Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipLiterasiOpini

“OJO PEKOK” DALAM BERAGAMA

×

“OJO PEKOK” DALAM BERAGAMA

Share this article

Dr. Hadi Pajarianto

Sekretaris PD Muhammadiyah Palopo

Wong urip neng alam ndonya niki janji mboten pekok, pikiran digawe encer, senajan ra duwe ya bisa nyandhang, bisa madhang, bisa netepi kelumrahan. Ning nek wong pekok kancane setan. Nek mboten pekok setan ra doyan,” (Mbah Suparni).

Secara umum, makna dari tuturan ini adalah, “Orang hidup di dunia ini asal tidak gampang marah, pikiran tetap encer, meskipun tidak punya (harta) ya tetap bisa berpakaian, bisa makan, bisa mengikuti kelumrahan hidup. Namun kalau gampang marah akan menjadi teman setan. Kalau tidak gampang marah, setan tak berani mendekat”

Fenomena istilah “Pekok” yang dipopulerkan oleh Mbah Suparni dan viral di media sosial, sebenarnya adalah khasanah sosiologis idiom masyarakat Jawa, untuk menyebut dan menunjuk pada karakter yang labil dan mudah tersulut. Namun demikian, ia juga terkadang sebagai pelengkap persahabatan jika seseorang merajuk, marah, maka akan terlontar kalimat dari lawan bicaranya “Ojo Pekok” atau jangan ngambek, jangan marah, atau jangan sensitif. Itu adalah ujaran persahabatan, bukan ujaran kebencian atau penistaan terhadap seseorang. Tetapi, bagi orang yang benar-benar “pekok” (pemarah), kalimat Ojo Pekok (jangan marah) justru akan menjadi bensin menyiram amarahnya yang sudah mendidih dan menyala.

Selain itu, salah satu makna dari “pekok” dalam pergaulan keseharian adalah tukang ngambek, cepat tersinggung, dan gampang marah, walaupun terhadap persoalan sepele. Biasanya, orang yang pekok sangat sensitif terhadap ujaran atau pernyataan yang ditujukan padanya, kendatipun hanya gurau dengan maksud membina keakraban. Selain sensitif, sifat dasar pekok itu merelatifkan klarifikasi dan investigasi kalimat atau berita. Sehingga, apapun kalimat yang terdengar oleh telinganya ibarat obor yang siap membakar darahnya hingga mendidih. Kita menjadi ironis dengan hari ini, karena prasangka yang ditimbulkan berita yang sumir di linimasa begitu dahsyat. Tanpa bukti yang kuat dan investigasi yang mendalam, sebuah berita bohong akan cepat menyebar, dalam sekejab mengoyak tali persaudaraan yang telah lama dirajut. Bukankah tak ada bedanya masyarakat semacam ini dengan pemuja takhayul. Pemuja takhayul percaya sesuatu secara turun temurun, sedangkan pemuja prasangka dan opini percaya dari sumber yang tidak jelas.

Hasilnya, sejak pasca reformasi kita menjumpai bangsa Indonesia yang lahir, tumbuh, dan berkembang dari nilai kearifan lokal adat dan budaya; seperti gotong-royong (jawa), Kasiuluran (Toraja), Subak (Bali) dengan karakter dasar peramah, saat ini bergerak menuju bangsa yang pemarah alias pekok. Persoalan yang sepele, terkadang dapat menyebabkan kemarahan dan kekerasan masif dan destruktif. Sudah ratusan masjid, gereja, dan rumah ibadah terbakar akibat ideologi “pekok” yang diusung oleh sebagian orang. Kemarahan dan kekerasan menjadi pilihan tunggal penyelesaian suatu masalah. Akibatnya, sentimen primordial, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), begitu cepatnya tersulut. Memang, SARA menjadi sumber pemicu konflik yang paling ”anggun”. Penggunaan simbol-simbol agama merupakan konflik yang dampaknya paling rawan, masif, dan destruktif. Sebab, agama memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan pemeluknya, baik secara personal maupun sosial. Tidak mengherankan, dalam konflik agama, para pelakunya merasa faktor penggeraknya adalah tujuan mulia.

Pelajaran penting di masa perang Khandaq, umat Islam pernah ditantang duel Amr bin Abd Wad al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti. Nabi bertanya kepada para sahabat tentang siapa yang akan memenuhi tantangan ini. Para sahabat terlihat gentar. Nyali mereka surut. Dalam situasi ini Sayyidina Ali bin Abi Thalib maju, menyanggupi ajakan duel Amr bin Abd Wad. Melihat Ali yang masih terlalu muda, Nabi lantas mengulangi tawarannya kepada para sahabat. Hingga tiga kali, memang hanya Ali yang menyatakan berani melawan jawara Quraisy itu. Amr bin Abd Wad menanggapinya dengan tertawa mengejek. Namun faktanya, selama perkelahian nasib mujur tetap ada di tangan Ali. Usai paha kekarnya disabet pedang, Amr bin Abd Wad pun tumbang ke tanah. Kemenagan Ali sudah di depan mata. Hanya dengan sedikit gerakan saja, nyawa musuh dipastikan melayang.

Dalam situasi terpojok Amr bin Abd Wad masih menyempatkan diri membrontak. Tiba-tiba ia meludahi wajah sepupu Rasulullah itu. Menanggapi hinaan ini, Ali justru kian pasif. Ali menyingkir dan mengurungkan niat membunuh hingga beberapa saat. ”Saat dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah swt,” kata Ali menjawab kegelisahan sebagian sahabat atas sikapnya. Meskipun Amr bin Abd Wad akhirnya gugur di tangan Ali, proses peperangan ini memberikan beberapa pelajaran (NU Online, 2013).

Semua umat beragama, harus mengembalikan rasionalitas dalam beragama agar tidak terjebak pada sikap “pekok” dalam beragama. Perjuangan dan pembelaan terhadap agama harus didasarkan pada ketulusan iman, bukan kebencian dan kemarahan. Secara spesifik, Haedar Nashir (2017) menyematkan pesan kepada umat Islam, dan bangsa Indonesia yang memasuki fase baru hidup dalam persaingan tinggi. Spirit pembelaan dan perlawanan harus diiringi membangun, jika tidak hanya akan merasa sukses dengan melawan melalui kata-kata, minus karya nyata yang unggul dan menjadi alternatif. Inilah yang disebut sebagai era al-jihad lil-muwajahah, yakni perjuangan sungguh-sungguh membangun sesuatu yang unggul sebagai pilihan terbaik atas hal yang tidak dikehendaki. Bahwa umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li-al-muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama. Inilah tantangan terbesar umat Islam, menyalurkan perlawanan dan kemarahan pada inovasi di berbagai bidang, sehingga muncul keunggulan yang akan menjadi kekuatan dahsyat kebangkitan umat. Makanya, Ojo Pekok. (*)

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply