
Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH. CO – Saya memahami dan menyadari dengan baik, bahkan ditopang oleh keyakinan yang sangat kuat bahwa dimensi psikologis-spiritualitas manusia posisinya lebih tinggi dan pengaruhnya sangat kuat dan besar ketimbang dimensi fisik-biologis, termasuk hal material yang berada di luar diri manusia. Namun, saya pun meyakini bahwa dimensi psikologis-spiritualitas ini harus ditanamkan dan dikonstruksi di dalamnya suatu nilai, pandangan, dan ajaran yang positif, produktif, dan konstruktif pula.
Adam ketika diciptakan oleh Allah dan diberi mandat sebagai khalifah di muka bumi, Allah membekalinya dengan pengetahuan tentang segala sesuatu, bukan dengan senjata canggih yang berwujud benda atau material. Begitupun Rasulullah Muhammad Saw yang sering mengasingkan dirinya ke Gua Hira untuk menyampaikan curhatannya kepada Allah tentang kondisi kota Makkah yang jahiliyah pada saat itu, Allah pun tidak memberikan sesuatu yang bersifat material—padahal jika Allah mau, Allah bisa memberikan mukjizat kepada Muhammad Saw berupa senjata yang lebih canggih dan hebat daripada tongkat Musa. Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar kepada Muhammad Saw, dengan perintah pertamanya adalah iqra.
Saya masih ingat—sebulan yang lalu, tepatnya tanggal 4 Agustus 2025—di dalam forum Darul Arqam Madya Nasional IV yang dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jeneponto, saya mengawali materi Risalah Islam Berkemajuan (RIB) dengan mengatakan “Sebelum memahami dan mengimplementasikan Gerakan Islam Berkemajuan dan Perkhidmatan Islam Berkemajuan—sebagai bagian dari kerangka besar RIB, maka yang utama dan pertama yang harus dipahami bahkan sejatinya harus menyala dalam diri, adalah Konsep Dasar Islam Berkemajuan”.
Sering kita salah dalam melangkah, kita terburu-buru dikejar waktu, dan disemangati oleh nafsu untuk ingin segera melakukan implementasi dari berbagai program dan kegiatan. Kita tidak terlebih dahulu untuk memahami dengan baik, apa yang menjadi konsep dasarnya, nilai yang menjadi basisnya, dan makna yang menjadi lumbung spiritnya. Kita pun sering terjebak bahwa Kiai Dahlan itu adalah manusia amal dalam pemahaman dan pemaknaan yang keliru, sempit, dan dangkal, sehingga kita pun maunya kerja, kerja, dan kerja, mirip tagline Jokowi. Padahal Kiai Dahlan tidak seperti itu.
Kiai Dahlan, itu sudah tuntas dalam dirinya tentang pengetahuan, ilmu, nilai, pemahaman, pandangan, dan kesadaran tentang segala sesuatu yang akan dilakukannya atau diimplementasikan dalam bentuk amal. Coba bayangkan surah Al-Ma’un saja, Kiai Dahlan harus mengajarkan kepada murid-muridnya selama tiga bulan. Akhirnya apa yang diulang-ulang itu selama tiga bulan, kini menjadi etos utama dalam Muhammadiyah dan bahkan terjadi proses transformasi progresif dalam bentuk pelembagaan amal usaha Muhammadiyah yang tersebar di seluruh pelosok negeri bahkan dunia dan manfaatnya dirasakan oleh banyak orang.
Saya ingat pernyataan Prof. Hilman Latief (2015) “Gagasanlah yang menjadi realitas yang sebenarnya bila kita menggunakan cara berpikir yang bersifat neo-platonistik. Sebuah organisasi hanya dapat menjadi besar bila diiringi oleh etos dan dijiwai oleh gagasan yang besar”. Dijelaskan lebih lanjut “Tidak sedikit amal usaha Muhammadiyah maupun lembaga-lembaga milik organisasi yang lain mengalami kemandekan dan bahkan kemunduran, karena etos dan gagasan para penggeraknya sudah ‘habis’ dan tenggelam dalam rutinitas kegiatan praktis dan taktis namun kadang tidak substantif.
Hal senada diungkapkan oleh Prof. Ahmad Najib Burhani (2001) “…karena beberapa alasan, seperti, bila kita selalu terjebak pada tataran praktis dan tidak mau berada pada tataran diskursif atau wacana, maka alih-alih kita bisa menciptakan dunia yang semarak, alam yang indah, manusia yang penuh inovasi dan kreasi, justru sebaliknya kita bisa terjebak pada paham pembangunanisme yang mengukur segala hal dengan materi”. Yang menarik pula dari Moh. Mudzakkir.
Mudzakkir (2014) mempertegas “Secara teoritik bahwa sebuah gerakan harus memiliki landasan filosofis, paradigma, ideologi, ataupun teori gerakan sebagai dasar dalam bergerak. [Berikutnya] realitas empirik; bahwa sebuah gerakan yang tidak memiliki basis filosofis yang radikal (mendalam dan kuat menghujam) dan sistematik akan mengalami pendangkalan arah tujuan gerakan.”
Dari gambaran-gambaran di atas termasuk dari pandangan-pandangan cemerlang dari tiga kader Muhammadiyah andalan yang saya sebut dan kutip pandangannya di atas, maka sejatinya RIB, khususnya “Konsep dasarnya” IB (baca: Islam Berkemajuan) harus dinyalakan, dikonstruksi dalam jiwa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Sebab IMM adalah candradimuka yang yang episentrumnya gerakan, pergerakan, keilmuan, dan intelektualitas, tanpa melupakan spiritualitas dan/atau hal-hal yang transendental.
Menyalakan konsep dasar IB dalam jiwa IMM, itu berarti mereka akan memandang penting kehadiran “gagasan” sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh besar dalam berbagai gerak dan pergerakan yang dilakukan. Menyalakan konsep dasar RIB—sebagaimana penegasan Prof. Najib, itu berarti mereka kelak tidak akan terjebak pada konsep pembangunanisme yang berikutnya segala sesuatunya diukur dengan materi. Menyalakan konsep dasar IB dalam jiwa IMM, itu pun berarti—sebagaimana pandangan Mudzakkir, itu akan mengukuhkan landasan filosofis, ideologis, dan paradigma dalam setiap gerakan agar tidak kehilangan kendali dan arah dalam bergerak atau setiap pergerakan dan gerakan yang dilakukan.
Konsep dasar IB, berdasarkan pemahaman mendalam saya, itu bisa menjadi landasan filosofis, basis nilai yang kukuh bahkan menjadi energi utama yang menggerakkan. Dari konsep dasar Islam Berkemajuan sebagaimana bisa ditemukan dalam dokumen resmi Muhammadiyah, Risalah Islam Berkemajuan (2023), itu menegaskan dua hal yaitu karakteristik Islam Berkemajuan (IB) dan manhaj IB.
Membaca karakteristik IB, saya sampai merenung dan membayangkan betapa dahsyat diri seorang kader baik secara personal maupun secara kolektif-kelembagaan jika seandainya hal ini mengakar kuat dalam dirinya. Bisa dipastikan hidupnya akan senantiasa positif, produktif, konstruktif, fungsional, kontributif, dan berorientasi masa depan dunia-akhirat.
Dalam RIB terkait karakteristik Islam Berkemajuan, kita akan menemukan rumusan yang disebut dengan “Karakteristik Lima”: Secara singkat Karakteristik Lima itu adalah: (1) Berlandaskan pada tauhid (al-Mabni ‘ala al-tauhid); (2)Bersumber pada Al-Qur’an dan al-Sunnah (al-ruju’ila al-Qur’an wa al-Sunnah); (3)Menghidupkan Ijtihad dan Tajdid (Ihya’al-Ijtihad wa al-Tajdid); (4) Mengembangkan Wasathiyah (Tanmiyat al-Wasathiyah); dan (5) Mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.
Karakteristik Lima yang pertama, berlandaskan pada tauhid, ini bukan hanya mengajarkan tentang keyakinan kepada Allah, termasuk bagaimana menghindari segala hal yang mengarah kepada perbuatan syirik. Tetapi, dari tauhid ini mampu memberikan energi perjuangan untuk membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan dan penghisapan antarmanusia. Tauhid ini pun merefleksikan dan mensyaratkan kristalisasi pikiran dan sikap kritis dalam membaca realitas yang timpang dan penuh kemungkaran.
Ditegaskan pula dalam RIB, tentang Karakteristik Lima yang pertama ini bahwa tauhid pun akan mampu memantik keikhlasan dalam beramal, berdakwah, dan membuang jauh-jauh kesombongan. Sehingga jika ini menyala dalam jiwa kader IMM mereka akan senantiasa ikhlas dalam setiap pergerakan atau gerakan yang dilakukan. Mereka pun akan jauh dari sikap atau gaya elitis yang berpotensi di dalamnya menyeret diri ke dalam jurang kesombongan bahkan sesuatu yang paradoks atau menjadi antitesa dari keikhlasan, Sebab, biasanya mereka yang bergaya elitis, itu akan senantiasa “ada udang di balik batu” setiap gerak-gerik dan langkahnya.
Dari Karakteristik Lima yang kedua, ktia bukan hanya memberikan pemahaman bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama untuk memahami dan mengembangkan Islam, serta Al-Qur’an sebagai sumber keyakinan, pengetahuan, hukum, norma, moral, dan inspirasi sepanjang zaman. Tetapi, juga menumbuhkan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya akal yang tinggi dan ilmu pengetahuan yang luas agar semakin banyak atau kaya makna yang bisa ditemukan dari Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Selain hal di atas, dan ini juga sangat penting mengakar dalam diri adalah bahwa kedua sumber utama Islam tersebut senantiasa mengajarkan secara bersamaan tentang kebenaran dan kebaikan. Membaca dan memahami diri pun terutama dari struktur dan eksistensi manusia, maka perangkatnya pun telah dihadirkan dalam diri, sehingga menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk bergerak dengan dua indikator utama kualitas sikap, perbuatan atau amal kita pada kebenaran dan kebaikan. Meskipun itu baik, tetapi tidak mengandung dimensi kebenaran sebaiknya dihindari, begitu pun sebaliknya jika sudah berada dalam koridor kebenaran sebaiknya caranya pun ditempuh dengan memperhatikan aspek kebaikan.
Kebenaran beroperasi dalam dimensi akal melalui logika. Kebaikan beroperasi dalam dimensi kalbu yang bisa diukur dari perspektif etika. Dalam garis integrasi manusia-Islam, kita bisa menemukan alur yang menarik, yaitu: akal, logika, dan ilmu; rasa, etika, dan iman; dan terakhir jasad, estetika, dan amal. Sampai di sini pun, kita bisa menemukan penekanan, ketika tauhid mengobarkan semangat, pikiran, dan jiwa kritis dalam melihat ketimpangan, maka semestinya pergerakan yang dilakukan tetap dalam bingkai yang benar, baik, dan indah agar semua selaras dengan eksistensi manusia dan pilar Islam.
Karakteristik Lima yang ketiga, yang menegaskan ijtihad dan tajdid pada dasarnya membangun pemahaman dan kesadaran untuk memaksimalkan fungsi akal murni, ilmu pengetahuan, dan teknologi secara selaras dan terus menerus agar melahirkan pemahaman agama yang sesuai dengan tujuan agama dan problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia. Kurang lebih seperti ini yang ditegaskan dalam RIB tersebut. Dari hal ini, saya pribadi melihat untuk tidak terjebak pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara membabi-buta sehingga ketergantungan ini justru akan mendangkalkan akal murni diri kita. Meskipun demikian, menjaga akal untuk tetap eksis tidak serta-merta juga membangun kesimpulan untuk tidak memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada.
Karakteristik Lima yang keempat, pada intinya adalah wasathiyah mengajarkan sikap hidup tengahan. Tidak berlebihan dan condong ke satu kutub ekstrim tertentu. Karakteristik Lima yang keempat ini mengajarkan sikap sosial berupa: (1) tegas dalam pendirian, luas dalam wawasan, dan luwes dalam sikap; (2) menghargai perbedaan pandangan atau pendapat; (3) menolak pengkafiran terhadap sesama muslim; (4) memajukan dan menggembirakan masyarakat; (5) memahami realitas dan prioritas; (6) menghindari fanatisme berlebihan terhadap kelompok atau paham keagamaan tertentu; dan (7) memudahkan pelaksanaan ajaran agama.
Karakteristik Lima yang kelima ini adalah hal yang sangat penting untuk terus menyala dalam diri, yaitu mewujudkan visi kerahmatan dalam kehidupan nyata. Yang kelima ini bisa dikontekstualisasi ke dalam kondisi bangsa dan negara Indonesia hari ini. Andaikan semua pihak mengedepankan misi kerahmatan dalam kehidupan, maka tidak akan hadir anggota DPR yang memicu atau memantik kemarahan mahasiswa, buruh, dan masyarakat secara umum. Sebaliknya pun demikian, ketika spirit kerahmatan mewarnai diri kita semua, maka demonstrasi yang pelaksanaannya dijamin secara konstitusional, tidak akan pernah berujung pada suatu tindakan yang berlebihan yang melampaui batas kewajaran, dengan pembakaran fasilitas publik dan berujung pula pada korban jiwa, orang-orang yang tidak berdosa.
Ini sedikit catatan, mungkin hanya kurang lebih lima persen dari keseluruhan RIB. Begitu pun tulisan ini tidak sama secara keseluruhan dengan materi RIB yang saya sampaikan di hadapan para peserta DAMNAS yang kurang lebih berjumlah empat puluh orang yang berlangsung pada bulan Agustus 2025, sebulan yang lalu. Apalagi tulisan ini baru mengulas Karakteristik Lima, padahal tidak kalah pentingnya untuk memahami manhaj Islam Berkemajuan.
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co