(Catatan kecil soal Underpass Makassar)
Oleh : Mahram Mubarak*
Mega proyek underpass Makassar yang terletak di simpang lima kecamatan Mandai akhirnya rampung dikerjakan. Tepatnya minggu, 18 Juni 2017, hampir sebulan yang lalu underpass secararesmi dapat di lalui oleh para pengendara. Underpass ini memiliki panjang sekitar 1.050 meter dengan konstruksi terowongan 110 meter. Anggaran yang digunakanuntuk membiayai proyek ini berasal dari APBN multiyears 2015-2017 senilai 169,63 miliar.
Meraya(p) di jalan
Alasan utama direalisasikannya megaproyek underpass adalah kemacetan. Kemacetan menjadi salah satu indikator penentu dalam sebuah proyek pembangunan jalan. Salah satu variable penting dalam penataan kota adalah jalan. Jalan menjadi sarana distributive antar kota. Melalui jalan, akses komoditas antara pelabuhan ke pasar bias terhubung, juga antara bandara dan pabrik. Begitu pula para pekerja dan perusahaan, pegawai dan kantor, mahasiswa dan kampus, serta turis dan objek wisata.
Selain fungsionalitas dari jalan sebagai koneksi, jalan juga dihuni oleh pencari sesuap makan. Para pengemis dan kaum miskin menggunakan jalan sebagai tempat mereka mengais rezeki. Untung-untung tidak terjerat rasia Satpol PP.
Belum berhenti sampai di situ, tepat di simpang lima bandara, jalan juga tidak hanya sekedar bising dengan suara knalpot dan klakson kendaraan, tapi juga lengking dengan lagu-lagu unik oleh para pengamen. Kontras dengan suara musik, pinggir jalan juga dipenuhi dengan spanduk kegiatan, baliho partai politik, dan pamphlet iklan produk.
Secara tidak sadar sebenarnya kita sedang meraya(p) di jalan. Istilah yang terakhir inipenulisperolehketikabincangpublikdengan para intelektual Makassar di kampung bukuIninnawa. Bahasannya juga tentangjalanraya, proyekswasta, pasardlsb. Muhammad Ridha, salahsatu pembincang dan Dosen Sosiologi UIN Alauddin Makassar menuturkan bahwa, sikap kita terhadap fenomena kompleks perkotaan bergantung pada pilihan rasional kita (rational choice).
Jalan dan Variabel Manusia
Berangkat dari pilihan rasional itulah maka segera harus disadari bahwa setiap pembangunan dan penataan kota dengan dalih kepentingan rakyat, variable kemanusiaan mesti dimasukkan sebagai indikator utama. Sebab manusialah yang akanmeraya(p)kan dan menghidupkan kota, termasuk jalan raya.
Proyek underpass yang dikerjakan oleh PT. Adhi Karya dan PT. Wijaya Karya adalah upaya pemerintah melunasi keresahan rakyat tentang kemacetan. Tetapi ada keresahan lain yang timbul akibat proyek ini, yaitu para pedagang di pasar Mandai. Pada tahun 2015 yang lalu, penggusuran dan pemunduran pedagang pernah bersitegang dengan pihak PU dan kontraktor karena urusan pelebaran jalan.
Setelah proyek ini hamper selesai riuh pasar masih terdengar. Tentu ini bukan sikap protes terhadap pedagang yang abai dengan aturan, tetapi justru tawaran kritis terhadap pemerintah yang belum mengkalkulasi variable kemanusiaan tentang apa yang disebut budaya berbelanja masyarakat.
Menyebarnya pasar-pasar modern seperti mall yang dibangun di daerah Daya dan Maros dan tersebarnya minimarket misalnya, sekalipun memiliki kelebihan seperti efektivitas lahan dan efisiensi waktu transaksi, yang dihitung sebagai percepatan laju pembangunan kota, tetapi pasar modern ini tidak menghitung aspek budaya.
William Cummings dalam The Makassar Annals (2011) mencatat beragam jenis bahasa tutur oleh masyarakat Makassar baik yang diperoleh melalui interaksi politik kerajaan, ritual keagamaan, maupun komunikasi sehari-hari. Hal ini dapat berarti bahwa masyarakat Makassar adalah masyarakat tutur (paccarita). Dalam berbelanja misalnya, pembeli akan selalu berinteraksi dengan penjual, baik karena adanya tawar-menawar maupun kedekatan emosional dengan si pedagang. Dan sikap berbudaya semacam itu hanya dapat diperoleh pada pasar tradisional. Pasar modern justru menggunting ranah tersebut atas nama efektivitas.
Merayakan Underpass Kita
Merayakan underpass adalah semarak kesuksesan terwujudnya jalanan yang tidak macet. Ketidakmacetan itu menjad iimpian warga yang hamper setiap hari melewati simpang lima bandara. Harapan barang komoditi agar didistribusi dengan cepat, harapan agar kita tidak terlambat kekantor ataupun ke kampus, harapan itu semua adalah aspek terlupakan dari pembangunan proyek underpass.
Simpang lima bandara akan semakin ramai dilalui oleh pengguna jalan. Para pengguna jalan tidak lagi di hantui oleh momok yang menakutkan akan kemacetan. Tetapi bagi mereka yang berpikir akan dengan cepat meringkus bahwa kemacetan bukan soal pelebaran jalan, tetapi demokratisasi terhadap system penataan kota.
Sebagai contoh misalnya, kota Reykjavik di Islandia atau Copenhagen di Denmark membangun kotanya dimana public harus menikmati kota. Copenhagen sebagai kota paling bahagia di dunia, mempunyai aktivitas publik yang ramai dilakukan di luar ruangan. Kota yang paling baik ialah kota dimana kaum lansia dan difable bisa menikmati suasana kota.
Kemacetan adalah permasalahan yang kompleks. Kemacetan bukan hanya persoalan kendaraan dan jalan,tetapi juga soal moral, psikologi, penghayatan filosofis dlsb. Selainitu, jalan juga tidak hanya dihuni olehkendaraan tetapi juga dihuni oleh orang. Entah ia sebagai pengemis, pengamen, pedagang, pencopet, begal dlsb.
*) Penulis adalah koordinator Lingkar Studi Filsafat dan Humaniora (LSFH) Kota Makassar.