Oleh : Bahrum Pena*
Mengaktualkan roh demokrasi, dalam hal ini dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat merupakan hal wajib dilakukan sebagai warga negara yang menganut sistem kenegaraan tersebut. Makanya pada tahapannya kemudian, kita punya hak untuk menentukan arah gerak politik kita, entah itu dengan jalan memilih atau yang menjadi pilihan alias menjadi aktor politik.
Demokrasi memang memberikan ruang terbuka lebar untuk untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, mempoles diri agar menjadi pilihan masyarakat, merebut tahta dan kuasa kemudian mengelola dan membuat kebijakan
Karena dalam merebut kuasa kita membutuhkan dukungan politik yang konstitusional berupa suara rakyat dari bilik suara, maka beramai-ramailah para calon pemimpin dan wakil kita mempoles dirinya untuk dikatakan “layak” pilih di mata masyarakat.
Ruang publik, media sosial serta carut marut kehidupan masyarakat di jadikan “lahan perjuangan” oleh para politikus untuk saling berebut simpati, empati dan dukungan untuk memuluskan niatnya menduduki kursi empuk tersebut.
Tidak aneh rasanya, ketika menjelang pesta demokrasi lima tahunan tersebut kita menjumpai atribut-atribut kampanye dimana-mana. Mulai dari yang paling kecil seperti, stiker, pamflet, hingga yang paling besar seperti spanduk dan baliho, pemandangan seperti ini yang menghiasi posisi-posisi strategis di kota-kota yang sebenarnya telah menghilangkan estetika tata kota itu sendiri. Kita lebih banyak menjumpai foto para politikus beserta visi misinyanya, yang katanya “merakyat” dibandingkan dengan informasi dan agenda sosial kemasyarakatan sebuah kota. Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang menjadi prasyarat asri dan nyamannya sebuah kota, justru tenggelam oleh poster, spanduk, serta bendera yang sedang menjadi kontestan pemilu tersebut.
Kalau dulu kita mengenal polusi hanya sebatas asap dan udara akibat gas pembuangan kendaraan ataupun kebakaran hutan, saat ini kita mengalami hal yang dinamakan “polusi citra” akibat semrawutnya atribut kampanye disekitar kita. Polusi udara atau asap serta polusi citra tersebut sama-sama merupakan penyakit, kalau polusi udara mengakibatkan sesak nafas maka polusi citra berimplikasi pada sakitnya mental, karena seringnya kita menelan citra-citra palsu berupa gambar dan suara. Itu semua dilakukan sebagai ajang tampil diri di panggung politik demi merebut suara calon pemilih.
Karena para politikus ini beranggapan bahwa jalan satu-satunya yang paling cepat dan memiliki cost politic (biaya politik) yang rendah untuk mendapatkan simpati masyarakat yang berujung pada memberikan suaka politiknya kepadanya ialah dengan memanfaatkan ruang publik untuk memasang wajah-wajah mereka beserta segudang visi-misinya
Berbagai ragam ekspresi mereka yang menempel diruang publik kita, menjadi keunikan tersendiri dalam kompetisi merebut suaka politik tersebut. Ada calon yang memoles dirinya menjadi agamis, memakai peci dan membajak ayat-ayat agama, tapi dalam kehidupannya sehari-harinya hanya memakan hak orang lain yang justru menjadi pantangan agama. Ada juga yang sok nasional, semisal memajang bendera disertai tagline “Indonesia Satu, NKRI harga mati atau tagline nasionalisme , sementara dia berbisnis hanya menguntungkan diri sendiri dan keluarganya saja. Pertanyaannya adalah apakah ini di kategorikan nasionalis?, Tentu tidak, sangat jauh dari itu.
Panggung politik kita saat ini, sebagian besarnya dipenuhi gambaran palsu oleh aktor politik, selain sebagai klaim semata hal tersebut juga sulit untuk dipertanggungjawabkan. Mereka dengan gagahnya memasang visi-misi yang menjual nama rakyat, peduli kaum pinggiran, pengentasan kemiskinan, mensejahterakan kaum bawah sementara fakta dilapangan, hal tersebut hanya pepesan kosong belaka karena mereka seakan “amnesia berjamaah” terhadap rintihan masyarakat kecil yang telah memilihnya.
Atribut kampanye etisnya dipenuhi dengan pesan politik yang mendidik, membangun, dan menggambarkan visi dan misi, bukan klaim politik
Jadi mulai dari sekarang, ketika kita punya niatan mengadu nasib di panggung politik, ataukah mendapati aktor politik yang punya niatan seperti itu, entah itu keluarga, sahabat ataupun senior kita, seharusnya kita harus punya kesadaran kolektif bahwa kampanye politik dijadikan sebagai medium pendidikan politik yang massif yang mengedukasi pandangan politik masyarakat awam agar mereka merasa tak sia-sia mengamanahkan harapan dan cita-cita luhur mereka kepada kita.
Meluruskan pandangan kita bersama, bahwa menjadi aktor politik untuk meraih kuasa tak semudah hanya dengan memproduksi alat peraga kampanye saja karena posisi di parlemen maupun di pemerintahan merupakan tanggungjawab sosial bukan agenda politik dan bisnis pribadi atau golongan karena kita menduduki posisi tersebut tidak kita peroleh hanya dengan bermodalkan hal itu, tapi posisi tersebut kita dapatkan dari suara sah rakyat yang memilih kita. Maka seyogyanya kita harus Melakukan pelampauan political will dari keinginan individu menjadi pengaktualan aspirasi masyarakat
Dan yang terakhir, untuk membangun citra yang real di masyarakat bukan semudah dengan memesan martabak, pesan langsung jadi seperti bahasa senior saya hehehe. Harus ada proses bermasyarakat, terjun langsung di akar rumput, mendengar denyut nadi dan keringat masyarakat miskin. Itu semua membutuhkan tenaga dan gagasan yang brilian, bukan sebatas tagline yang menempel di spanduk, dan tentunya tidak dalam waktu singkat sebatas lima tahun saja. karena kesejahteraan masyarakat bukan hanya 5 tahun tapi berlanjut sampai anak cucu kita.
*Penulis adalah pegiat literasi di Kota Parepare