Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
MuhammadiyahTokoh

Moehammadijah Group Labakkang: Menelisik Asal Usul Masuknya Muhammadiyah ke Pangkep

×

Moehammadijah Group Labakkang: Menelisik Asal Usul Masuknya Muhammadiyah ke Pangkep

Share this article

Oleh: Abdul Kahar*

Pasca kekalahan kerajaan Gowa yang ditandai dengan perjanjian Bongayya pada 1667 membuat Sulawesi Selatan sedikit demi sedikit diakuisisi oleh pemerintah kolonial Belanda. Kekalahan tersebut tidak menjadi jaminan atas tunduknya kerajaan-kerajaan lokal yang ada, berbagai perlawanan di daerah juga masih terus berlangsung. Salah satu perlawanan besar yang membuat Belanda kocar kacir adalah perlawanan pasukan Andi Maruddani Karaengta Bonto-Bonto di daerah Pangkajene, khususnya di Labakkang.

Example 300x600

Perlawanan Andi Maruddani (1868-1877) di Labakkang membuat Belanda curiga terhadap I Mananggongi Dg. Pasawi sebagai penguasa Labakkang yang akhirnya diasingkan ke Bandung pada 1892 dengan tuduhan pembunuhan dua orang warga sipil. Memasuki awal tahun 1900-an, bangsawan Labakkang selepas I Mananggongi menampakkan sikap permusuhan yang nyata terhadap Belanda dengan menjalin hubungan terhadap kelompok antikolonial seperti Gowa dan Bone. Olehnya, pada 9 Juli 1905 atas perintah Gubernur Celebes en Onderhoorigheden, I Paga dijemput oleh Letnan Teunissen untuk dijebloskan ke penjara Makassar yang ada di Rotterdam dengan tuduhan pembunuhan. Meski tidak terbukti, I Paga akhirnya dibawa oleh kapal Riemsdijk menuju Surabaya untuk segera dilanjutkan menuju tempat pembuangan di Padang, pantai barat Sumatera melalui keputusan pemerintah pada tanggal 16 Februari 1906 no. 26.

Pengasingan I Paga bertepatan dengan kondisi dimulainya pertumbuhan Gerakan Islam Modernis di Sumatera Barat. Oleh karena pengasingan yang cukup lama, maka ia disusul oleh anaknya, Sewang Dg. Muntu setelah menyelesaikan pendidikannya di vervolgschool Pangkajene. Selama di Sumatera Barat, Muntu juga pernah belajar di Thawalib milik Haji Rasul, di sanalah Muntu muda, seorang anak bangsawan Labakkang bersentuhan erat dengan gerakan modernis yang lahir dari embrio Thawalib seperti Muhammadiyah. Tidak ada informasi yang menerangkan bahwa apakah Muntu sudah menjadi anggota Muhammadiyah atau belum, yang jelas, Muntu sudah mengenal gerakan pendidikan reformis selama berada di Sumatera Barat.

Kondisi Makassar sebagai pusat pemerintahan Indonesia Timur di awal tahun 1900-an tidak berbeda jauh dengan Sumatera Barat. Di Makassar, gerakan Islam modernis juga sudah mulai tumbuh. Pada 1926, Muhammadiyah berhasil berdiri lewat perantara seorang pedagang batik dari Madura bernama Mansyur Al-Yamani. Ia berhasil menawarkan Muhammadiyah kepada Kiai Abdullah, setelah sebelumnya berkonflik paham dengan organisasi lamanya, Shiratal Mustaqim. Pada saat yang sama, ketika vergadering pembentukan Muhammadiyah dilaksanakan, Sewang Dg. Muntu, pemuda turunan bangsawan Labakkang yang baru saja pulang dari Sumatera Barat ikut andil dalam rapat pembentukan Muhammadiyah pada malam 15 Ramadan 1344 H tersebut.

Terbentuknya Moehammadijah Group Labakkang

Setahun setelah terbentuknya Muhammadiyah di Makassar, tokoh-tokoh masyarakat yang berada di Labakkang juga menyadari kondisi sosial yang memilukan. Muntu yang sebelumnya sudah terlibat dalam pembentukan Muhammadiyah grup Makassar kembali menjadi inisiator gerakan pendidikan, ia berkoordinasi dengan berbagai tokoh yang ada di sana, tujuannya untuk mendidik generasi Labbakkang menjadi berperadaban.

Inisiatif Muntu ingin mendidik generasi di daerahnya berawal dari diskusinya dengan saudara Machmoed pada awal 1927 terkait kemajuan Islam di tanah Djawa dan Mengkasar. Diskusi tersebut membahas tentang pentingnya keberadaan lembaga pendidikan untuk kemajuan Islam. Setelah beberapa kali mengadakan veergadering maka disepakatilah untuk didirikan perkumpulannya terlebih dahulu dan perkumpulan yang dimaksudkan adalah Moehammadijah.

Muhammadiyah grup Labakkang berhasil didirikan pada 9 Oktober 1927. Jika dilihat dari komposisinya, awal kepengurusan diisi oleh para tokoh yang ada di Labakkang, mereka adalah: Haji Andi Sewang Daeng Muntu sebagai voorsitter, Muhammad Daeng Nojeng sebagai vice voorsitter, Machmud Daeng Mamase sebagai secretaries, Haji Masyud sebagai penningmeester, Baso Daeng Bombong sebagai commisaris, Sayyid Haji Hamid sebagai commisaris, Abdurrahman Daeng Sila sebagai commisaris.

Mendirikan Masjid dan Madrasah Muhammadiyah Labakkang

Muhammadiyah yang baru saja berdiri sebagai wadah pergerakan di Labakkang melakukan banyak terobosan kontributif baru di tengah-tengah masyarakat. Di awal keberadaannya, Muhammadiyah berhasil mendirikan masjid di daerah Bontonompo, masjid inilah yang menjadi tempat syiar utama di awal-awal keberadaan Muhammadiyah, hanya saja masjid ini sudah dirobohkan dan dipindahkan ke tempat lain.

Setelah mendirikan masjid, pengurus Muhammadiyah berhasil mendapatkan tanah wakaf dari Andi Hilal Karaengta Ujung dan menginisiasi lahirnya madrasah Muallimin di Labakkang. Keberadaan madrasah dianggap sebagai solusi utama atas keresahan para tokoh dalam melihat kondisi generasi, terlebih lagi untuk tujuan memajukan agama. Melalui Muhammadiyah dengan madrasahnya, para tokoh berhasil mendatangkan guru-guru penganjur agama Islam dari Jawa, di antaranya Kiai Bakri dan Kiai Abdurrauf; juga Buya Hamka dikabarkan pernah berkunjung dan berpidato di hadapan para Bestuur Moehammadijah group Labakkang.

Persebaran Moehammadijah di Wilayah Pangkep

Wilayah Pangkep sebelum kemerdekaan terdiri dari beberapa kerajaan otonom, seperti Labakkang, Segeri, Mandalle, Bungoro, Pangkajene, dan Balocci. Dari beberapa kerajaan tersebut, Labakkang adalah kerajaan paling adidaya jika dibandingkan dengan yang lain. Olehnya, berdirinya Muhammadiyah grup Labakkang adalah awal dari persebaran masif bagi Muhammadiyah ke beberapa kerajaan lokal sekitar.

Sewang Dg. Muntu sebagai voorsitter, selain berhasil menggait bangsawan Labakkang untuk bermuhammadiyah, ia juga berhasil mengajak para pemuka agama di Pangkajene seperti H. Muhadi, H. Parumpa, dan H. Abdul Hamid untuk menyebarkan Muhammadiyah. Melalui mereka, Muhammadiyah ranting Pangkajene, Bonto-Bonto, Segeri, dan Ujung Loe berhasil didirikan.

Keberadaan ranting tersebut juga berfluktuasi secara beragam. Ada ranting yang mengalami kenaikan dan penurunan namun tetap eksis dan bertahan, ada juga yang justru menurun dan tidak aktif lagi seperti ranting Segeri – menurut liputan koran Pemberita Makassar – yang berhasil didirikan kembali untuk yang kedua kalinya pada hari sabtu 25 November 1933.

* Abdul Kahar merupakan alumnus pada program pascasarjana jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Studinya fokus pada kajian peradaban dan pergerakan Islam lokal di Sulawesi Selatan. Saat ini, penulis aktif meneliti dan mendalami tokoh-tokoh pergerakan Islam, khususnya H.S.D. Moentoe sebagai salah satu tokoh sentral pergerakan Islam melalui Masyumi dan Moehammadijah Celebes Selatan tahun 1938-1957.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply