Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BeritaBudayaLiterasiNasionalOpiniPendidikan

Siasat Literasi

×

Siasat Literasi

Share this article

Oleh : Mahram Mubarak

Suatu waktu saya nongkrong—sambil ngopi tentunya—dengan teman yang dua hari yang lalu menunjukkan sebuah buku yang menarik perhatiannya. Pada waktu itu saya menangkap kesan bahwa ia akan membaca habis buku itu dengan senang hati. Namun, dugaan saya itu sirna tatkala memancing diskusi diseputar buku tersebut.

Perjumpaan itu membuahkan diskusi yang, menurut saya, kurang alot, dikarenakan cara bacaan si teman tak mengundang argumentasi serius. Tentu bukan berarti yang serius-serius telah juga mengandaikan pembacaan yang serius, tetapi paling tidak ada semacam poin yang bisa dinarasikan, baik dalam keseriusan maupun dalam candaan.

Kopi sudah hampir mengampas, diskusi pun masih belum menantang. Harapan akan hasil pembacaan si teman tidak membuah. Saya memperhatikan gelagatnya, sudut matanya, arah pandangannya, dan tutur ucapnya membuat saya berkerut dan bertanya-tanya, sudahkah ia membaca dengan teliti? Atau hanya ikut dalam gaung literasi yang digembar-gemborkan pemerintah ke publik agar mau terlihat sebagai orang yang dekat dengan buku?

Siasat Membaca

Membaca tentu bukan hal yang istimewa. Membaca sudah menjadi bagian kehidupan keseharian kita; membaca marka jalan, iklan, pamflet, pesan atau status di gadget. Tetapi, menyebut kata ‘membaca’ selalu asosiasinya adalah buku.

Tentu si teman tadi punya asosiasi yang sama, yaitu buku. Tetapi ujung dari buku itu sendiri  tidak semata-mata mengandaikan pembacaan yang baik pula. Membaca buku bukan berarti telah melibatinya.

Melibati bacaan adalah hal yang rumit, untuk tidak menyebutnya sulit. Membaca butuh suatu pembiasaan diri nimbrung dengan beragam jenis bacaan. Satu buku mungkin membantu kita, tetapi hanya pada tataran informatif. Membaca dengan teliti adalah hal niscaya untuk bisa memahami tiap konten isi buku. Kita harus membuka kamus, untuk membantu mengerti arti dasar dari sebuah kata. Membuka buku lain, untuk bisa paham alur pembicaraan yang dimaksud oleh buku. Mencari tahu kronologi buku, agar tahu isi kepala si penulis dan konteks buku itu ditulis.

Dan di luar itu, secara pribadi, kita mesti merasakan lelahnya duduk berlama-lama untuk mau memahami satu buku. Merasakan nyeri pada tulang duduk, tulang punggung, dan tulang leher. Merasakan kekakuan mata karena hanya bekerja secara horisontal. Jadi, tongkrongilah bacaanmu.

Terkadang, ketergesa-gesaan untuk mendapat poin dari buku, seringkali membuat kita tergelincir. Maka, sekali-kali kita bisa menyeruput kopi atau merespirasi asap rokok untuk membantu menenangkan. Juga sekali-kali arahkanlah pandangan ke sekeliling; meja, tembok, jendela, tempat tidur, untuk penyadaran bahwa kita berada dalam situasi konkret.

Siasat Menulis

Lain halnya dengan membaca, menulis adalah setangga lebih rumit. Butuh pikiran yang tenang untuk bisa mengurai tulisan agar mudah terbaca. Menulis adalah mengikat makna-makna yang sudah dikumpulkan dari pembacaan model di atas. Harus ada kesadaran bahwa makna yang terkumpulkan itu tidak untuk diri kita sendiri. Harus ada sikap membuka diri untuk dikritik, bisa jadi kita salah tangkap makna atau kepleset. Bisa jadi bahan bacaan kita belum mumpuni.

Menulislah dengan mengacu pada mind-mapping (peta pikiran). Hal ini perlu untuk bisa memposisikan bahan-bahan yang akan diurai dan posisi kita sebagai penulis. Peta pikiran berguna untuk mengkamar-kamarkan poin yang akan disampaikan, sehingga pembaca tidak kejlimet dan masuk dalam lingkaran setan. Letakkanlah asumsi kita untuk menulis sebagai seni memetakan pikiran dan bukan untuk mau terkenal, mending ngeprank di youtube saja.

Siasat Berdiskusi

Diskusi adalah hal yang ditunggu-tunggu—memang harusnya begitu—untuk melakukan perbandingan sekaligus pembelaan terhadap hasil bacaan atau tulisan kita. Hal ini penting, bukan untuk sok-sok-an di depan teman, tetapi untuk mengakui adanya proses dalam pengetahuan yang dialektis dan membentuk kebijaksanaan sikap.

Berdiskusilah dengan santai, tapi jagalah agar mata tetap terdidik, dan pikiran tetap tenang. Seringkali, ketegangan membuahkan gelak tawa, terkadang juga callaan (menyinggung-pen.). Posisikan diri dalam suatu forum atau dalam meja diskusi sebagai sosok sederhana dan bukan sebagai hero yang punya segudang solusi jangka pendek. Dan berdiskusilah dengan beragam jenis pandangan agar pikiran tidak larut dalam keruhnya wacana. Ini juga akan membantu menyadarkan kita sebagai manusia budaya yang selalu ingin melampaui, kendati kaki tetap berpijak pada lokalitas.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply