Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Kompleksitas Bencana Erupsi Semeru Membawa Banyak Pelajaran di Indonesia

×

Kompleksitas Bencana Erupsi Semeru Membawa Banyak Pelajaran di Indonesia

Share this article

Oleh: Maymunah*

Erupsi Gunung Semeru mengingatkan kembali pentingnya manajemen bencana yang menjamin langkah darurat penanganan pengungsi, pengelolaan dana kebencanaan. Selain itu termasuk konsistensi penerapan mitigasi bencana.

Lima hari pasca-erupsi gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, tercatat 43 orang dinyatakan meninggal. Tak hanya korban meninggal, erupsi juga mengakibatkan ribuan orang mengungsi. Berdasarkan data Pos Komando Tanggap Darurat Awan Panas dan Guguran Gunung Semeru, jumlah penyintas mencapai 6.542 jiwa. Ribuan pengungsi tersebut tersebar di 121 titik pengungsian, yaitu wilayah Kabupaten Lumajang, Malang, dan Blitar.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tanggal 9 Desember 2021, melaporkan 2.970 rumah rusak dan 3.026 hewan ternak mati. Kerusakan lainnya mencakup 42 unit sarana pendidikan, 17 sarana ibadah, 1 fasilitas kesehatan, dan 1 jembatan. Sebagai langkah awal, BNPB telah mengirimkan bantuan logistik senilai Rp 1,1 miliar pada 5 Desember 2021.

Jumlah korban erupsi kali ini merupakan salah satu yang terbesar dalam lintasan sejarah letusan Semeru. Untuk mencegah dampak lanjutan erupsi bagi pengungsi, BNPB dan pemerintah daerah perlu memastikan seluruh kebutuhan dasar pengungsi, seperti makanan, pakaian, tempat penampungan, dan sanitasi, segera terpenuhi.

Persoalan pengungsi memang terbilang rumit karena ada banyak persoalan yang perlu diselesaikan segera. Hal tersebut berimbas pada proses penanganan bencana yang membutuhkan waktu cukup lama. Untuk status tanggap darurat, Pemerintah Kabupaten Lumajang menetapkan selama 30 hari.

Tanggap darurat merupakan tahapan awal sesaat setelah terjadi bencana serta masih perlu diteruskan ke tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi. Setelah kondisi lebih stabil, tahap berikutnya adalah perumusan mitigasi bencana.

Peran penting mitigasi terletak pada besarnya dampak bencana yang dapat ditekan dan minimnya kerugian finansial akibat bencana. Sayangnya, sistem mitigasi bencana di Indonesia cenderung tidak dilakukan secara serius.

Sebagai gambaran, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada sedikitnya 83.931 wilayah administrasi pemerintahan setingkat desa di Indonesia pada 2018. Dari jumlah tersebut, hanya 9,5 persen wilayah yang memiliki sistem peringatan dini bencana alam serta 6 persen yang telah menyiapkan jalur evakuasi.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan bahwa mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Berdasarkan pengertian tersebut, maka sistem mitigasi bencana memang harus dibangun secara spesifik, yaitu mempertimbangkan jenis risiko bencana dan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Untuk kasus erupsi Semeru, maka spesifikasi mitigasi bencana yang dibuat harus berfokus pada proses kejadian bencana dan modal pengetahuan penduduk sekitar.

Cara lain untuk memastikan proses mitigasi berjalan lancar adalah penegasan kawasan risiko bencana. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi ESDM telah berencana melakukan pemutakhiran peta kawasan rawan bencana sekitar Gunung Semeru.

Pemutakhiran terpenting adalah mendetailkan peta kawasan risiko bencana. Selama ini, kebanyakan peta bencana dibuat dalam skala lebih umum, padahal dampak bencana perlu dilihat dari skala lebih detail hingga satuan rumah per rumah.

Dalam konteks pasca bencana di Indonesia, acap kali titik krusialnya adalah masa tanggap darurat dengan faktor penentu keberhasilan pengelolaan dana bencana. Sumber dana kebencanaan bisa beragam, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan-badan penanggulangan bencana, hingga donatur swasta.

Dalam implementasinya, perlu dilakukan konfirmasi ke pemerintah daerah terdampak bencana agar tidak terjadi penumpukan dana bantuan. Salah satu persoalan terkait pendanaan adalah alokasi yang tepat sasaran.

Aturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 menyebutkan ada tiga jenis pendanaan saat bencana, yaitu dana kontingensi, dana siap pakai, dan dana bantuan sosial berpola hibah. Perbedaan ketiganya terletak pada periode penggunaan dana tersebut.

Persoalan lain terkait pendanaan bencana Indonesia adalah minimnya ketersediaan dana, mulai dari dana kontingensi, dana siap pakai, hingga dana sosial berpola hibah. Kementerian Keuangan RI mencatat rata-rata nilai kerusakan langsung dalam 15 tahun terakhir mencapai Rp 20 triliun per tahun. Sementara alokasi dana yang ada baru berkisar Rp 5 triliun-Rp 10 triliun sejak 2004.

Sebagai contoh, bencana alam besar gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah pada September 2018 mengakibatkan kerusakan dan kerugian ekonomi sekitar Rp 18,5 triliun. Jumlah tersebut tentu sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi dana nasional untuk bencana.

Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi gap pendanaan yang besar adalah peluncuran pendanaan inovatif berupa dana bersama (polling fund bencana/PFB) melalui PP Nomor 75 Tahun 2021. Tujuannya untuk memperkuat ketahanan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana. Selain skema dalam negeri, bantuan penanggulangan bencana dapat dilakukan juga oleh lembaga internasional dan lembaga asing non-pemerintahan.

 

* Mahasiswi  S1 Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply