Oleh: Agusliadi Massere*
Saya pernah bercanda kepada salah seorang teman, sebagai respon banyaknya kejadian atau musibah gempa tanpa kecuali peristiwa “pesawat-jatuh”, di mana momentumnya beberapa kali—saya tidak ingin menyebutnya seringkali—beririsan dengan perhelatan kolosal pesta demokrasi. Candaan saya kurang lebih seperti ini “Banyak peristiwa termasuk pesawat-jatuh, karena di dunia lain, dunia tak nyata, banyak kekuatan yang berafiliasi dengan aktor tertentu saling menyerang di ‘udara’. Peristiwa ini mirip dengan yang kita saksikan, seperti dalam film kerajaan Angling Dharma—saya mengandaikannya seperti ini saja—yang menggunakan sihir”.
Beberapa tahun berlalu setelah candaan di atas, saya membaca tesis senior saya: Hadi Saputra—akrab disapa dengan Kak Hadi. Tesisnya sebagai salah satu syarat mencapai gelar Magisternya di Universitas Hasanuddin berjudul “Eksistensi Penasihat Spiritual dalam Pentas Politik Lokal di Sulawesi Selatan”.
Membaca tesis tersebut, saya seakan menemukan “ruang justifikasi” atas kebenaran candaan di atas, jika ditarik pula garis relasi terhadap imajinasi seperti yang dideskripsikan dalam film Angling Dharma tersebut. Kekuatan-kekuatan itu saling bersahut-sahutan, memancarkan “frekuensi-supranatural” yang secara tidak langsung memengaruhi alam material dan dinamika manusia dalam realitas empirik. Apakah ini termasuk pula atau tanpa mengecualikan sebagai penyebab jatuhnya pesawat?
Alam berpikir modern yang sarat dan mengagungkan sains, dipastikan membantah persepsi tersebut. Pesawat jatuh, itu murni pengaruh cuaca, kesalahan prosedural yang diperankan oleh manusia, atau pengaruh sistem digital dan mekanik yang berada di dalamnya. Bukan karena adanya kekuatan “gaib”, yang jika mengimajinasikan film tersebut, berpotensi secara tidak sengaja terkena atau tersambar “frekuensi-supranatural”.
Hadi dalam tesisnya tersebut, sampai pada kesimpulan, salah satunya “Pranata politik modern yang mengagungkan pendekatan saintifik ternyata masih memberi ruang bagi hal-hal yang bersifat metafisika. Selanjutnya Hadi memperjelas bahwa “Dalam kontestasi politik, sains menginstitusionalisasikan diri melalui lembaga survei dan konsultan politik, sedangkan aspek metafisika dipersonifikasikan oleh penasihat spiritual”.
Selain yang diuraikan di dalam tesis Hadi tersebut, termasuk yang menjadi kesimpulannya, sesuatu yang bekerja dalam ruang metafisika sebagai tindak lanjut dari alam berpikir seseorang atau instruksi dari penasihat spiritualnya, saya pernah secara tidak sengaja menyaksikan langsung praktik tersebut. Ketika itu kurang lebih 14 sampai 16 tahun yang lalu, saya sedang berada di rumah seseorang untuk membantu menyelesaikan tugas kuliahnya, tiba-tiba seseorang, keluarganya datang—yang ternyata saat itu saya baru mengetahui berdasarkan keterangannya setiba di rumah tersebut—bahwa dia sebagai salah satu tim sukses, dan ingin melakukan proses “ritual” sebagai upaya kemenangan kandidatnya.
Ritual yang dilakukan, selain menulis salah satu ayat dari al-Qur’an, termasuk pula menyiapkan telur. Menurutnya, berdasarkan perintah penasihat spiritualnya—meskipun pada saat itu dia menyebut “dukun”-nya—telur tersebut harus diletakkan satu butir di perbatasan Bantaeng-Jeneponto, dan satu butir lagi di perbatasan Bantaeng-Bulukumba.
Saya sedang tidak bermaksud untuk menceritakan panjang kali lebar terkait proses ritual yang dilakukan oleh salah satu tim sukses tersebut. Saya hanya ingin memperkuat bahwa apa yang saya baca dari Tesis Hadi, dalam realitas kehidupan, pernah menyaksikan langsung, bahwa dibalik pranata politik modern, masih tersisa ruang metafisika.
Padahal jika merujuk pada pandangan Huston Smith dalam Dr. Humaidi (2015:31) “Saintisme [sebagai cara pandang dan paradigma] menjadi dasar bagi cara pandang dunia modern. Selaras dengan pandangan Smith, Mulyadhi Kartanegara (2017) menegaskan bahwa “Dua ciri peradaban modern yang paling fundamental adalah rasionalitas dan materialitas”. Begitupun, dari Nicolas Copernicus, Johannes Kepler, Galileo Galilei, dan Isaac Newton, Humaidi sampai pada kesimpulan bahwa “Mereka mengklaim hanya melalui sainslah segala sesuatu dapat dikatakan benar dan riil”.
Saya pun pribadi, sebenarnya mendapatkan doktrinal untuk tidak memercayai sepenuhnya kekuatan-kekuatan supranatural sejenis yang digambarkan di atas. Yang seakan-akan ingin menggiring sepenuhnya alam pikiran ini, untuk hanya berada pada sesuatu yang rasional dan materialistik sebagai mental manusia modern.
Hanya saja, ada habitus yang telah mengalami internalisasi eksterior, penyerapan, pendalaman dalam cara pandang kehidupan ini, sehingga hal-hal yang mekanisme kerjanya berada dalam “ruang metafisika”, saya masih meyakini kebenarannya, seperti do’a, adanya kekuatan jiwa, ruh, pikiran, perasaan dan/atau sesuatu yang sekilas serta sebagian orang memandangnya “irrasional” dan “immaterial”.
Jika merujuk pada teori Habitus Pierre Bourdieu, arena ikut menguatkan, di mana diri ini dan kita berada dan mengalami kehidupan dalam budaya orang Timur, yang secara sederhana diyakini tidak memiliki cara pandang yang anti terhadap sesuatu yang bersifat “metafisika”. Ternyata, berdasarkan hasil temuan akademis Hadi, bangsa maju dan modern di Eropa dan Amerika pun, yang mengagungkan rasionalitas juga memiliki sejarah perdukunan, berwujud Santet. Dan sebagaimana diungkapkan oleh Putra dalam Hadi, “Mantan First Lady Amerika Serikat, Nancy Reagen, memiliki pasukan paranormal. Artinya, bahwa memang dalam kehidupan modern pun, masih ditemukan ruang metafisika.
Proses demokratisasi dan Pemilu sebagai sesuatu yang bisa dipandang bagian dari pranata politik modern, tentunya tidak hanya identik dengan hal-hal teknis, prosedural-operasionalistik, kerangka hukum atau regulasi yang mengikat, lembanga survei, konsultan politik, marketing politik, quick-count, digitalisasi, tetapi menyisakan ruang metafisika. Kita pun harus memanfaatkan ruang tersebut.
Apa yang saya maksudkan sebagai bentuk pemanfaatan ruang metafisika, bukanlah seperti yang diuraikan oleh Hadi dalam tesisnya, di mana ada relasi intim antara penasihat spiritual dan aktor politisi, lengkap dengan praktik atau ritualnya bahkan berbentuk “sihir”-pun jika diminta. Atau bukan untuk bermaksud bahwa saya mulai tertarik untuk mendatangi “dukun” atau penasihat spiritual dan untuk menggunakan “sihir” dalam rangka menyukseskan pemilu. Sama sekali arah berpikir saya tidak ke sana.
Kepada jajaran KPU Kabupaten Bantaeng, termasuk kepada PPK dan PPS, saya sering berpesan untuk memaksimalkan tiga dunia: dunia nyata, dunia maya dan dunia gaib. Dunia gaib inilah yang relevan dengan pemanfaatan ruang metafisika tersebut, tetapi maksudnya bukan dengan menggunakan “sihir” melainkan bermaksud untuk memaksimalkan do’a kepada Allah.
Bennet dalam Hadi berdasarkan studinya di masyarakat Sasak, menemukan satu cara pandang bahwa penyakit yang disebabkan oleh sihir hanya dapat disembukan dengan sihir pula, bukan dengan pendekatan biomedik. Meskipun demikian, saya pribadi dan mengajak saudara dan sahabat terdekat untuk tidak memiliki cara pandang seperti itu, kita hanya perlu memaksimalkan do’a kepada Allah.
Memaksimalkan ruang metafisika melalui do’a kepada Allah, bukan hanya bertujuan untuk melindungi diri dari praktik-praktik yang berpotensi menggunakan kekuatan “sihir”. Apalagi keberadaan dan kebenaran sihir tetap diakui dalam al-Qur’an, sebagaimana salah satunya bisa ditemukan dalam QS. Al-Falaq [113]: 4.
Do’a pun yang mekanisme kerjanya berada dalam ruang metafisika itu mampu—jika merujuk di antaranya pada teori Quantum Learning, Psikologi Iman, dan Laws of Spiritual Attraction, mampu membangkitkan kedahsyatan fungsi otak. Dan tentunya, profesionalitas—yang saya andaikan dan istilahkan sebagai sayap kiri “burung”—selain integritas—yang saya andaikan dan istilahkan sebagais sayap kanan—sebagai dua modal utama yang harus dimiliki penyelenggara pemilu, bisa dicapai jika kedahsyatan fungsi otak bisa bangkit.
Dan do’alah—sesuatu yang mekanismenya kerjanya berada dalam ruang metafisika—sebagai yang terbaik untuk meningkatkan kedahsyaratan fungsi otak. Selain itu, do’a yang tidak hanya dikonversi menjadi “surga” dan dimaknai sebagai ritual vertikal semata, mampu menjadi pelindung untuk tidak keluar dari rel integritas.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.