saya semakin khawatir jangan sampai sikap seperti ini menjadi “prakondisi” untuk melemahkan soliditas untuk persoalan yang lainnya pun diluar dan/atau setelah pandemi covid19. Ini berbahaya, ketika kader-kader ormas tertentu, tidak lagi mempercayai dan/atau mengikuti cara pandang organisasi tempat dirinya berkecimpung bahkan tempat dirinya dibina dan digembleng. Lalu apa gunanya terlibat dalam organisasi, apalagi organisasi yang mengedepankan cara pandang berjamaah?

Sebenarnya persoalan yang relevan dengan apa yang disimpulkan oleh Baudrillard terkait tahap yang sudah sampai pada “fraktal” (viral) atau hilangnya titik referensi, telah pernah ditegaskan oleh Bernando J. Sujibto dalam buku Muslim Milenial (2018:56-62). Kurang lebih penegasannya, bahwa era milenial oleh generasi milenial “beroperasi melawan (tidak menghiraukan) legitimasi, grand narration, kebenaran, ataupun fakta-fakta empiris…”. Hari ini, kita bisa saksikan lembaga-lembaga otoritatif lebih sering tidak dipercayai lagi. Jika itu adalah lembaga pemerintah, mungkin saja efek afiliasi politik atau bias politik yang belum “tuntas”. Tetapi bagaimana jika itu adalah ormas sekelas Muhammadiyah, NU, dan lain-lain yang merasakan sikap yang sama dari masyarakat atau kadernya sendiri.

Dari segelintir persoalan yang saya uraikan di atas—saya menyebutnya “segelintir” karena masih banyak persoalan lainnya sebagai dampak teknologi digital—maka, selain oleh Faithe Wempen, kita semua harus bersepakat bahwa penting untuk mendorong literasi digital. Melampaui literasi digital, perlu digaungkan pula ikhtiar “Jihad Literasi Digital”, untuk menyelamatkan generasi milenial di tengah problematika yang sangat krusial, dan untuk saat ini, telah mengalami kondisi darurat.

Dikutip oleh Sahrul Mauludi dari Visser, Literasi Digital adalah kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk menemukan, mengevaluasi, menciptakan, dan mengomunikasikan ulang informasi, di mana literasi digital memerlukan kemampuan teknis dan kecerdasan kognitif. Paul Gilster adalah salah satu tokoh yang mempopulerkan istilah “literasi digital” ini.

Kata kunci dari literasi digital adalah terkait sikap dan respon dalam menerima dan menindaklanjuti sebuah infromasi. Ketika sebelumnya lahirnya sejenis aksioma “penguasa yang menguasai informasi”, hari ini terbalik “siapa yang menguasai informasi maka bisa berkuasa”. Perubahan aksioma ini pun, sangat terasa hari ini, ketika seseorang yang otoritas keilmuannya atau sumber rujukannya pun tidak jelas mampu mempengaruhi nalar publik, mengalahkan pakar yang relevan bahkan lembaga otoritatif tempat berkecimpung personal-personal yang memiliki kapasitas keilmuan yang jelas.

Literasi digital penting, secara sederhana selain alasan sebagaimana argumentasi di atas, bahwa dalam teknologi digital ada pilar-pilar—tepatnya disebut pilar-pilar revolusi industri 4.0—di antara yang relevan dan saya ingin sebutkan di sini adalah: algoritma dan big data. Ketika teknologi digital mampu mempengaruhi nalar, maka sesungguhnya yang bekerja secara massif adalah kedua fungsi ini, algoritma dan big data tersebut.

Bukan hanya pada teknologi digital, dalam diri manusia pun (meskipun wujudnya tidak persis sama), namun proses menyerupai pada mekanisme kerja big data dan algoritma tersebut. Gugusan informasi yang terjadi dan terkandung dalam teknologi digital mampu mempengaruhi apa yang terjadi dalam diri manusia. Secara sederhana bisa dipahami bahwa informasi yang mendominasi pada big data teknologi digital akan mampu mempengaruhi algoritma informasi tersebut.

Selanjutnya karena manusia menghabiskan lebih banyak porsi waktunya di dunia digital, maka ikut mempengaruhi big data dalam diri manusia. Big data dalam diri manusia sudah bisa dipastikan bisa mempengaruhi alur algorimatik nalar manusia. Ini pula yang terjadi dalam masa pandemi Covid19, ketika media sosial “dibanjiri” hoax, maka kini manusia lebih banyak merujuk pada informasi bohong, sebagai dasar dalam bersikap.

Dalam pandangan saya, tidak cukup hanya literasi digital, tetapi perlu dibarengi dengan jihad, tepatnya jihad literasi digital. Meskipun ada banyak referensi dan termasuk bentangan panjang sejarah yang mempertegas “jihad” identik dengan “pedang”, “perang”, “pertumpahan darah”. Namun terma “jihad” yang saya lekatkan pada “literasi digital” tidak sama dengan maksud tersebut.

Jihad literasi digital dalam pandangan sederhana saya, adalah adanya kesungguhan untuk mengambil peran maksimal memberikan bobot dan informasi berkualitas di dunia virtual dengan memanfaatkan teknologi digital secara massif bahkan terorganisir, dan kesadaran akan proses algorimatik dan big data sebagai pilar daripada teknologi digital itu sendiri.

Mengapa lembaga-lembaga termasuk organisasi masyarakat sipil, seperti kelas Muhammadiyah “terkesan” kalah oleh pendapat, opini atau narasi personal yang basis keilmuannya pun tidak jelas, karena selain para netizen masih lemah dalam literasi digital, lembaga-lembaga ini pun belum maksimal memanfaatkan teknologi digital sebagai ruang dakwah, pencerdasan dan pencerahan.

Lebih jauh dan ini pun masih sangat sederhana, jihad literasi digital adalah “merebut narasi” dalam rangka mempengaruhi nalar generasi milenial. Sekali lagi saya ulangi, generasi milenial dalam konteks tulisan ini, bukan hanya generasi Y, tetapi siapa saja yang sering berselancar di dunia virtual.

Langkah teknis dari Jihad Literasi Digital, sebenarnya sudah mulai dilakukan, meskipun masih perlu dikelola secara massif dan terorganisir dengan memanfaatkan pula teknologi digital secara massif. Sambil mengikuti logika peradaban digital, “orang lebih cenderung mengikuti apa yang viral” dan bahkan relevan dengan teori televisi/citraan “kebohongan pun, jika terus menerus dipublikasi maka akan dinilai sebagai sebuah kebenarannya”. Jadi jika kebohongan saja bisa menjadi kebenaran, apalagi kebenaran itu sendiri, dengan syarat kebenaran pun harus massif dipublikasi dan bahkan diviralkan, jika dipandang penting tidak apa-apa menggunakan para influencer dan “buzzer” pun untuk hal positif.

Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah, dan Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

 

 

 

 

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply