Revolusi Paradigma Industri Sulawesi Selatan
Oleh:
Dr. Yustin Paisal,MT
(Direktur Pusat Studi Energi dan Sumber Daya Alam)
Perahu pinisi adalah icon yang akrab dengan propinsi sulawesi selatan secara umum dan khususnya Kabupaten Bulukumba. Di sini, penulis lebih melihat dalam aspek spesifik bahwa perahu pinisi ini bukan hanya sebagai simbol kultural namun juga sebagai rintisan adanya fenomena revolusi industri perahu di tanah bugis-makassar sulsel jauh sebelum revolusi industri di dunia barat. Realitas ini telah ditunjukkan berabad-abad lamanya dan boleh jadi seusia dengan masuknya mazhab ahlul kitab dan mazhabIslam di tanah sulawesi. Fenomena ini boleh jadi berkorelasi dengan penyebaran islam yang pertama kali ke Indonesia diantaranya melalui Syekh Syarifuddin Al-Huseini, seorang habib yang bersilsilah Imam Ali a.s. hingga ke wajo sebagai nenek moyang wali songo yang terkenal di jawa. Begitupun, beliau adalah nenek moyang Sultan Hasanuddin, K.H. Ahmad Dahlan, K,H. Wahid Hasyim, dan sejumlah Ulama dan Sultan di beberapa kerajaan seperti kerajaan Buton, Ternate, Tidore, dll di tanah air abad-abad kala itu.
Sekarang ini, apa yang menjadi fenomena sejarah-kultural-sosiologis tersebut pada strategi pembangunan daerah melalui perdagangan lintas negara kala itu dengan kehadiran produk pinisi, setidaknya dapat memberi stimulus tentang bagaimana meramu guna membangkitkan spiritulitas kepemimpinan ataupun semangat pembaharuan dalam berbagai bidang industri saat ini di Sulawesi Selatan hingga terciptanya suatu produk industri berskala internasional sebagaimana produk perahu pinisi ini sebagai maha karya perpaduan arsitektur orisinal dan keteknikan lintas peradaban timur-barat kala itu. Di sini, kita dapat mendalami dengan berbagai paradigma sebagai penjelasan rasional atas bagaimana kita memulai untuk membangkitkan semangat pembangunan industriSulsel berbasis energi dan sumberdaya alam (air, mineral, udara, matahari, laut, dll)yang sangat berlimpah di tanah Sulawesi Selatan dengan paradigma bioteknologi-teologi lingkungan. Misalnya, kita dapat merekoveri logam dari mineral atau batuan melalui paradigma kearifan lokal ataupun muatan lokal tersebut melalui paradigma biohidrometalurgi yang trend sejak 3 dasawarsa hingga saat ini di manca negara.
Menurut hemat penulis, konsep bioindustri berpotensi besar diterapkan di tanah sulawesi selatan dengan konsep kemandirian industri melawan konsep imperialisme industri. Dan setidaknya kita tidak dapat menafikan bahwa konsep teologi lingkungan klasik dapat dikawinkan dengan konsep tersebut, sehingga dengan demikian dapat dijadikan pertimbangan untuk menjawab tantangan arus globalisasi – pasar bebas yang masuk dalam berbagai dimensi perikehidupan umumnya masyarakat Indonesia dan khususnya masyarakat Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, ada harapan besar bahwa kita masih dapat berupaya melalui kerjakeras bahwa revolusi industri di sulsel saat ini dan akan datang adalah hal yang niscaya melalui kajian komprehensif atas konsep kemandirian industri diantaranya melalui konsep bioindustri. Hal ini dapat diwujudkan dengan pengembangan infrastruktur terpadu kawasan bioindustri: pabrik pengolahan mineral dengan metode biohidrometalurgi pada low grade ore dengan low cost dan lingkungan terjaga dengan baik yang mana cocok untuk negara-negara berkembang (Bosecker 1997)!
Sebagai konsep dasar teologi lingkungan dapat mengkritisi kalimat falsafatik-sufiistik-mukhasyafah- metafisik, bahwa, dalam pemaknaan hakiki yang tertuang dalam kalimat:sebaik-baik orang beriman yang berjalan di permukaan bumi ini adalah yang bisa mentafakuri (memikirkan secara seksama) dan mentadabburi (mendalami secara seksama) ayat-ayat kauni dan ayat-ayat qauli-Nya, dengan demikian mereka selalu terbimbing oleh perintah Ilahi dan nasehat orang-orang suci.Dari presfektif mukhasyaf-sufisitik-falsafatik ini secara implisit, baik secara kontekstual maupun secara konseptual, mengandung pemaknaan keniscayaan Tuhan YME memberikan rahmat-Nya berupa penganugerahan kelimpahan ilmu pengetahuan dalam rangka bagaimana mengelola secara arif dan bijaksana kekayaan sumber daya alam dan energi di bumi sulawesi khususnya dan nusantara umumnya sehingga kemandirian industri menjadi hal yang rasional dan tidak bertentangan dengan semangat kerjasama internasional dalam presfektif kemanfaatan searif-arifnya anugerah bumi yang perlu dilindungi dan dilestarikan lingkungannya!
Bahwa semua kitab suci pada semua umat beragama setidaknya telah tertuang dalam kitab suci masing-masing secara universal tentang deskripsi universal wujud hasil maha karya, yaitu alam semesta, dari yang maha pencipta alam semesta, Tuhan yang maha Esa, yang maha menguasai segala sesuatu. Di sisi lain Tuhan menjelaskan secara spesifik tata aturan atau hukum-hukum alam semesta yang terindikasi melalui temuan-temuan para sainstifik klasik hingga modern dalam rumpun kimia-fisika-biologi-astronomi sehingga kita dapat mengetahui bagaimana ketataaturan alam semesta ini berwujud karena diwujudkan oleh-Nya secara sempurna dalam teori penciptaan (Harun Yahya, 2000an). Secara emplisit, Einstein mengakui hal ini hingga ia mengucapkan kalimat yang fenomenal-fundamental bahwa agama tanpa ilmu pengetahuan adalah pincang dan sebaliknya ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta (Murtadha Muttahari, 1997). Terlepas setuju atau tidak, hiroshima dan nagasaki telah menjadi saksi sejarah akan kebenaran pandangan einstein ini yang mana produk industri berwujud radikal anti kemanusiaan dalam paradigma imperialisme industri yang meluluh-lantakkan peradaban dan kedua kota tersebut. Demikian pula perang dunia pertama dan kedua serta penjajahan di bumi pertiwi adalah sisi kelam bagaimana paradigma industri berangkat dari paradigma imperialisme industri! Ini merupakan bagian dari kritikan tajam oleh pandangan teologi lingkungan bahwa keberadaan ciptaan manusia tidak boleh membuat kebinasaan tersistematik-terstruktural atas lingkungan, sebab lingkungan binasa maka manusia pun akan binasa sebagaimana maklumsehingga tidak sesuai dengan prinsip tujuan penciptaan alam semesta baik secara makroskosmos maupun secara mikroskosmos.
Dititik ini paradigma revolusi industri hendaknya mengarah pada paradigma metafisik bahwa lingkungan memiliki ruh spesifik yang membedakannya dari revolusi industri yang mengarah pada kebinasaan umat manusia ataukah imperialisme industri yang menciderai kemandirian industri sehingga ketergantungan absolutlah yang tercipta! Pada akhirnya, sejatinya kemerdekaan hakiki bangsa ini melalui kemandirian industri yang harus menjadi fundamental bagi pembangunan bangsa dan bukan malah menjadi boneka imperialisme industri yang memarginalkan pembangunan bangsa mulai ranah pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya, pertahanan keamanan, dan politik hingga kemampuan menciptakan industri sekaliber perahu pinisi seperti pada jamannya.
Oleh karena itu, hal ini menjadi menarik untuk ditelaah lebih lanjut dan menurut hemat penulis mesti melahirkan suatu bentuk nyata sebagaimana hikayat perahu pinisi ini yang mana nenek moyang kita kala itu telah merancang dan menciptakan barang ini lalu menggunakannya untuk perdagangan bebas pada waktu itu. Ironisnya untuk saat ini, mengapa mobil nasional saja, pesawat nurtanio, dll “malu-malu’ dimunculkan oleh pemerintah republik ini?
Barangkali jawaban yang menyentuh hati kita sebagai orang sulawesi selatan dalam kacamata falsafatik-sufiistik-mukhasyafah-metafisik adalah kita tidak percaya dengan Tuhan atas potensi diri yang Dia telah dan akan berikan kepada kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi arti kemerdekaan suci untuk bagaimana cara berkarya dalam percaturan industri global walaupun mulut kita menyebutkannya! Dan sebagai turunannya adalahapabila kita renungkan secara holistik, boleh jadi kita telah rela hanya menjadi boneka imperialisme industri atas nama globalisasi-pasar bebas disadari atau tidak sama sekali!
Disisi lain, hiruk pikuk perebutan kekuasaan atas nama politik dengan berbagai atribut sudah menjadi santapan mata-telinga-hati segolongan masyarakat melalui berbagai media, baik konvensional, maupun canggih! Seakan-akan arti penting keikhlasan dalam berpolitik sudah tidak diperlukan lagi! Politik uang-beli suara melalui serangan fajar ataupun terselubung hingga dalam bentuk fatamorgana janji-janji politik sudah menjadi santapan pagi-siang-sore-malam mulai sekelompok masyarakat termaginalkan hingga masyarakat modern, di desa-desa hingga di lorong-lorong kota menjadi wujud politik kemunafikan-kefasikan-kebodohan tersistemik dan terstruktur hingga melumpuhkan sikap rasionalistik-spiritualistik. Ini adalah artifisial akan arti hasil produksi hanya menjadi alat untuk penguatan wacana materialisme klasik, hedonistik, marginalisme, tak kenal tua-muda, dewasa-anak-anak sehingga yang dikenali adalah penyimpangan fungsi media dalam perikehidupan masyarakat yang beraroma imperialisme industri mulai hardware hingga shoftware! Dan yang sangat menyedihkan, boleh jadi kampus-kampus sudah menjadi ibarat jamur yang tumbuh subur atas nama kurikulum dengan berbagai variasi nama sehingga paradigma kampus menjadi tumpul ibarat macan ompong yang sejatinya sebagai pengusung moral force dan revolusi suci melalui pendidikan yang mencerahkan akal, hati, dan amaliah sebagai ruh dari revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi! Sehingga, dengan kondisi ini, warna almamater adalah lebih dominan pada lingkup persaingan antar civitas kampus bukan konsorsium antar kampus guna menghadapi paradigma globalisasi yang cenderung miskin paradigma falsafatik – sufistik – mukhasyafah–metafisik. Akibatnya, fenomena tersebut melahirkan kefakiran akhlaki dan kefakiran imani hingga menjadi tidak lebih sebagai sosok civitas politik kampus, yang sejatinya menjadi civitas pendidik mumpuni dalam segenap dimensi nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab, dalam landasan prinsip-prinsip ketauhidan dan prinsip-prinsip keikhlasan sebagai ruh spiritualitas pendidik!
Oleh karena itu, barangkali tidaklah berlebihan bahwa bukanlah hal yang sudah usang bila memikirkan dan mendalami bagaimana mencermati konsepsi pembangunan di sulawesi selatan khususnya adalah juga setidaknya berhulu pada revolusi kurikulum pendidikan dan revolusi industri atas dasar teologi lingkungan yang mengarahkan pada intisari dari pembangunan daerah-nasional yang mengedepankan nilai-nilai kultur suci-luhur, siri’ na-pacce’ yang disemangati agama yang suci guna membangun jiwa-jiwa yang sadar akan arti penting karya manusia yang terkandung dari para penggagas-pencipta perahu pinisi tersebut. Suka ataukah tidak,icon perahu pinisi memiliki corak visioner/misioner dalam presfektif: falsafatik-sufiistik-mukhasyafah-metafisik!
Bahwa sekiranya perahu pinisi hanyalah sebuah gambar maka niscaya arti penting perahu pinisi sudah barang tentu bukan lagi milik orang Sulawesi Selatan, namun sudah menjadi stigma karya orang lain, dan entah punya siapa! Namun demikian, Tuhan telah mentakdirkan kepada kita, yang mengenal konsepsi siri’ na pacce’ bahwa semangat patriotik, keberanian, kesucian dengan falsafah bendera merah putih, berabad-abad sebelumnya telah tercerminkan dan terbuktikan oleh nenek moyang orang sulawesi selatan dalam karyafenomenal perahu pinisi sebagai perwujudan kemandirian industriyang pada awalnya tidak menggunakan paku dalam menghubungkan kayu-kayu dalam pembuatan perahu ini. Disamping itu, karya perahu pinisi, bukan saja terhenti hanya menjadi hasil produksi serta pemanfaatannya kala itu dalam bidang perdagangan dunia saja, tetapi juga telah menjadi simbol patriotik bangsa indonesia dulu, kini, dan kelak masa akan datang sebagai harapan sejati.
Kongkritnya, sebagai intisari, kita mesti berani berhijrah dari paradigma negeri boneka menjadi paradigma negeri mandiri dengan apa yang menjadi falsafah negara ini melalui perjuangan keras dalam paradigma revolusi kurikulum dan revolusi industri dalam arti kemandirian industri bukan dalam arti negara boneka imperialisme industri! Dan sebagai contoh sederhana adalah falsafah perahu pinisi mesti menjadi salah satu icon atas kearifan lokal melalui pendalaman secara multi disiplin ilmu, multi kultural, dan secara spesifik dapat didalami atas dasar paradigma falsafatik-sufistik–mukhasyafah-metafisik secara fundamental khususnya pada dunia pendidikan formal-informal agar orang Sulsel tidak kehilangan akar dan arah sejarah melalui falsafah perahu pinisi yang telah diakui menjadi karya peninggalan dunia, multi manca negara. Wallahu a’lam.
Berdasar pada berbagai referensi sekunder disamping hasil pemikiran penulis sendiri.