Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Mahbub Alimuhyar Sang Indigostar: Perasaan Tidak Bisa Ditaklukkan Teknologi

×

Mahbub Alimuhyar Sang Indigostar: Perasaan Tidak Bisa Ditaklukkan Teknologi

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Saya senantiasa melakukan refleksi diri. Salah satu yang saya temukan dibalik proses yang bisa dimaknai inner journey (perjalanan menelusuri ke dalam diri/jiwa), adalah betapa diri ini tidak mudah mengagumi seseorang atau orang lain. Entah, apakah ini kekurangan atau kelebihan? Yang pasti, saya pun tidak suka basa-basi dalam memuji seseorang. Apa lagi dalam pemahaman teori kecerdasan emosional, saya memaknai bahwa cerdas secara emosional tidak harus suka “memuji” jika basisnya tidak sesuai realitas dan ketulusan hati.

Sangat sulit dan sedikit, karena memang tidak mudah, sosok yang bisa membuat diri ini kagum. Mungkin saja karena saya memiliki standard valensi—meminjam istilah Jamil Azzaini, yang dimaknainya sebagai “takaran” atau “bobot” yang mewakili keseluruhan kapasitas diri—yang tinggi. Di antara yang sedikit itu, yang membuat diri ini kagum adalah Mahbub Alimuhyar. Saya lebih sering memanggilnya “Kak Mahbub”. Yang lain banyak memanggilnya dengan sapaan “Mas Mahbub”, karena beliau memang “darah” jawa.

Mahbub Alimuhyar selaku pegawai negeri sipil dan abdi negara mendapatkan tugas dan penempatan baru sebagai Kepala Subbagian Hukum dan SDM KPU Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sebelummya sebagai Kepala Subbagian Hukum KPU Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Mutasi, apalagi sebagai hasil pilihannya sendiri untuk lebih dekat kepada orang tuanya, bukanlah hal mustahil bagi aparatur sipil negara.

Sesuatu yang dipandang sebagai hal yang tidak mustahil, secara umum akan dinilai sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Meskipun demikian, penugasan dan penempatan wilayah kerja baru bagi Mahbub Alimuhyar meninggalkan dan mengiringi perpindahannya dengan rasa “sedih” yang sangat dalam. Langit cerah Kabupaten Bantaeng, secara analogis dan sedikit hiperbolis, seketika mendung, dan khususnya terjadi “hujan air mata” minimal membasahi Aula Husni Kamil Manik KPU Kabupaten Bantaeng. Acara perpisahan secara resmi yang berlangsung pada hari Senin, 28 Maret 2022 di aula tersebut, menjadi saksi betapa Sang Indigostar itu, akan resmi dan “betul-betul” (bukan mimpi buruk) meninggalkan kami.

Meluapkan segala rasa, setiap orang memiliki cara, versi, dan porsi yang berbeda-beda. Tidak sedikit yang meneteskan air mata, bukan hanya kami di lingkup kantor KPU Kabupaten Bantaeng, tetapi banyak para aktivis, aktor pergerakan dan pemberdayaan ikut merasa sedih dan merasa sangat kehilangan. Secara psikologis, tanpa kecuali meluapkan air mata dibalik rasa sedih, itu pun positif. Itu adalah salah satu resep untuk tetap sehat, dan secara fungsional minimal tidak mengalami “konversi perasaan”—berdasarkan istilah yang saya rumuskan sendiri dari beberapa tulisan-tulisan sebelumnya—menjadi “perasaan stress.

Saya pun meluapkan perasaan itu melalui tulisan ini, sekaligus melakukan refleksi kebersamaan selama ini, memberikan apresiasi, dan atribusi terhadap sosok yang saya kagumi selama ini. Kekaguman ini, sebagaimana telah saya jelaskan di atas, bukan tanpa alasan. Ada banyak hal yang layak dan patut disematkan kepada Kak Mahbub.

Sejak kabar mutasi itu berembus, tepatnya dua hari setelah kabar itu, niatan menulis ini telah terbersit dalam diri. Meskipun, saya sendiri masih mencari judul yang tepat yang bisa menampung dan sekaligus mewadahi atas valensi atau bobot kapasitas diri beliau, yang untuk konteks Kabupaten Bantaeng, saya berani mengatakan, hanya “dihitung jari” yang memiliki kapasitas yang sama. Insya Allah, ini tidak berlebihan.

Berbagai referensi, saya harus membacanya hanya untuk mencari atribusi dan sebentuk apresiasi yang tepat untuk diri seorang Kak Mahbub. Untung saja pustaka pribadiku, yang saya beri nama “Cahaya Inspirasi” terdapat, hampir, ribuan koleksi buku, sehingga dari salah satu koleksi itu, saya menemukan buku karya N. Syamsuddin CH. Haesy dengan judul “Indigostar: Melacak Sosok Manusia Bintang dalam Jagat Rekacita”.

Saya pun meminjam istilah N. Syamsuddin untuk saya lekatkan sebagai atribusi, yang dipandang bisa menjadi wadah atau pun sebagai identitas Kak Mahbub. Saya menegaskan, Mahbub Alimuhyar adalah “Sang Indigostar”.

Saya berani dengan penuh rasa tanggungjawab untuk melekatkan atribusi “Sang Indigostar” pada diri Kak Mahbub. Apa yang digambarkan oleh N. Syamsuddin dalam buku karyanya terkait “Indigostar” itu ada dalam diri seorang sosok yang saya senang menyapanya dengan panggilan “Kak Mahbub”.

N. Syamsuddin (2009) menegaskan bahwa “[sosok] yang laksana indigostar, berkas cahaya jernih kebiruan di antara gemintang yang bertebaran di cakrawala. Penjelasan lainnya “Indigostar adalah sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan, masyarakat, dan bangsa yang memainkan peran sebagai penggerak, inisiator, kreator, inovator, motivator, sekaligus tiang sangga dinamika organisasi dan manajemen”. Hal ini N. Syamsuddin pun terinspirasi dari “Bintang Indigo”, yang seringkali menonjol di antara gugusan bintang.

Saya yakin, siapa saja yang mengenal Kak Mahbub, lalu membaca dan/atau memahami perspektif yang diungkapkan N. Syamsuddin di atas, terkait “Indigostar”, akan sepakat bahwa betul Mahbub Alimuhyar adalah “Sang Indigostar”.

Seorang Mahbub Alimuhyar, terasa bukan hanya sebagai sumber daya manusia yang hanya dimiliki oleh lembaga KPU Kabupaten Bantaeng saja, melainkan dirinya terasa dimiliki (tepatnya menjadi bagian strategis), bagi masyarakat Kabupaten Bantaeng. Bahkan untuk lingkup KPU Provinsi Sulawesi Selatan, tanpa kecuali bagi para aktivis, aktor pergerakan dan pemberdayaan, memiliki perasaan dan penilaian yang sama.

Mahbub Alimuhyar pun, tidak berlebihan jika ditegaskan bahwa beliau adalah, sebagai penggerak, inisiator, kreator, inovator, motivator, sekaligus tiang sangga dinamika organisasi dan manajemen. Terutama yang disebutkan terakhir, sebagai “tiang sangga” dinamika organisasi dan manajemen, kami sering menyebutnya bahwa Kak Mahbub adalah “tameng” (pelindung) bagi KPU Kabupaten Bantaeng.

Mahbub Alimuhyar memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni dan komprehensif. Hal ini, salah satunya yang membuat dirinya sehingga senantiasa memainkan peran sebagai penggerak, inisiator, kreator, inovator, motivator. Selain itu pada dirinya pun terdapat satu hal, dan itu merupakan ciri yang sangat menonjol pada seorang yang disebut “indigostar”. Apa itu? N. Syamsuddin menyebutnya, “Sense of crisis”. Sebuah kecenderungan [atau kepekaan] untuk mengetahui apa yang semestinya dilakukan, pada setiap keadaan, terutama pada masa krisis. Dan berdasarkan atas pemahaman saya, perpaduan antara kapasitas ilmu dan sense of crisis-nya itu, yang membuat dirinya pula memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, efektif dan efesien.

Saya ingin menambahkan, meskipun dengan istilah yang tidak pernah saya baca dan temukan sebelumnya, Kak Mahbub pun memiliki sense of law, khususnya dalam konteks posisinya selaku Kepala Subbagian Hukum KPU Kabupaten Bantaeng (jabatan sebelum di KPU Kabupaten Ciamis). Saya menyebutnya demikian, karena Kak Mahbub memiliki kepekaan terhadap berbagai peristiwa yang berpotensi dan memiliki resiko hukum, atau minimal mampu menarik garis relasi atas sejumlah regulasi yang dilanggar dari suatu tindakan. Ini, pemaknaan sederhana  dari saya, terkait sense of law yang dimiliki oleh seorang sosok Kak Mahbub.

Selain itu, sedikit di antara yang banyak, Mahbub Alimuhyar pun meskipun memiliki kapasitas diri yang mumpuni atau valensi yang sangat tinggi, tetapi dirinya mampu menempatkan diri secara profesional dan  proporsional. Pada dirinya, bisa disimpulkan jauh dari sifat sombong mau pun istilah lain yang sejenis atau lebih dari itu.

Saya yang merasa,  bahwa Kak Mahbub memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni, sebagai patron intelektual, kakak, senior, dan bahkan sebagai “guru” dalam berbagai ruang-ruang sosial, beliau tetap bersikap dan bertindak, menempatkan diri saya dan dirinya sesuai garis hierarkis dalam relasi antara Anggota KPU Kabupaten Banteang, Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan, dan dirinya selaku Kepala Subbagian Hukum. Meskipun dirinya memiliki banyak kelebihan berdasarkan kapasitas dirinya, namun dalam garis tata kerja kelembagaan, beliau masih menempatkan diri untuk secara maksimal memberikan pelayanan administratif terhadap segala kebutuhan saya dalam konteks sebagai Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan.

Saya pun secara pribadi, dan itu pun yang saya ungkapkan secara terbuka dalam acara perpisahan secara resmi kami di lingkup KPU Kabupaten Banteang, bahwa antara diri saya dan Kak Mahbub, jika berpijak pada teori law of attraction (hukum tarik-menarik) memiliki frekuensi yang sama. Saya pun sudah lama meyakini, bahwa yang membuat dua orang menjalin kedekatan atau persahabatan, pada dasarnya faktor utamanya adalah adanya “kesamaan frekuensi”.

Frekuensi yang sama ini, seringkali, dan saya pun berani menyimpulkan bahwa di kantor KPU Kabupaten Bantaeng dalam rentang waktu tahun 2018 sampai tahun 2022, saya lebih banyak menghabiskan waktu berdiskusi dengan Kak Mahbub, dan sebaliknya pun demikian, Kak Mahbub menghabiskan lebih banyak waktunya untuk berdiskusi dengan saya. Kami berdua, seringkali secara intim melakukan diskusi dengan berbagai tema, dari siang dan/atau sore sampai malam, bahkan tengah malam. Kami berdua seringkali pula terlambat pula kantor, tinggal sampai tengah malam, hanya karena sedang “intim” dan larut mendiskusi sebuah tema.

Efek dari frekuensi yang sama ini, bukan hanya membuat kami bertahan berdiskusi berdua dengan durasi waktu yang cukup panjang, tetapi termasuk bisa memengaruhi reaksi kimiawi dalam tubuh, khususnya saya pribadi sehingga, meskipun saya belum makan siang dan terlambat makan malam, saya tidak merasakan lapar. Untuk sekadar diketahui, saya pribadi jarang membiasakan diri untuk makan siang, kecuali jika kebetulan ada acara “makan-makan” di kantor atau ada undangan yang harus dihadiri. Namun saya pun membiasakan dan “mewajibkan” diri untuk sarapan pagi—bahkan lebih dari kategori “sarapan”—setiap hari sebelum berangkat ke kantor.

Saya merasakan bahwa masih banyak hal yang bisa diungkapkan terkait kapasitas diri Kak Mahbub selaku “Sang Indigostar”. Hanya saja, saya pun harus menyadari bahwa ruang ini sangat terbatas untuk mengungkapkan semuanya. Dan saya pun harus menegaskan, mengapa pada judul terdapat sub judul “Perasaan Tidak Bisa Ditaklukkan Teknologi”?

Kita semua memahami, bahwa hari ini, kehidupan sudah bagaikan “Dunia yang Dilipat”. Bahkan dunia pun disebut sebagai “desa global”. Ini sebagai konsekuensi logis dari kemajuan mutakhir teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Kemajuan ini, telah membuat segalanya telah kehilangan batas-batas tanpa kecuali batas geografis atau teritorial.

Perpindahan Kak Mahbub dalam perspektif “Dunia yang Dilipat” terasa bukanlah sebuah problem karena jarak ruang antara Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Bantaeng, tidak dibatasi lagi oleh waktu. Waktu telah mampu menjelahi semuanya dengan kecepatan tinggi, ke ujung dunia sekali pun. Hal ini mengisyaratkan relasi kedekatan dengan Kak Mahbub yang ditaburi perasaan kehilangan itu, sejatinya tidak terjadi dalam dimensi “perasaan”, karena “kerinduan” pun bisa terobati dan terpenuhi dengan pemanfaatan teknologi. Seketika dengan jarak, yang pada masa era pra industri dan industri terasa sangat jauh, bisa ditaklukkan dengan kekuatan elektromagnetik melalui salah satunya yang disebut dengan “video call”.

Namun hipotesis, “Perasaan tidak bisa ditaklukkan oleh teknologi” ini, sepertinya menjadi tesis minimal secara subjektif terjadi dalam diri ini dan beberapa teman lainnya di KPU Kabupaten Bantaeng, bahwa ternyata kami tetap “merasa kehilangan”. Sepertinya rayuan teknologi “video call” tidak akan sanggup memenuhi dahaga perasaan tersebut, atas kepergian Kak Mahbub untuk sebuah tugas dan perjuangan yang sama dengan kami di sini, meskipun di tempat yang berbeda. Kami masih akan selalu merindukannya, kami masih punya sejuta harapan, kelak beliau, Kak Mahbub kembali ke Kabupaten Bantaeng atau Provinsi Sulawesi Selatan untuk menjadi Sang Indigostar, menjadi bintang Indigo untuk langit Kabupaten Bantaeng dan/atau Provinsi Sulawesi Selatan.

Dalam perenungan terakhir ini pun, memantik kesadaran kami, bahwa Sang Indigostar selalu memancarkan cahaya jernih kebiruan di antara gemintang yang bertebaran di cakrawala. Semoga, meskipun jauh, saya dan kami semua senantiasa melihat Kak Mahbub bersinar sebagai bintang Indigo di antara gugusan bintang. Insya Allah, kesehatan dan kesuksesan akan senantiasa menjadi spektrum cahaya dari seorang Indigostar, Mahbub Alimuhyar.

* Mantan Ketua  PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply