Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO,- Saya pribadi patut untuk senantiasa bersyukur. Percikan, lintasan ide dan/atau inspirasi judul senantiasa memancar dalam kondisi apapun. Sebagaimana judul di atas, tiba-tiba saja melintas pada saat sedang berdzikir sebelum berdoa, setelah salam pada saat salat isya di masjid. Apa yang terjadi ini, sebenarnya dalam law of attraction (hukum tarik menarik) sudah menjadi keniscayaan bahwa, apapun yang dibiasakan seringkali memantik intuisi di baliknya—relevan dengan istilah “percikan inspirasi”.
Siapa pun tidak akan meragukan dan membantah bahwa, setiap orang akan senantiasa berusaha bergerak atau pun meniti jalan menuju sukses. Hanya saja, setiap orang akan memiliki defenisi, dan gambaran kesuksesan yang berbeda-beda. Begitu pun cara untuk mencapainya, setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda.
Memahami ulasan menarik dari Dr. Joe Dispenza dalam buku karyanya Breaking The Habit of Being Yourself, bisa saja ada orang yang cara pandangnya dipengaruhi oleh Descartesian, dan Newtonian, sehingga dalam meniti kesuksesannya, ditempuh dengan cara-cara yang harus praktis, material, operasional-mekanistik, dan bersifat duniawi semata. Bahkan dimensi psikologis pun, seperti bagaimana pikiran, perasaan, dan alam bawah sadar memberikan pengaruh, sangat pelit untuk dilibatkan dan disadari.
Mereka bergerak hanya dipermukaan ruang imanen—ruang-waktu empirik, sama sekali tidak menyentuh dimensi transenden atau dinding langit teologis. Bahkan dalam bahasa lain, oleh seseorang pernah terungkap “Jangan sibukkan Allah dalam urusan target hidupmu”. Bisa saja ini adalah refleksi dari cara pandang “hasil tidak akan mengkhianati proses”. Di mana cara pandang atau prinsip ini, bisa berpotensi membuat diri terpeleset dalam jurang “kesombongan” dan sikap yang jauh dari kesadaran ilahiah.
Sebagai orang yang beragama, memiliki keimanan atau keyakinan terhadap Allah, idealnya dalam meniti dan berjalan menuju kesuksesan, bukan hanya dengan cara-cara yang praktis, pragmatis, material dan duniawiah semata. Memfungsikan dimensi psikologis sampai pada pelibatan Kekuasaan dan Kasih-Sayang Allah adalah bagian yang tidak terlupakan, bahkan dipandang sebagai sesuatu yang paling penting.
Saya masih teringat dengan seseorang, yang sangat khawatir dalam mencapai harapannya, hanya karena penilaian adanya rintangan eksternal yang amat berat. Saat itu, saya spontan merespon bahwa, percuma kita salat, jika hal seperti itu dipandang sebagai rintangan. Ada Allah yang punya hak prerogatif, punya kuasa, dan kemampuan untuk mengintervensi sunnatullah atau pun yang diistilahkan law of attraction. Bahkan jika kita menyadari atas dasar keimanan, maka sunnatullah dan/atau law of attraction pun, bagian dari ciptaan Allah.
Manusia dalam upaya mencapai kesuksesannya, bisa dipastikan dalam kondisi tertentu akan memiliki atau minimal merasakan keterbatasan-keterbatasan tertentu, yang bisa memengaruhi ikhtiarnya minimal memengaruhi semangatnya. Ini adalah sesuatu yang manusiawi. Atas dasar, alasan keterbatasan inilah, sehingga idealnya diri kita senantiasa terjalin relasi dengan sesuatu yang tak terbatas dan tak memiliki keterbatasan: yaitu, Allah.
Jalinan atau relasi terbaik dengan Allah itu adalah pada saat diri kita sedang salat. Apalagi telah ditegaskan dalam ajaran Islam bahwa salat adalah kunci dari segala ibadah dan kebaikan yang dilakukan. Allah pun menegasakan dalam Al-Qur’an terkait peran straegis dari salat sebagai wadah untuk mendapatkan sesuatu dalam upaya menutupi keterbatasan. “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat”, QS. Al-Baqarah [2]: 45.
Atas dasar inilah, saya menegaskan—sebagaimana judul di atas—“Meniti sukses di atas bentangan sujud”. Artinya, upaya mencapai kesuksesan, harus pula dimaksimalkan melalui salat yang dilakukan. Bentangan sujud pada judul di atas, maksudnya adalah salat yang dilakukan secara maksimal, baik secara kuantitatif, terutama secara kualitatif.. Bulan Ramadan, selain puasa, intensitas salat yang idealnya dilaksanakan lebih banyak, meskipun pada bulan-bulan lainnya berpotensi hampir sama.
Ketika pakar psikologi maupun pakar pengembangan diri hampir semuanya bersepakat bahwa pengaruh “pikiran atau alam bawah sadar” sebesar 88%, dan pengaruh “pikiran atau alam sadar” hanya 12% dalam mencapai (apapun) kesuksesan, maka sesungguhnya banyak hal dalam salat yang bisa menjadi sesuatu untuk semakin menguatkan alam bawah sadar.
Ketika kita mengucapkan takbir, Allahu akbar (Allah Maha Besar), diulang beberapa kali dalam sehari-semalam melalui salat, idealnya ini menjadi big data dalam alam bawah sadar dan memengaruhi proses algoritmik, sehingga diri kita akan mampu melahirkan sikap percaya diri yang besar. Selain itu, pengulangan pengucapan takbir itu, berdasarkan law of attraction (hukum tarik menarik) atau pun hukum habits, idealnya membentuk karakter positif, sesuai atau relevan dengan makna yang terkandung, yang diserap, dan tersimpan. Selanjutnya makna takbir yang tersimpan dalam alam bawah sadar bisa terkonversi menjadi bentuk keberanian dalam perjuangan menggapai sukses.
Berapa kali kita membaca al-fatihah sehari-semalam melalui salat yang dikerjakan? Pertanyaan selanjutnya,—salah satunya saja—berapa kali kita membaca iyyaka na’budu wa’iyyaka nasta’in(u), “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan?”
Intensitas atau pun bisa diistilahkan repetition (pengulangan) bacaan al-fatihah tanpa kecuali bacaan ayat kelima tersebut, idealnya tersimpan dalama alam bawah sadar orang-orang yang sering melaksanakan salat dengan niat yang kuat dan hati yang ikhlas. Apapun yang tersimpan dalam alam bawah sadar, jika kita memahami ilmu psikologi, maka akan disadari bahwa itu akan memengaruhi sikap dan perilaku kita. Jadi, salah satunya akan lahir sikap yang memandang bahwa rekomendasi terbaik yang harus diperoleh dalam menggapai sukses adalah rekomendasi dari Allah.
Minimal dari bacaan takbir dan al-fatihah saja yang intens dibaca, dan berdasarkan mekanisme kerja alam bawah sadar,—bacaan itu akan tersimpan di dalamnya–maka dalam jalan menuju sukses, yang dimaknai secara metaforis sebagai “bentangan sujud”, akan menyiapkan banyak hal fungsional yang menjadi modal besar. Selain itu, sebagai upaya meniti di mana diri kita butuh pegangan, maka minimal dari keduanya menjadi pegangan yang amat kuat untuk membuat diri kita—terutama secara psikologis—tetap stabil, sabar, kuat, semangat, dan berupaya tetap berjalan di atas rel yang diridoi Allah.
Tidak bisa dimungkiri, ada saja orang-orang yang dalam mencapai kesuksesan, menggunakan cara-cara yang tidak diridoi Allah. Jika itu terjadi bisa dipastikan menyalahi spirit, makna dan nilai dari takbir dan al-fatihah.
Minimal dengan takbir dan al-fatihan sebagai bentangan sujud dalam meniti sukses, akan menyiapkan apa yang saya maknai dan istilahkan sendiri dengan “konversi perasaan”. Sebagai contoh, bisa saja dalam berjuang menggapai sukses, secara manusiawi kita akan mendapatkan sesuatu yang terkadang membuat diri galau atau risau, tetapi dengan spirit takbir dan al-fatihah, kita akan mampu mengonversi perasaan itu sebagai petunjuk untuk semakin dekat kepada Allah.
Takbir dan al-fatihah pun akan mengalami proses konversi menjadi benteng pertahanan yang kokoh. Dalam pandangan saya—berdasarkan rumusan sendiri—diri kita memiliki dua benteng pertahanan: pertama, benteng “psiko-materialistik-pragmatik”. Benteng ini melandaskan diri atau pun mentalnya hanya sebatas modal material dan pragmatis. Dalam pandangan saya, ini cepat bobol.
Kedua, benteng “psiko-religius-spiritualistik”. Dengan benteng ini, diri kita dilandasi atas nilai-nilai agama dan ketuhanan, termasuk pula di dalamnya terdapat satu kemampuan untuk mengambil ibrah atas setiap kejadian yang dialami. Sehingga bagi si pemilik benteng ini, selain memiliki rasa optimis tinggi, dalam kondisi terburuk berdasarkan pandangan orang lain pun, dirinya masih akan mampu melihat titik cerah, titik kebaikan, dan ibrah yang sangat berharga.
Jadi sebagai manausia yang beriman, idealnya kita pun harus meniti di atas bentangan sujud dalam menggapai sukses. Namun, tulisan ini pun sama sekali tidak mereduksi pentingnya ikhtiar yang bersifat praktis, material, teknis, dan operasionalistik. Sebagaimana dalam buku Jika Tuhan Maha Kuasa, Kenapa Manusia Menderita? Karya Ulil Abshar Abdalla, ditegaskan pula “Ikatlah, baru engkau tawakal”.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023