Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipLiterasiOpini

Malapetaka Nyata dan Simbolik di Palestina

×

Malapetaka Nyata dan Simbolik di Palestina

Share this article

Akhir dari Lelucon (Bagian 1)

(Malapetaka Nyata dan Simbolik di Palestina)

Oleh: Ermansyah R. Hindi*)

Sebagian besar teka-teki permainan tidak terpecahkan, kecuali kita keluar dari keadaan kontemporer yang tidak berasal dari cara berpikir yang dipenuhi takhyul, ironis dan reaksioner. Apa yang bisa kita katakan terhadap cerdiknya irasionalitas yang tidak perlu ditantang luapan dari produksi massa yang berakhir secara dramatis tanpa drama dan di poros sama (gelinya kecerdasan setan menjelma kedalam mesin perang).

Urutan-urutan jejaknya tanpa akhir sebanding muntahan kegelisahan setengah mati yang terhimpit antara “waktu ditunda” dan “waktu tidak ditunda”. Pikiran dan obyek-obyek konsumsi (feisyen, hiburan, alat dapur atau perabot rumah tangga) sedang dan masih berada di dalam orbit, sebentar lagi akan keluar sebanyak yang ia lepaskan-muntahkan bersama kelimpahruahan citra dan tatapan-tatapannya. Munculnya ruang tidak terbatas yang tidak mampu kita tatap lama-lama, tidak mampu kita ucapkan kata apa-apa lagi, kecuali apa yang dapat terdengar sumbang dari suara yang tidak diketahui darimana datangnya. Ruang (Masjid Aqsa) telah dibuka kembali, tetapi masih tidak sepi dari alur “permainan tanpa aturan”.

Saat orang-orang ditimpa malapetaka, tidak ada satu pun orang yang mampu melihatnya dengan cara menghilang secara sempurna. Tidak disangkal, beginilah jenis parodi tentang “tidur dogmatisnya Kant” dan “tidur antropologisnya Foucault” lebih dingin dari monster paling dingin. Tidak ada pilihan lain dengan mekanisme yang dapat meloloskan dari keadaan. Bukan keadaan takut, tetapi nyaris setiap hari terdapat hal-hal yang aneh. Kita belum tahu selamanya tentang takdir kematian tanpa perkabungan dari  bentuk permainan mengadopsi malapetaka. Masa kita sebagai manusia belum berakhir karena malapetaka meminjamkan sedikit ‘takdir kelahiran’ untuk tidak pernah kecut terhadap keadaan takut yang tidak pernah kembali dan lenyap lagi, seperti feisyen yang tidak lenyap.

Kita tidak melawan kelahiran atau menantang takdir, tetapi kita hanya memiliki musuh besar, yaitu waktu. Permainan figur historis tidak ditelan waktu, tetapi ia menyelipkan sedikit waktu untuk mencumbui malapetaka dan waktu itulah yang menampilkan peristiwa malapetaka. Setiap teror atau kekerasan bukan untuk dipikirkan atau masuk akal disaat hilangnya makna di dalam lorong waktu. Tidak ada yang salah dan benar disini tentang waktu, dimana kita tidak takut pada saat waktu menerima bom untuk meledak setiap saat.

Kita tidak takut akan malapetaka yang diciptakan waktu dan bukan waktu yang menundanya, tetapi penanda malapetakalah yang menghancurkan keadaan takut. Sejarah belum berakhir, seperti di dalam film 2012 dengan tema hari kiamat akan datang, terbalik menjadi hari demi hari, “akhir dari akhir” sekuat apa yang tidak dapat ditunda di luar lintasan waktu. Inilah tanda kegagalan ramalan tentang hari kiamat yang berlindung dibalik fiksi ilmiah malapetaka kosmik.

Tanda malapetaka terjadi dalam diri kita berupa kanker ganas menyerang kehidupan, yaitu jenis kehidupan menyerang mikrokosmik hasrat. Jaringan sel tanda dunia terganggu dan kejang-kejang; ia tidak lagi memperlihatkan kekuatan positif, kekuatan bisikan lubang tidak bernoktah dari jagat permainan skenario malapetaka melepaskan kekosongan gaya berat sekalipun  massa mengambang seperti uang mengambang bebas. Tanda dibalas dengan tanda, titik akhir dibalas dengan titik akhir. Sebagaimana bayangan diri, malapetaka tidak mengejar kita karena ia terkepung di setiap penjuru dunia.

Di belahan dunia Utara, teror membuat terapi anti-bodi dan membangun tatanan anti-logos untuk melupakan wabah virus dari simbol suci muncul di ruang hampa dan mengubur penderitaan fisik melalui titik akhir dari produksi menuju titik balik kehampaan makna (obyek-obyek yang dikonsumsi secara rakus dan serakah pada saat massa menelan ampasnya sendiri dan mereka tidak ditemukan lagi dimana kuburan massanya).

Teror sebagai akhir dari mesin ejakulator malapetaka yang tidak menyisakan sedikitpun bukti kehancuran darinya. Di belahan dunia Selatan, teror atau kekerasan nyata dan imajiner mampu menciptakan serangan menantang dari rangkaian peristiwa-peristiwa rancu dengan menyediakan bom waktu serupa bom bunuh diri yang getarannya tidak dapat menjangkau wilayah penularan tele-virus global yang mematikan (mitos tentang mesin abstrak yang tidak berbentuk dan bertempat menciptakan penderitaan dan kesenangan untuk saling menetralisirkan, bahkan menghancurkan) sebelum jatuh korban yang tidak diharapkan.

Tetapi, aura kebahagiaan akan berakhir seiring dengan permintaan obyek-obyek yang dikonsumsi berlimpah-limpah dari fantasi silih-berganti mendompleng ditengah bencana global yang secara otomatis tidak mendekati dunia kita saat ini dengan sesuatu yang ditinggalkan oleh hibriditas yang keropos melalui bunuh diri di dalam perhitungan kadaluarsa dari akhir zaman; suatu titik tolak seketika menjadi titik balik yang tertunda akibat tercium bau malapetaka. Orang yang mengubur dirinya dengan teknologi-layar digital dan bermain dengan arus modal-uang untuk membiayai rekayasa malapetaka, tanpa simulasi.

Dibalik hibriditas non-manusia (mesin perang menciptakan hasrat atau kesenangan untuk membunuh) yang disalurkan melalui kantong-kantong hampa udara membuat orang melayang-layang tanpa mampu kembali pada titik tolak, titik dimana ia berurai menjadi jaringan agen-agen metamorfosis malapetaka. Kehingar-bingaran teater kekerasan nampak tidak berujung pangkal, seperti perjuangan Palestina bergerak antara komedi dan tragedi, genosida dan suisida/bunuh diri secara “nyata” dan “simbolik”.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply