(Ulasan singkat terhadap buku Islam Fungsional karya Prof.Dr. Nasaruddin Umar)
Oleh : Adam Malik*
KHITTAH.co – Inilah narasi kehidupan dan intelektual Nasaruddin Umar. Dalam suatu musim paceklik, di Dusun Matajang Desa Ujung kecamatan Dua Boccoe, yang masih porak-poranda akibat konflik antara kelompok gerilya Kahar Muzakkar dan pasukan TNI yang berusaha menumpas kelompok separatis, lahirlah seorang bayi dari rahim Andi Bunga Tungke, seorang ibu rumah tangga drop out Sekolah Rakyat (SR), pasangan Muhammad Umar, seorang ayah berprofesi guru Sekolah Rakyat (SR).
Profesi guru dan pegawai negeri ketika itu bukanlah pilihan yang menggembirakan. Betapa tidak, gaji sebulan tak pernah cukup membiayai kehidupan sebuah rumah tangga. Beruntung di dusun Matajang, membentang sebuah danau kecil yang selalu kaya ikan di musim penghujan. Danau ini lumayan untuk memberikan penghasilan tambahan bagi keluarga, melalui hasil tangkapan ikan di Danau tersebut. Di tambah lahan yang memadai dan produktif untuk menghasilkan sayur-mayur. Namun, terpaan hidup yang sulit tak menyurutkan semangat Nasaruddin kala itu untuk melakukan perjalanan intelektual hingga sekarang telah melahirkan banyak karya.
Islam Fungsional salah satu karyanya, yang banyak membincang pelbagai isu-isu keagamaan. Kontribusi dan perhatiannya terhadap pemikiran Islam banyak di pengaruhi dari kehidupan sewaktu masih mengenyam pendidikan di pesantren As’adiyah Sengkang hingga melanjutkan jenjang sarjana muda, Fakultas Syari’ah UIN Alauddin dulu IAIN Alauddin Ujung Pandang.
Agama memiliki dua kekuatan, tampil sebagai faktor kekuatan penyatu (centripetal) dan daya pemecah belah (centrifugal). Maka benar ungkapan para fenomenolog bahwa agama itu identik dengan nuklir. Di satu sisi bisa memberikan kegunaan bagi manusia dan bisa menjadi bumerang bagi kemanusiaan. Indonesia dan wajah masyarakatnya yang pluralis. Dengan kata lain, perbedaan agama, ektnik, bahasa, dan ada istiadat dapat diramu menjadi kekuatan pengikat dan pemersatu bangsa. Agama memiliki fungsi terapan dalam masyarakat, ialah untuk memberi makna hidup, sebagai sumber nilai, moral, dan etika. Serta sebagai pemersatu anggota komunita dalam masyarakat. Memberikan rasa aman dan percaya diri. Serta motivasi yang kuat untuk melaksanakan kemaslahatan.
Agama berfungsi sebagai social control dan motivator pembangunan berdimensi kemanusiaan. Bahkan agama juga harus berperan sebagai instrument perekat keutuhan bangsa. Dengan menyadari arti penting agama tadi, maka fungsi dan peran agama perlu dipertahankan kelangsungannya di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Namun demikian, citra agama yang tercermin di masyarakat sering kali menampilkan wajah paradoks. Di satu sisi agama diharapkan menjadi penyejuk kehidupan tetapi dalam sebuah kenyataan, atas nama agama darah manusia tak berdosa begitu mudah mengalir. Lihatlah kasus Poso dan Ambon dan konflik kemanusiaan di beberapa negara di Timur Tengah.
Agama secara aplikatif seharusnya menawarkan kedamaian tetapi dalam suatu kenyataan agama menjadi pemicu konflik, bahkan konflik agama bisa lebih dahsyat daripada konflik primordial lainnya. Dikotomi antara agama di satu sisi terkesan begitu dogmatis, membatasi, berorientasi masa lampau, konservatif, terkesan statis/kaku, tekstual, dan pendekatannya lebih bersifat kualitatif dan deduktif. Sementara realitas sosial begitu rasional, membebaskan, berorientasi masa depan, liberal, dinamis/mobile, canggih, kontekstual, dan pendekatannya lebih bersifat kuantitatif dan induktif. Ini semua mengesankan adanya jarak antara agama dan pemeluknya. Sehingga, inilah sebab mengapa kitab suci sebagai perangkat keberagamaan membutuhkan tafsiran kontekstual dalam rangka menjawab kehidupan kontemporer yang begitu kompleks.
Citra paradoks dan dikotomi keberadaan agama di dalam masyarakat terkait dengan banyak faktor. Baik faktor internal di dalam agama itu sendiri maupun faktor eksternal. Pencitraan negativ terhadap agama di dalam realitas kehidupan pada umumnya dipicu oleh berbagai kepentingan jangka pendek orang-orang tertentu, yang mengklaim kepentingan sebagai bagian dari perjuangan agama.
Agama diseret terlalu jauh untuk memberikan legitimasi dan justifikasi terhadap kepentingan. Fungsi kritis agama terkadang ditumpangi oleh kelompok oposisi untuk melemahkan sendi-sendi pemerintahan, fungsi agama sebagai motivator lebih banyak di suarakan kelompok penguasa untuk memudahkan pencapaian program-programnya. Mungkin para pebisnis dan kelompok profesi lainnya juga tidak mau ketinggalan untuk memanfaatkan kekuatan agama guna mencapai tujuan mereka, dengan mengutip bagian-bagian ayat tertentu.
Fungsi agama sebagai variabel kehidupan bermasyarakat dan bernegara sangat diperlukan, terlebih kondisi sosio-masyarakat bangsa kita yang sedang menjalani transisi dari sebuah reformasi. Fungsi agama diperlukan bukan hanya untuk menyadarkan pola piker dan perilaku individu di dalam masyarakat, tetapi juga untuk memberikan direction terhadap konsep dan perencanaan pembangunan.
*Penulis adalah salah satu peneliti di Profetik Institute.