KHITTAH.CO – Muhammadiyah secara organisatoris menegaskan tidak bersandar kepada madzhab apapun dalam penentuan fatwa. Namun bukan berarti Muhammadiyah anti madzhab sebagaimana keliru dimaknai oleh banyak kalangan.
Muhammadiyah memiliki lembaga otoritatif keagamaan yang disebut Majelis Tarjih yang menjadi komisi fatwa dalam penentuan paham, sikap dan langkah keagamaan. Majelis tarjih berpegang pada konsep arruju’ ilal qur’an wa sunnah apabila menemui kegamangan dalam penentuan sikap dan langkah keagamaan.
Secara konsep, Majelis Tarjih telah dipikirkan sejak tahun 1927 oleh para tokoh Muhammadiyah di antaranya KH. Mas Mansur dan KH. Sutan Mansur beserta jajaran pimpinan. Hal itu bermula dari adanya fenomena yang dilihat oleh KH. Mas Mansur terkait gejala yang timbul di tubuh persyarikatan Muhammadiyah dan tokoh-tokohnya.
Pada waktu itu, struktural Muhammadiyah bukan hanya diisi oleh para muballigh saja, namun juga para kader Muhammadiyah ex pengurus Partai Masyumi ikut bergabung, dan membawa kultur politik ke dalam Muhammadiyah. Oleh karena itu ada kekhawatiran akan munculnya perbedaan paham yang tajam karena bertemunya dua kultur yang berbeda.
Majelis Tarjih disahkan secara aklamasi pada Kongres Muhammadiyah tahun 1928 di Jawa Timur (waktu itu penyebutan musyawarah terbesar Muhammadiyah belum bernama muktamar). Majelis baru ini memiliki 2 peran sentral yaitu: Pertama, mendampingi dalam pengambilan kebijakan keagamaan dan keislaman secara terus menerus. Kedua, memberikan pencerahan kepada persyarikatan dan anggota.
Fokus Majelis Tarjih adalah pada Masaailul Fiqhiyah. Menjawab perbedaan-perbedaan paham agama yang menimbulkan kebingunan di masyarakat dengan menghadirkan sumber hukum yang jelas dan kuat (rajih). Masaailul Fiqhiyah yang dikonsepkan oleh Majelis Tarjih bukan bemaksud mengoreksi kitab-kitab fiqih para ulama terdahulu.
Namun, Muhammadiyah berikhtiar menghadirkan konsep Fiqih Kontemporer yang belum pernah dibahas oleh para fuqaha sebelumnya. Di antaranya adalah Fiqih air, fiqih anak, fiqih kebencanaan dan fiqih lalu lintas.
Selain itu, Majelis Tarjih memiliki posisi sentral dalam menjalankan ikhtiar pembaharuan. Muhammadiyah menyakini bahwa umat Islam harus selalu berpegang teguh pada dua referensi fundamental yaitu Al-Qur’an dan Sunnah dengan mengedepankan konsep ikhlas dan ittiba’ ilaa rasulillah.
Artinya segala sikap dan langkah sosial keagamanaan harus belandaskan nash yang rasional dan kredibel, tidak taqlid kepada kiyai, ulama atau guru agama. Selain itu, umat juga harus mampu membaca realitas zaman, tidak terkungkung pada penafsiran jumud konsepsi agama namun harus mampu menkontekstualisasikan nilai-nilai agama, agar Islam dapat dipahami secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman.
Konsep pembaharuan dalam Muhammadiyah mencakup dua hal yaitu pemurnian dan pengembangan.
Pemurnian
Hal ini berkaitan dengan masalah aqidah dan akhlaq. Banyak kalangan yang terkadang protes dan menganggap Muhammadiyah menyebarkan paham aqidah yang baru dalam masyarakat.
Namun, sesungguhnya Muhammadiyah hendak meluruskan kiblat umat dalam persoalan ini, karena pada realitasnya paham aqidah di kalangan masyarakat terasimilasi dengan budaya setempat yang erat kaitannya dengan agama nenek moyang seperti paham animisme serta asimilasi budaya dari agama lain yang lebih dahulu ada di Indonesia.
Sejatinya, dakwah dengan pendekatan budaya merupakan strategi dakwah yang dijalankan oleh para dai yang membawa Islam ke Indonesia, dengan harapan paham dan nilai-nilai Islam mudah diterima masyarakat karena tanpa ada unsur paksaan.
Namun tahapan-tahapan dalam strategi dakwah itu belum usai dijalankan, sedangkan penjajah telah menduduki NKRI sehingga agenda dakwah mengalami kemacetan dan berefek pada paham aqidah yang bercampur baur sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat hingga saat ini. Sehingga hal itu dilihat oleh Muhammadiyah sebagai tanggung jawab moril untuk dikembalikan sesuai ajaran Islam yang murni.
Pengembangan
Agenda pembaharuan kedua yang menjadi cita-cita besar Muhammadiyah adalah pengembangan yang meliputi inovasi dalam bidang sosial kemasyarakatan. Muhammadiyah melihat umat harus mempunyai kemandirian kolektif untuk mengembalikan marwah keagamaan dan sebagai implementasi dari nilai-nilai agama yang tidak hanya menarasikan persoalan aqidah tetapi secara holistik mencakup sosial, eknomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Sehingga hal ini mengilhami Muhammadiyah dalam membentuk Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang dapat menjadi social service dan social movement. AUM Muhammadiyah yang pertama adalah dalam bidang pendidikan.
Pada waktu itu Ahmad Dahlan tidak segan mengadopsi kurikulum di sekolah Belanda yang mayoritasnya non-muslim menjadi kurikulum dalam sekolah Muhammadiyah. Walaupun mendapat kecaman dari berbagai ulama pada waku itu, namun Ahmad Dahlan tetap melanjutkan.
Artinya bahwa dalam persoalan muamalah seperti ini kita dibebaskan untuk mengambil referensi dari mana saja untuk agenda kemajuan. Hingga saat ini, AUM telah hadir membersamai pemerintah dalam melayani umat di antaranya sekolah, panti asuhan, rumah sakit Muhammadiyah. (*)
Resume Kajian Tarjih Virtual Session 1 Bersama Dr. K.H. Abdullah Renre, M.Ag. (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sulsel, Direktur Pendidikan Ulama Tarjih Unismuh Makassar), melalui Zoom Meeting Conference/05 Januari 2021
Diresumekan oleh: Mustabsyiratul Ailah