KHITTAH.CO — Kun pada bumi, Allah menurunkan ejaan alam, menurunkan hujan dan buah-buahan
manusia mengurai kebahagiaan
Kun pada bumi, Allah menurunkan tasbih dan dzikir kepada para Nabi dan wali-walinya agar manusia paham arti kehidupan
Kun pada bumi, Allah ciptakan bencana agar manusia paham arti ketakkuasaan hingga ia pasrah pada kuasa semesta
Kun pada bumi, adalah perjanjian semesta alam
Makassar, 4 Februari 2020
APRESIASI ANDI MAHRUS ANDIS
”Kun pada Bumi” Chaeruddin Hakim;
EMPAT BAIT MENUJU ALLAH
Puisi-puisi sufistik sering menjadi lahan ibadah bagi banyak orang. Sejak Hamzah Fansuri sampai Hamzah Zaidin, nuansa sufisme dalam puisi Indonesia semakin lekat di hati penyair religius.
Di Makassar, Muhammad Amir Jaya, penyair dan cerpenis asal Selayar, telah menulis banyak puisi seperti itu. Salah satu kumpulan puisinya yang beraroma tasawuf ialah “Engkau Api dan Aku Air”. Saya telah membacanya dan, bahkan puisi itu sudah dibahas dalam beberapa pertemuan nonformal di warung kopi.
Kali ini, seorang Chaeruddin Hakim, yang boleh disebut sebagai angkatan “penyair tua” milik Sulsel; tampil pula dengan puisinya bergaya sufistik. Lewat puisinya “Kun pada Bumi” tersebut, diia mencoba menggamit rasa tuhaniah pembaca untuk reintrospesi ke ceruk batin yang pekat. Penyair yang alumni IKIP Ujungpandang (sekarang UNM), dan sering diundang keliling panggung melantunkan “kelong yabelale” (kidung ninabobo) Bugis-Makassar ini, sudah menerbitkan kumpulan puisi di tahun 80-an.mr
Sepintas, puisi berjudul “Kun pada Bumi” itu bukan sesuatu yang luar biasa. Hanya berupa sederetan pernyataan sederhana yang dikemas dengan bahasa yang rapi ke dalam struktur bait-bait puitis. Namun di baliknya, pilihan diksi pada judul puisi tersebut sudah tercermin upaya penyair menggiring imaji pembaca ke ranah kontemplasi yang menghakikat, yakni menyoal kesadaran manusia atas “sunnatullah”; perjanjian antara Khaliq dengan makhluq.
“Kun” secara filosofis adalah simbolisme “sakralitas kemahaan zat” yang wajib “ada” bagi Allah Rabbun Jalil. Chaeruddin Hakim melakukan suatu proses eskavasi nilai-nilai rububiyah ke dalam puisinya sebagai bentuk dakwah tentang hakikat penciptaan bumi dan segala isinya. Tanpa terpaksa, pembaca ikut mengalir ke dalam bait-bait puisi, dan pada tingkat kesadaran tertinggi, kita pun harus meyakini bahwa kesemua proses hidup manusia bermuara pada sebuah sistem kosmologis yang bernama bumi. Di bumi inilah Tuhan mengatur rezki ke seluruh manusia:
“Kun kepada bumi, Allah menurunkan ejaan alam” ( bait I )
Diksi “ejaan alam” pada bait puisi tersebut menyarankan kesan awal tentang hakikat penciptaan manusia yang memiliki potensi akal ( kecerdasan/iqra’, dilambangkan “ejaan” ) untuk mensyukuri segala bentuk nikmat dari Allah SWT. Mensyukuri nikmat-Nya adalah jalan meraih kebahagiaan dunia wal akhirat.
Nikmat kebahagiaan itu harus langgeng seiring dengan langgengnya lafaz zikir ( ingatan ) setiap saat, seperti yang telah menjadi wirid bagi para hamba-Nya yang dimuliakan.
“Kun pada bumi, Allah menurunkan tasbih dan dzikir kepada para Nabi dan wali-walinya …” (Bait II)
Kekhilafan terhadap rasa syukur dan zikir kepada Allah, akan menghadirkan murka-Nya berupa bencana sebagai peringatan, bahkan mungkin azab bagi manusia:
“Kun pada bumi, Allah ciptakan bencana … ” (Bait III).
Pada puncak kesadarannya, manusia pun harus yakin bahwa proses kehidupan ini berawal dari “kun” (Al Khaliq) kepada “bumi” ( Makhluq ) sebagai rahmatan lil alamin. Sunnatullah (perjanjian) bagi umat manusia seru sekalian alam.
“Kun pada bumi, adalah perjanjian semesta alam.” (Bait IV).
Puisi Chaeruddin Hakim di atas tergolong diafan, mudah dirasakan pesan moralnya karena digarap dengan bahasa prosais.
Empat bait puisi di atas, adalah pengantar memasuki gerbang tasawuf lewat introspeksi batin. Selamat, Bung.
Bulukumba, 6 Feb.2020