KHITTAH.CO,– Sisdiknas yang didominasi oleh subsistem persekolahan, saat ini, terus kehilangan relevansinya, juga merosot daya serapnya.
Persekolahan menjadikan educatedness menjadi barang langka sehingga makin mahal dan tidak terjangkau oleh banyak warga belajar.
Situasi ini membahayakan bonus demografi kita, lalu menjegal bangsa dan negara ini sebagai a new economic powerhouse yang mampu mengimbangi kebangkitan China, sekaligus mengisi kemunduran Barat, dan Amerika Serkikat.
Obsesi pada standard mutu telah menelantarkan relevansi pendidikan secara personal, spasial, dan temporal, sehingga tidak banyak warga belajar yang memeroleh manfaat persekolahan massal ini, kecuali mengantarkan mereka menjadi buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik.
Ini sekaligus menjadikan mereka cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan investor asing demi upah yang tidak seberapa.
Formalisme persekolahan telah menjadikan Sisdiknas ini kaku, kurang lentur, dan tidak adaptif terhadap perubahan cepat yang dihadirkan oleh internet dan teknologi digital. Potensi- potensi agromaritim, seni, dan budaya nasional juga ikut terbengkalai.
Muhammadiyah perlu mempelopori rekonstruksi Sisdiknas menjadi sebuah Dahlanian Learning Cybernetics (DLC) dengan memanfaatkan ketersediaan internet untuk memperluas kesempatan belajar sebagai public goods bagi warga muda.
DLC ini sekaligus merupakan platform untuk belajar merdeka dalam rangka menyiapkan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka.
DLC sebagai sebuah platform komunikasi lintas dan multidisiplin dengan berbagai umpan balik akan menjadi jejaring belajar yang adaptif.
Ini juga akan menjadi jejaring yang menyediakan kesempatan belajar customised dan on demand sesuai dengan minat, bakat, dan aspirasi warga belajar.
Pola belajar multicerdas multiranah dengan berguru pada pakar dan praktisi akan menjadi norma baru pembelajaran.
Luaran utama DLC adalah warga muda yang mandiri, bertanggung jawab, sehat, dan produktif pada usia 18 tahun.
Dalam DLC itu, keluarga dan masjid, serta unit-unit kegiatan sosial seperti yasinan, karang taruna, unit budaya seperti sanggar seni, klub olahraga, perpustakaan kelurahan, dan unit ekonomi masyarakat seperti bengkel, toko, dan pasar, bersama sekolah, pesantren, dan kampus membentuk sebuah self organized learning environments atau SOLEs (Mitra, 1999).
Keluarga diperkuat menjadi simpul institusi belajar pertama dan utama, di mana kesadaran kelamin ( gender consciousness) dan literasi finansial diteladankan oleh orangtua pada anak-anaknya untuk mencegah penularan LGBT, demikian pula terkait pinjol akhir-akhir ini.
Masjid menjadi simpul institusi pendidikan bermasyarakat dan berbangsa. Persekolahan menjadi pusat sumberdaya belajar yang menyediakan studio, perpustakaan, bengkel, laboratorium, akses internet, sarana olahraga, dan guru, serta pakar. Guru mengambil peran sociopreneur dan community organiser.
Tujuh filosofi pendidikan Kyai Dahlan menjiwai DLC tersebut, yaitu mewujudkan muslim yang hidup bermakna, rendah hati, mengembangkan potensi akal dan ijtihad, berani memperjuangkan kebenaran, dan sanggup berkorban bagi kepentingan publik, serta konsisten antara kata dan tindakan, antara teori dan praktek.
Melalui DLC itu, pendidikan menjadi instrumen perluasan kemerdekaan (Sen 1999) sekaligus pencerdas kehidupan bangsa sebagaimana amanat UUD45.
Pendidikan bukan sekadar alat penyiapan buruh murah sebagaimana temuan Banerjee, Duflo, dan Kremer (2000) yang mengantarkan Nobel Ekonomi 2019 bagi ketiganya. Demikianlah DLC menjadi learning enabler oleh semua untuk semua.
Ditulis oleh
Daniel Mohammad Rosyid
LSBO PWM Jawa Timur